Tentang “Bunuh Diri Sekeluarga”
Ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak. Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat, dalam peristiwa semacam ini serta-merta gugur. Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri.
Oleh : Reza Indragiri Amriel*
JERNIH– Saya tidak sepakat dengan sebutan itu. Empat orang yang terjun dari atap apartemen itu baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama), hanya jika bisa dipastikan bahwa pada masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual) untuk melakukan perbuatan sedemikian rupa.
Namun, ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak.
Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat, dalam peristiwa semacam ini serta-merta gugur. Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri.
Analog dengan aktivitas seksual. Dari sudut pandang hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual. Siapa pun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak, secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Anak-anak secara otomatis berstatus korban.
Kembali ke peristiwa terjun bebas di Jakarta Utara.
Terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, tetap–sekali lagi–mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju. Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual.
Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut.
Atas dasar itu, dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri. Karena mereka dipaksa melompat, maka mereka justru korban pembunuhan. Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang–harus diasumsikan–telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa.
Memang, walau kejadian tersebut berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri, melainkan menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas. Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.
Namun, dalam pendataan polisi, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana. Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi. [ ]
*Pembelajar, penyuka hikmah