Tentang Harapan Akan Hukum dan Penegak Hukum
“Dengar anakku, “kata Hakim Syuraih. “Di dunia ini, engkaulah puteraku yang paling kucintai. Tapi Allah dan Rasulnya lebih kucintai lagi. Seandainya kemarin di rumah, aku menyatakan engkau di pihak yang salah, aku khawatir kamu mengajak berdamai dengan dengan cara menyuap lawan perkaramu.”
Oleh : Usep Romli HM
Pada tahun 1997, pakar hukum Todung Mulia Lubis merilis buku “Langit Makin Mendung”. Isinya analisis dan mengevaluasi keadaan hukum, yang masih memprihatinkan dari tahun ke tahun. Baik dari segi penegakan, maupun dari segi mental aparat. Banyak kasus hukum yang diselesaikan “asal-asalan”. Terutama “asal ada uang”. Sehingga, istilah KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sering diplesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara”.
Tak sedikit penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) terlibat suap-sogok dalam menyelesaikan suatu kasus. Walaupun banyak pula yang jujur. Berpedoman kepa-da peribahasa “walau pun langit runtuh, keadilan harus tegak”. Dapat disebut antara lain, nama Baharuddin Lopa (almarhum). Mantan Menteri Kehakiman era Presiden Gus Dur ini, tak pandang bulu. Beliau wafat di Abu Dhabi tahun 2001. Atau Artidjo Alkostar (hakim Mahkamah Agung), yang selalu tegas menjatuhkan hukuman tambahan seberat-beratnya kepada terpidana koruptor yang mela-kukan kasasi.
Kosa kata “hakim” berasal dari bahasa Arab. Berarti pelaksana hukum. Menurut beberapa tafsir Quran, tugas hakim adalah menerapkan dan mewujudkan hukum Allah SWT di tengah kehidupan manusia. Banyak ayat Quran dan Sunnah Rasulullah Saw mengenai apa, siapa, dan bagaimana kedudukan hakim sebagai “wakil Allah” di muka bumi. Sosok hakim harus jujur, menguasai ilmu, dan berani. Sebuah hadis menyebutkan, orang yang ditugaskan (dipaksa) menjadi hakim, ibarat disembelih tanpa pisau (hadis sahih riwayat Imam Tirmizi).
Imam Tirmizi juga meriwayatkan, sebuah hadis berderajat sahih :“Seorang hakim berada di surga dan dua orang hakim berada di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu, maka ia masuk surga. Hakim yang mengetahui kebenaran, lalu melanggarnya dengan sengaja, maka dia masuk neraka. Sama dengan hakim yang memutuskan perkara tanpa pengetahuan” (Imam Syamsudin adz Dzahabi “Kitabul Kaba’ir”, Kairo, 1999).
Tradisi suap-menyuap sangat rentan menggganggu independensi penegak hukum sejak dulu hingga sekarang. Maka Rasulullah Saw menyatakan, orang yang menyuap dan orang penerima suap, mendapat laknat Allah (hadis sahih riwayat Imam Tirmizi).
Ya, untuk memenangkan perkara, banyak orang mengambil jalan pintas. Menyuap hakim yang menangani perkaranya. Dan hakim yang ingin segera kaya-raya, mengambil jalan pintas, menerima suap. Walaupun risikonya amat riskan di dunia dan di akhirat. Dicokok OTT KPK dan menandah laknat Alloh SWT.
Apakah hakim yang adil, lurus, berani dan siap menghadapi “langit runtuh” asal keadilan dapat tegak, masih ada sekarang? Terutama di negeri yang “carut marut”? Padahal Rasulullah Saw telah memperingatkan, “Innana ahlakallohul lazina min qoblikum, innahu iza saroqo fi himusy syarifu tarokuhu, wa iza saroqo fi himud dloifu aqomu alaihil haddu.” Allah telah menghancurkan umat sebelum kalian, lantaran jika ada kaum elit, mencuri, dibiarkan. Tapi jika kaum alit mencuri, hukum ditegakkan sebenar-benarnya (riwayat Imam Bukhari)
Apakah hakim adil jujur, lurus dan berani, hanya tercatat dalam kisah-kisah masa lalu? Seperti Hakim Bao di Cina (999-1026), yang tak pandang bulu. Ia menghukum siapa saja yang salah. Mulai dari istri kaisar, petinggi negara, sahabat karib, penggembala kambing, dll. Berkat kegigihan Hakim Bao dalam menegakkan hukum, negara menjadi aman tenteram, maju, sejahtera lahir batin.
Atau Hakim Syuraih yang hidup pada zaman para sahabat (wafat tahun 80 H) . Ia tak segan-segan memvonis salah Khalifah Umar bin Khattab dalam kasus jual beli kuda dengan seorang Baduwi. Juga menolak kesaksian Hasan, putra Khalifah Ali bin Abu Thalib dalam kasus pencurian zirah (pakaian perang) miliknya, oleh seorang kafir “dzimmi” (non Muslim yang dilindungi oleh pemerintah Islam).
Dalam kitab “Ath Thabaqatul Kubra” karya Muhammad bin Sa’ad (abad 16), dikisahkan, anak hakim Syuraih berperkara dengan seorang temannya. Di rumah, ia mengadu kepada ayahnya, begini-begitu. Maksudnya ingin dibela.
Kata Hakim Syuraih : “Besok bawa temanmu ke persidangan. Aku akan memutus perkara itu di sana. Bukan di rumah, tempat aku menjadi ayahmu dan engkau menjadi anakku.”
Keesokan harinya, anak Hakim Syuraih dan temannya, yang menjadi lawan berperkara, datang ke persidangan. Keduanya ditanya mengenai persoalan mereka. Setelah keduanya selesai berbicara, Hakim Syuraih, memutuskan, anaknyalah yang bersalah.
Di rumah, sang anak menggerutu, menyesali sikap ayahnya : “Kalau bukan karena saran ayah, aku tak mau membawa perkara itu ke persidangan. Ternyata ayah mempermalukan aku,”anak Hakim Syuraih betul-betul kecewa. Semula ia merasa akan dimenangkan, karena yang menjadi hakim ayahnya sendiri .
“Dengar anakku, “kata Hakim Syuraih. “Di dunia ini, engkaulah puteraku yang paling kucintai. Tapi Allah dan Rasulnya lebih kucintai lagi. Seandainya kemarin di rumah, aku menyatakan engkau di pihak yang salah, aku khawatir kamu mengajak berdamai dengan dengan cara menyuap lawan perkaramu.”
Keadilan dan kebijaksanaan Hakim Syurai dan Hakim Bao, mungkin hanya tinggal kisah basi belaka. [ ]