Zaman itu belum lagi ada snack-snack buatan pabrik yang mengandung sekian banyak micin alias penyedap rasa monosodium glutamate itu. Paling juadah buatan rumah seperti papais, koci, nagasari, pisang atau ubi rebus, rebus jagung, rebus kacang tanah, bahkan tak jarang ada teman yang membawa kulungsu alias penganan kecil dari biji asam Jawa yang direbus dan digoreng tanpa minyak atau disangrai.
JERNIH– Meski tidak menjadi budaya yang cukup ketat sebagaimana teman-teman di Minangkabau, kanak-kanak Sunda di masa lalu bisa dipastikan akrab dengan masjid, langgar atau pun surau.
Itu karena surau bagi kami saat itu tak menjadi tempat belajar yang ‘rigid’ dan ‘suci’. Bagi kami, surau lebih sebagai tempat permainan yang lain. Jadi mengaji pun mungkin saat itu kami anggap sebagai permainan yang lain, atau lebih baiknya, selingan di antara banyak permainan. Barangkali itu lebih mending ketimbang tidak mengaji sama sekali.
Begitu juga kami, anak-anak Kadipaten saat itu. Pada usia sekitar 6-11 tahun biasanya dalam sepekan selalu saja ada malam saat kami menginap di surau. Tak ada yang meminta kami untuk melakukan hal itu, sebenarnya. Tidak orang tua, tidak pula guru ngaji kami saat itu. Kami belajar mengaji biasanya bada Maghrib, sekalian menunggu datangnya shalat Isya. Dilanjutkan setelah shalat Subuh bila beberapa anak belum dapat giliran.
Inisiatif untuk menginap di surau—kami menyebutnya ‘Tajug’, datang dari kami sendiri. Ada yang usul, lalu disepakati bersama. Bila ada kesepakatan untuk nginap, biasanya usai shalat Isya masing-masing kami akan pulang ke rumah. Datang lagi ke Tajug dengan membawa buku pelajaran untuk esok, camilan bila ada, dan tentu saja sarung. Camilan atau makanan kecil itu, mungkin, yang jadi penyebab lain kami senang menginap di tajug. Kami bisa saling bertukar camilan sederhana, lebih sering buatan ibu kami masing-masing di rumah. Zaman itu belum lagi ada snack-snack buatan pabrik yang mengandung sekian banyak micin alias penyedap rasa monosodium glutamate itu. Paling juadah buatan rumah seperti papais, koci, nagasari, pisang atau ubi rebus, rebus jagung, rebus kacang, bahkan tak jarang ada teman yang membawa kulungsu alias penganan kecil dari biji asam Jawa yang direbus dan digoreng tanpa minyak atau disangrai.
Bila menginap di tajug, tak ada satu pun anak yang berbekal jaket. Saat itu jaket hanya biasa dipakai orang dewasa, itu pun bila mereka berpakaian untuk bergaya. Hanya ada dua jenis jaket saat itu: jaket kulit, atau jaket jeans alias denim. Kami anak-anak cukup bersarung untuk menahan dinginnya lantai semen yang hanya dialasi tikar pandan (tikar yang saat ini lazim dipakai penutup jenazah), juga untuk melawan angin Majalengka yang terkenal dingin menusuk tulang di saat kemarau.
Guru ngaji kami dua orang. Mereka kadang bergantian mengajar, meski lebih sering datang berbarengan. Sepertinya di antara mereka pun tak ada jadwal tegas. Yang satu Mang Ranawi, yang di luar waktu mengaji lebih sering dipanggil Mang No’ong. Nama yang jelas-jelas mengundang rasa ingin tahu kami sebenarnya. No’ong dalam bahasa Sunda artinya mengintip dalam pengertian negatif, dan tak ada nama ‘landihan’ atau sebutan saat itu yang tak memiliki etimologi alias asal-usul.
Satunya lebih muda, Mang Duleh, saat itu pun masih duduk di bangku Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Maja, kota kecil di kaki Gunung Ciremai yang berjarak sekitar 20-an km dari Kadipaten. Dia pulang pergi setiap hari, naik Angkutan Perdesaan atau tak jarang mobil Elf jurusan Cikijing-Bandung. Anak orang berkecukupan di kampung kami. Ibunya berjualan toge di Pasar Kadipaten, ayahnya berjualan kayu kelapa di rumah. Artinya keluarga yang setiap hari pegang uang. Sesuatu yang dalam keseharian warga lain di kampung kami saat itu, jarang.
Saya masih ingat saat Mang Duleh diterima di SPMA. Hampir sepekan lebih dia mengenakan seragam sekolahnya yang berbahan kain drill itu setiap maghrib saat mengajar kami mengaji. Saking bangganya, tentu. Entah berapa kali ia menunjuk sebuah badge kecil di pangkal lengan bajunya, bertuliskan ‘Eagle marmelos’.
“Yeuh, aing geus jadi warga Eagle marmelos,” katanya kepada kami dengan wajah bangga. “Nih, gua udah jadi warga Eagle marmelos.” Kami hanya merespons dengan bengong-bengong takjub. Namun kami mengerti, itu nama lain SPMA yang ia banggakan. Apa itu Eagle marmelos pun baru tahu bertahun kemudian manakala saya masuk SMA jurusan Biologi (A2). Itu nama latin dari buah Maja, buah yang seringkali dihubung-hubungkan dengan keberadaan kota kami, Majalengka.
Tajug kami sederhana. Ukurannya pun hanya bisa menampung empat shaf jamaah laki-laki dalam shaf-shaf berisikan sekitar enam orang jamaah. Shaf perempuan paling banyak tiga. Tapi meski kecil, namanya yang bikin lain dibanding semua tajug di kampung seantero Kadipaten. Bila nama-nama masjid atau tajug lain paling ‘Al’ ditambah satu kata Arab: At Taqwa, Ar-Rahman, dst, tajug kami lebih dari itu. Namanya pun lebih asing dan gagah. Al Baqiyatus Shaalihat.
Sialnya, nama keren yang pastinya dicari dengan susah payah itu dalam keseharian terjerembab. Warga lebih sering menyebutnya Tajug Bakiak. Mungkin karena lidah Sunda yang susah mengucapkan namanya yang benar, di satu sisi, mungkin pula karena memang di tajug kami orang sering kehilangan alas kaki. Bahkan bakiak marbot yang jelek pun, sempat hilang entah diembat siapa.
Baru belakangan saya tahu betapa indahnya nama tajug kami. Frasa Al Baqiyatush Shalihat itu terdapat dalam ayat ke-46 Surat Al-Kahfi, artinya amalan-amalan yang kekal lagi saleh. Kitab “Tafsir Jalalain” yang ditulis Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan bahwa Al-Bâqiyat ash-shâlihât itu adalah subhânallâh, wal hamdulillâh, wa lâ Ilâha illallâh, wa Allâhu akbar. Sebagian ulama menambahkan: wa lâ hawla walâ quwwata illâ billâh. Tega sekali kami saat itu yang menyebutnya Al- Bakiak.
Karena dari kecil saya nakal dan sering bolos, saya termasuk murid ngaji yang tak pernah-pernah khatam Alquran. Tapi mungkin karena saya anak seorang guru dan punya prestasi bagus di sekolah, saya tetap mendapatkan perlakuan yang baik dari guru-guru ngaji. Saya khatam Alquran pertama kalinya itu di penjara, di Cipinang. Di sana pula kemampuan ‘terbaik’ saya dalam membaca Alquran pun saya peroleh. Itu sebabnya, untuk saya pribadi, saya diam-diam mensyukuri anugerah Allah untuk sempat ‘masantren’ dan mendapat gelar LC (lulusan Cipinang) tersebut.
Barangkali karena benak kami saat itu masih bersih, hingga saat ini saya masih bisa mengingat banyak ‘pupujian’ atau nadom—nyanyian yang dinyanyikan setelah adzan sambil menunggu iqamat, yang masih lekat di benak. Biasanya ‘pupujian’ itu penghormatan terhadap Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, permohonan ampunan dan lain-lain. Biasanya, pupujian dalam bahasa Arab itu bergandeng dengan terjemahan yang membuatnya ‘lebih terasa dan terhayati’ karena kita mengerti.
Saya sudah hafal syair “I’tiraf” dari Abu Nuwwas itu jauh sebelum sadar judulnya dan sebelum ia dinyanyikan dengan syahdu oleh Haddad Alwi. Saat itu pun hanya mengerti artinya dari terjemahan lagu tersebut.
“Ilaahi lastu lil firdausi ahla
Wa laa aqwa ‘alan naaril jahiimi
Fahab li taubatan waghfir dzunuubi
Fainnaka ghaafiru dzanbil ‘adhimi”
Aduh Gusti, abdi sanes ahli Sorga
Namung moal kiat nahan ka Naraka
Mugi Gusti kersa maparinan tobat
Ngahampura kana dosa sareng lepat.” [dsy]