Solilokui

SWF; Jangan Lagi Kekayaan Alam Rp271 Triliun Dikerkah Sendiri

Artinya, dalam kesopanan yang terjaga, yang menjadi ciri khasnya yang saya kenal, penulis ingin agar kekayaan alam negeri yang subur makmur penuh harta mineral dan barang tambang, jauh lebih banyak dan variative dibanding negara-negara pemilik SWF besar itu, dikelola dengan baik.  Dalam bahasa saya yang lugas, tak mungkin kita terus mempertahankan ironi yang bikin malu kita kepada dunia : negara subur-makmur dengan SDA, tapi hanya dengan memalingkan muka pun kita akan bertemu aneka fakta kemiskinan. Apa yang bisa bikin kita bangga sebagai negara yang gampang masuk katagori terkena “kutukan sumber daya alam”. Bila tidak, mungkinkah akan terjadi korupsi timah sampai Rp 271 triliun besarnya?

Oleh     : Darmawan Sepriyossa*

JERNIH–Kejadiannya telah berlalu sekitar dua tahun lalu, tapi kedahsyatannya yang memukau, membuat warga dunia sulit melupakannya. Pada 20 November 2022, Qatar, negara kecil di tengah gurun, melangsungkan upacara Pembukaan Piala Dunia 2022 di Stadion Al Bayt, kota Al Khor. Apa yang terjadi membuat mata warga dunia kontan terbelalak. Meski ia negara kaya, selama ini di benak mayoritas warga dunia Qatar tetaplah sebuah negara gurun di Teluk Arab. Jadi manakala ia tiba-tiba mempertunjukkan kehebatan, kemegahan, dan kesuksesan Piala Dunia, hal itu menghentak kesadaran dunia.  

Bukan hanya kepada Stadion Al-Bayt yang dari sisi daya tampung ‘hanya’ berkapasitas 60 ribu penonton—di bawah Gelora Bung Karno.  Setiap ‘potongan’ penyelenggaraan, mulai dari acara, pengisi acara, hingga bagaimana penduduk Qatar menjamu dan memperlakukan para ‘tetamu’, hampir selalu dipuji warga global dengan antusias. Lenyap sudah berbagai ketidakpercayaan, cela dan maki yang sempat mengiringi terpilihnya negara gurun itu sebagai penyelenggara Piala Dunia.

Darmawan Sepriyossa

“Ini negara yang terlalu kecil,” kata mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, hanya sepekan sebelum hari “H” pembukaan. Telah lama ia mengatakan bahwa keputusan membiarkan Qatar menjadi tuan rumah World Cup adalah “pilihan yang buruk.”  “Sepak bola dan Piala Dunia terlalu besar untuk (negara) itu,” kata Blatter kepada grup media besar Swiss, Tamedia. Setelah 20 November itu, Blatter dan gerombolan sejenisnya, memilih meneng bae.

Tapi bagaimana tak akan dahsyat, terutama bagi mereka yang beriman kepada prinsip “uang bisa membeli segala”.  Menurut Forbes, pada 2017 Menteri Keuangan Qatar, Ali Sharif Al-Emadi, mengatakan bahwa negaranya menghabiskan 500 juta dollar AS per pekan untuk sekian banyak proyek infrastruktur, termasuk jalan, hotel, pembangunan stadion, dan peningkatan bandara untuk 10 tahunan mempersiapkan perhelatan kelas dunia itu. Forbes kemudian menulis, Piala Dunia Qatar memang tercatat termahal dalam sejarah. Qatar diperkirakan menghabis-kan dana sebanyak 220 miliar dolar AS sejak terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia pada akhir 2010. Jumlah itu lebih dari 15 kali lipat jumlah yang dikeluarkan Rusia untuk ajang tersebut pada 2018.

Bukan sim salabim!

Belakangan, ketika media massa dunia menelisik, terungkap fakta bahwa sukses besar Qatar itu tak lepas dari cawe-cawe Qatar Investment Authority (QIA), lembaga pengelola dana pemerintah Qatar. Kini kita mengenal lembaga sejenis itu sebagai Sovereign Wealth Funds (SWF). QIA sendiri disebut-sebut mengen-dalikan asset tak kurang dari 445 miliar dollar AS! Masuk akal kalau Reuters menulis, dana Piala Dunia Qatar jumlahnya lebih dari gabungan semua Piala Dunia dan Olimpiade sebelumnya!

Apa itu SWF? Sederhananya, SWF dimaknai–antara lain–sebagai lembaga keuangan dan investasi kekayaan negara atau state investment funds, yang dibentuk, dimiliki dan dikelola negara. Lembaga ini berfungsi sebagai wahana (vehicle) untuk mengelola dana publik dari berbagai sumber dan investasi kekayaan negara. Dana-dana itu disalurkan ke dalam variasi aset yang luas dan beragam, dengan manfaat yang lebih besar, di pasar domestik maupun internasional.

Jadi SWF adalah cara bagaimana negara mengelola ”dana lebih, windfall profit, atau ‘aset menganggur’ secara mandiri, terpisah dari sistem keuangan negara. Penerimaan berlebih bisa berupa hasil dari kenaikan harga komoditas—untuk kasus Indonesia, misalnya sawit atau batubara—atau pun dana yang dicadangkan pemerintah untuk situasi mendadak.

Meskipun istilah formal SWF baru mejeng di abad ke-21, konsep SWF sudah dikenal sejak awal 1950-an, utamanya ketika Kuwait Investment Board didirikan pada 1953. Pada 1965, institusi itu diganti menjadi Kuwait Investment Authority dan dibebani tanggung jawab untuk mengelola dan menginvestasikan kelebihan pendapatan minyak dalam aset asing.

Pada 1970-an dan 1980-an, negara-negara lain pun mendirikan SWF-nya sendiri. Beberapa negara membangun SWF untuk mengelola risiko volatilitas sumber kekayaan alam mereka, antara lain Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Chile, Singapura, Qatar, Brunei Darussalam, dan sebagainya.

Sebenarnya, keberadaan SWF yang kemudian mulai didominasi negara-negara kaya minyak itu sudah mengguncang pasar dan pemerintah Amerika Serikat di akhir-akhir dekade pertama 2000-an. Sebagaimana ditulis pengarang, U Saefudin Noer, dalam bukunya ini (“Fenomena Sovereign Wealth Funds”, Penerbit Kompas, 2023), kegundahan itu sempat ditulis setidaknya oleh dua majalah terkemuka dunia, The Economist dan Diplomat, pada edisi nyaris bersamaan.

The Economist edisi 19-25 Januari 2008, menjadikan isu SWF sebagai headline utama dengan tajuk yang sangat provokatif,”Invasion of the sovereign-wealth funds”. Pada editorial edisi tersebut, diawali dengan rasa gundah akan masifnya pembelian saham-saham di Wall Street oleh “rich Arab and Asian states”, The Economist mengutip peringatan Senator Hillary Clinton kepada pemerintah AS.

We need to have a lot more control over what they [sovereign-wealth funds] do and how they do it,”seru Hillary. The Economist menambahkan,“Once an emergency has passed, foreign money can often be less welcome. One of Singapore’s funds, Temasek, has learned that lesson to has its cost in Indonesia.”

Sementara majalah bulanan Diplomat edisi Inggris yang terbit Februari 2008, menjadikan SWF isu penting  yang ditunjukkan dengan ditulisnya isu itu di cover majalah. Diplomat menurunkan tulisan berjudul,”Sovereign Wealth Funds: Are Governments Good Investors?”  Di dalamnya Diplomat mengutip dan menggarisbawahi fakta bahwa saat itu saja SWF sudah jauh kebih besar dibanding industri hedge funds dunia. “SWFS are already larger than the global hedge fund industry, which is thought to manage about $1500 billion to $2000 billion of assets,” tulis Diplomat.

Seterusnya, dunia sudah tak lagi bisa menginventarisasi detil. Tentakel SWF pun menjalar  ke bidang-bidang yang tak pernah terduga di awal-awal perkembangan-nya. SWF bahkan memasuki sisi olahraga dan–lebih jauh lagi—kebanggaan nasional (national pride) sebuah negara. Lihat fakta yang sempat bikin geger pada masanya ini; Public Investment Fund (PIF), SWF pemerintah Arab Saudi, membeli empat klub Arab Saudi, Al Hilal, Al Ittihad, Al Ahli dan An- Nassr, klub di mana Cristiano Ronaldo berada. Itu dilakukan setelah sebelumnya  PIF–yang ditaksir punya kekayaan Rp 6.000 triliun lebih itu—kelar mengakusisi klub Premier League, Newcastle United, pada 2021. Suntikan dana itu kontan membuat Newcastle United melejit. Baru satu musim diakuisisi, The Magpies sukses menembus Liga Champions untuk pertama kalinya setelah dua decade hanya nongkrong sebagai penonton!

Wajar bila media sekelas The New York Times urun menulis fenomena itu. Melalui Public Investment Fund, Arab Saudi tengah mewujudkan mimpi besar mereka di dunia sepak bola. “Sejak Ronaldo datang, Liga Arab Saudi sudah memper-timbangkan untuk berkoordinasi tentang perekrutan dengan biaya besar untuk didistribusikan ke klub-klub besar,”tulis The New York Times tahun itu.

“Tujuan proyek itu bukan hanya membuat Liga Arab Saudi setara dengan Liga Inggris atau liga top Eropa lainnya,” tulis New York Post tak mau kalah. “Tetapi juga untuk meningkatkan popularitas Arab Saudi dalam olahraga, dan kemungkinan melesatkan citra untuk undian tuan rumah Piala Dunia 2030.”

Bagaimana Indonesia?

Dalam pengantar buku yang ditulisnya, U Saefudin Noer menulis bahwa buku yang ditulisnya ini tak hanya disusununtuk memberikan pemahaman dalam rentang yang lebar tentang SWF. Niat utama penerbitan buku luks itu pun datang dari kehendak untuk “memberi inspirasi kepada banyak pihak”. Artinya, dalam kesopanan yang terjaga, yang menjadi ciri khasnya yang saya kenal, penulis ingin agar kekayaan alam negeri yang subur makmur penuh harta mineral dan barang tambang, jauh lebih banyak dan variative dibanding negara-negara pemilik SWF besar itu, dikelola dengan baik.  

Dalam bahasa saya yang lugas, tak mungkin kita terus mempertahankan ironi yang bikin malu kita kepada dunia : negara subur-makmur dengan SDA, tapi hanya dengan memalingkan muka pun kita akan bertemu aneka fakta kemiskinan. Apa yang bisa bikin kita bangga sebagai negara yang gampang masuk katagori terkena “kutukan sumber daya alam”, sebagaimana istilah itu diperkenalkan Richard M. Auty pada 1993.Bila tidak, mungkinkah akan terjadi korupsi timah sampai Rp 271 triliun besarnya?

Meski tak sekali pun menyebut SWF milik pemerintah Indonesia, buku ini kontan mengingatkan kita akan investasi pemerintah. Dulu lembaga itu disebut Pusat Investasi Pemerintah (PIP), di bawah Kementerian Keuangan, sekarang berubah menjadi Indonesian Investment Authority (INA). Tentang mengapa Saefudin tak sekali pun dalam buku ini membahas INA, setidaknya terkuak, juga di bagian pengantar. Menurut penulis buku, hal itu dikarenakan luasnya cakupan SWF, sehingga, dengan membahasnya dalam sebuah buku khusus yang menurutnya tengah dikerjakan,”…tak hanya penulis, para pembaca pun bisa lebih fokus pada urusan SWF di realitas kehidupan kenegaraan kita di sini.”

Yang jelas, buku ini seharusnya bisa menginspirasi para pemimpin publik, pejabat pemerintah—kecuali yang berhati legam – untuk mewujudkan sebaik-baiknya tekad para founding fathers ketika merumuskan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945,”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.  [ Inilah.com]

Judul: Fenomena Sovereign Wealth Funds(SWF)

Penulis: U Saefudin Noer

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tahun terbit: Cetakan I, 2023

Tebal buku: xxi + 459 halaman ISBN: 978-623

Back to top button