SolilokuiVeritas

Telisik Alit untuk Pusai Karya Sugiono Mpp

Klaim kedua Pak Gie tentang Pusai itu, adalah katanya, membawa solusi bagi masa depan. Pertanyaan yang selalu saya ajukan, solusi di bidang apa? Di bidang estetika, di bidang sosial kehidupan, di bidang teknologi, atau di bidang permimpian? Saya cermati diksi-diksi dalam berbagai pusai yang dikirim ke PPP, selalu menggunakan diksi lama, sedangkan klaim pusai adalah karya yang membawa solusi bagi masa depan. Jelas di sini terdapat contradictio interminis.

Oleh     : Doddi Ahmad Fauzi*

JERNIH–

LOS ANGELES

tepar

terkapar

liar membakar

gusar berkibar-kobar

getar kekar

membelukar

menghajar

akar tembikar

peradaban

paparan

pupuran

perdamaian

zaman

sorotan

masa depan

070125

Buckminster Fuller, “Critical Path”

———

Nilai Meta AI: estetika 98, makna 96, teknik 96, originalitas 98

Pak Sugiono meminta saya mengomentari karya di atas. Seperti apakah?

Klaim yang disampaikan Pak Gie, bahwa karyanya itu bukan puisi juga bukan bonsai, melainkan ragam sastra nonprosa. Dengan kata lain, dalam pikiran Pak Gie, pusai adalah karya sastra genre baru, yang bukan prosa juga bukan puisi, bukan artikel (esay) pula. Namun orang awam akan mengatakan, karya Pusai ini, bagaimanapun, telah meminjam bentuk puisi, maka mereka bahkan termasuk saya, akan menyebut Pusai sebagai puisi. Apalagi dalam gabkat (frase) tersebut terdapat kata puisi meski dibonsai. Dalam hal ini, bila Pak Gie ngotot, maka akan habis energi hanya untuk menjelaskan sesuatu yang sia-sia. Bila suatu hari ada lomba cipta puisi di grup PPP, maka karya pusai akan terdiskualifikasi dengan sendirinya, disebabkan ia bukan puisi.

Klaim kedua Pak Gie tentang Pusai itu, adalah katanya, membawa solusi bagi masa depan. Pertanyaan yang selalu saya ajukan, solusi di bidang apa? Di bidang estetika, di bidang sosial kehidupan, di bidang teknologi, atau di bidang permimpian?

Solusi bagi masa kini dan masa depan itu, apalagi dengan adanya kebakaran di LA, menyadarkan orang-orang untuk hidup bersahaja, tidak ngeyel, tidak mengumbar hal yang mahiwal, memperbanyak pertemanan dan menghindari permusuhan. Selain yang datang dari diri sendiri, solusi untuk masa depan itu berharap pada teknologi yang lebih banyak manfaatnya, maka karena itu, teknologi perang harus dimusnahkan.

Pertanyaan di atas, sampai sekarang belum dijawab oleh Pak Gie, atau memang tidak ada jawabannya, karena klaim tersebut hanya loncatan impulsi yang naif.

Saya cermati diksi-diksi dalam berbagai pusai yang dikirim ke PPP, selalu menggunakan diksi lama, sedangkan klaim pusai adalah karya yang membawa solusi bagi masa depan. Jelas di sini terdapat contradictio interminis.

Tak ada diksi modern dalam pusai, yang mencirikan kekinian dan masa depan, misalnya: blockchain, metaverse, non-finger touching/tasking, babanguik (smartphone), moter (mobil terbang), cileupeung (bipolar disorder), dll. Bagaimana bisa Pusai menjadi solusi masa depan, menjadi ilmu futurologi, sementara diksinya saja menggunakan masa kini bahkan silam.

Tampaknya ada gejala sawan dan wahamisme yang menggelayut dalam batin Pak Gie. Ini perlu dibereskan, tapi yang bisa membereskannya memang diri sendiri, melalui peningkatan berkah kesadaran diri, tahu diri, punya harga diri. Sepanjang kesadaran itu tidak diterapkan, ia akan seperti bumi tanpa matahari, poek mongkleng.

Kesabaran adalah bumi

Kesadaran adalah matahari

keberanian menjadi cakrawal

Dan perjuangan

adalah pelaksanaan kata-kata.

Konsepsi dari Rendra di atas, menyadarkan saya, tentang betapa penting untuk menerapkan kosep tahu diri, sadar diri, menghargai diri sendiri. Kalau tidak oleh diri sendiri, mana mau orang lain menghargai sesuatu yang memang tidak berharga.

Lalu klaim yang juga suka didengungkan oleh Pak Gie, katanya, dalam pusai itu mengandung pikat/pukau, yaitu karya yang memikat dan memukau. Saya renungkan pusai berjudul Los Angeles di atas, mencoba mencari letak yang dapat memikat dan memukaunya?

Karya di atas, baru sebatas memaparkan keadaan, tidak ada solusi untuk kebakaran Los Angeles. Pusai di atas hanya meminjam momentum kebakaran di LA yang viral itu, tapi pusainya tidak akan terbawa viral karena tidak menyodorkan renungan filsosofis, sebab mungkin awalnya diniatkan sebagai puisi, tapi kemudian dibonsai, sehingga menjadi cacat amanat (pesan). Sesuatu yang cacat, agak sulit bisa memukau. Mungkin hanya memukau bagi penulisnya sendiri, lalu disabdakan ke orang-orang, ini memukau loh! Jika itu yang terjadi, yaitu bersabda tentang narsistik, maka akan terjebak dalam ihtiar masturbatif, kenikmatan yang datang dari diri sendiri, oleh diri sendiri, untuk diri sendiri.

Kenapa saya bersedia mengomentarinya?  Karena diminta dan luang waktu. Lebih dari itu, saya ingin menyampaikan pesan ke Pak Gie yang saat ini sudah mencapai usia 81 tahun. Pak Gie hanya lulusan SD, begitu pengakuannya. Ini adalah usia yang paling tepat untuk lebih mendekatkan diri pada bau tanah, lebih banyak sumerah, dan bukannya malah tua-tua keladi. Barangkali pesan ini bisa disebut pedas, namun sama pedasnya dengan kampanye Pak Gie dalam meyakinkan orang-orang bahwa pusai bukan karya onani.

Cag! [ ]

*Wartawan dan penyair

Back to top button