Solilokui

Tentang Pengeras Suara di Masjid*

Apalagi sampai terjadi semacam “persaingan” antara mesjid yang satu dengan mesjid yang Jain karena berdekatan. Malah mesjid yang terlalu ribut dan bising akan kehilangan kesyahduannya dan tidak lagi seperti tempat ibadah, bahkan dapat dianggap sebagai “mesjid zirar” yang disuruh hancurkan oleh Rasulullah. Kalau Rasulullah memilih Bilal sebagai muazzin, bukan karena suaranya yang keras, tapi karena kemerduannya.

Oleh  : Ali Audah**

JERNIH– Untuk menjaga nama baik mesjid, yang dengan sendirinya membawa nama Islam, rasanya sudah menjadi kewajiban setiap Muslim turut memikirkan dan bila perlu turut memberikan pendapat. Dengan keyakinan bahwa hal ini memang memerlukan pembahasan yang sungguh-sungguh, mendalam dan menyeluruh, salah satu sumbangan pikiran ini kita sampaikan dengan harapan akan menjadi bahan pertimbangan kita bersama, baik dari segi agama atau dari segi kemanusiaan pada umumnya.

Ali Audah

Kita sama-sama maklum, bahwa banyak orang yang mempergunakan pesawat pengeras suara di mesjid-mesjid untuk keperluan azan, membaca Qur’an, berzikir, doa dan sebagainya, di samping banyak juga orang yang pantang mempergunakan pesawat itu. Dalam hal ini kita ingin meninjaunya lebih bebas, tak perlu terpengaruh kepada orang lain.

Kita lihat dari segi agama misalnya, dapatlah dibenarkan menggunakan suara-suara keras untuk keperluan ibadah, yang akibatnya sampai begitu jauh keluar dari batas lingkungan? Jelas ini termasuk perbuatan ria dan ujub yang dilarang oleh agama, di samping mengganggu orang lain yang juga akan melakukan ibadah di rumahnya.

Ada pula suara dari mesjid yang berteriak-teriak membangunkan orang di waktu sebelum subuh dengan cara paksa, dengan pesawat pengeras suara keras-keras, dalam pembacaan Qur’an, tarhim dan sebagainya (malah yang dipasang cukup kaset saja), padahal kita tidak mengetahui keadaan lingkungan kita, tidak semua orang senang dengan itu.

Orang yang beribadah di rumahnya sendiri akan terganggu, dan mungkin juga ada orang yang sedang sakit. Jangan lupa, bahwa suara itu cukup jauh jangkauannya, karena biasanya pesawat diletakkan di tempat yang tinggi, dengan kekuatan suara sampai sekian decibel.

Ayat-ayat Qur’an dan hadis cukup banyak melarang kita menggunakan suara-suara keras dalam beribadah. Padahal yang dimaksud oleh Qur’an dan hadis ialah suara biasa, — apalagi kalau dengan pesawat pengeras suara yang ratusan kali lebih keras dari suara biasa.

Dan ingatilah Tuhan dalam hatimu, dengan rendah hati dan rasa fakut. Tetapi jangan dengan suara keras, baik di waktu pagi atau sore.” (al-A’raf (7J:205).

Dalam surah al-A’raf ayat 55 disebutkan, yang artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan dengan suara yang lembut, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang mengganggu berlebih-lebihan”.

Dalam beberapa tafsir disebutkan, bahwa, “al-mu’tadin” dalam ayat di atas berarti: ” permusuhan”. Jadi suara keras artinya mengundang permusuhan. (Tafsir Mahasinut-Ta’wil, al-Qasimi, jilid 7, halaman 2752-4, 2936-8).

Di dalam kenyataan memang banyak terjadi permusuhan antara pihak mesjid dengan orang-orang sekitarnya, tapi mereka tidak berani berterus-terang, Rasulullah dengan nada tegas melarang orang mengganggu tetangga dengan alasan apa pun.

Sehubungan dengan bersembahyang dan berdoa di dalam Qur’an disebutkan:  “Dan janganlah bersembahyang (beribadah) dengan suara keras-keras dan juga jangan diam-diam saja. Ambillah jalan tengah di antara itu”. (al-Isra’ (17):110).

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada, yang pada pokoknya melarang penggunaan suara-suara keras untuk keperluan ibadah. Begita juga hadis-hadis Rasulullah saw.

Sekalian kamu beribadah kepada Allah. Janganlah saling mengeras kan suara dalam membaca.

Suatu ketika Ali bin Abu Talib bersembahyang dan membaca doa dengan suara keras di dekat orang yang sedang tidur, oleh Rasulullah ia ditegur:

Bacalah untuk dirimu sendiri. Engkau tidak mengimbau yang tuli atau yang jauh, tapi engkau berseru kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Dekat”.

Dalam hadis lain disebutkan:  “Berhati-hatilah terhadap dirimu, karena kamu tidak mengimbau yang tuli dan jauh, tapi kamu mengimbau Tuhan Maha Mendengar dan Dekat. Dia bersamamu”, (Sahih Bukhari, jilid tiga, Kitab Magazi).

Apabila Rasulullah SAW sedang membaca di dalam rumah, yang  mendengar bacaanya hanya orang yang dalam kamar itu.” (Abu Daud dan Tirmizi).

Atau adakalanya lebih keras dari itu, tapi yang mendengar hanya dalam ruangan (di luar kamar) saja”. (Tirmizi, Nasa’i dalam Asy-Syama’il, serta Baihagi dalam ad-Dala’il), Maksud hadis itu ialah bahwa Rasulullah SAW dalam membaca sedang-sedang saja, tidak terlalu keras dan tidak berbisik.

Umar yang terkenal suaranya lantang ditegur oleh Rasulullah: ”Rendahkan suaramu sedikit”.

Bilal dilarang oleh Rasulullah membawa bacaan-bacaan sebelum azan subuh.

Maksudnya, orang yang membaca Qur’an dengan suara lantang sama dengan orang yang memberi sedekah dengan gembar-gembor. Sebaliknya yang membaca Qur’an dengan suara perlahan seperti orang yang memberi sedekah dengan diam-diam.

Tentu tidak ada orang yang akan melarang orang beribadah. Tapi tidak perlu dengan suara keras-keras, sebab ini akan mengganggu orang lain yang juga mau beribadah. Apalagi sampai terjadi semacam “persaingan” antara mesjid yang satu dengan mesjid yang Jain karena berdekatan. Malah mesjid yang terlalu ribut dan bising akan kehilangan kesyahduannya dan tidak lagi seperti tempat ibadah, bahkan dapat dianggap sebagai “mesjid zirar” yang disuruh hancurkan oleh Rasulullah. Kalau Rasulullah memilih Bilal sebagai muazzin, bukan karena suaranya yang keras, tapi karena kemerduannya.

Ulama-ulama besar sejak dahulu sampai sekarang sudah banyak yang membahas soal ini secara mendalam dan teliti: Imam Gazali, Syekh al-Maragi, Syekh al-Qasimi dalam tafsirnya, Sayyid Sabiq dalam “Fiqhus Sunnah”, Syekh Mahmud Syaltut dalam tafsirnya, Imam Zamakhsyari dalam “al-Kasysyaf”, tafsir Ibn Kasir dan ulama-ulama besar yang lain, mereka semua sependapat, bahwa suara-suara keras yang melampaui batas untuk keperluan ibadah itu dilarang. Apalagi sampai dengan pengeras suara.

Bahkan, kata para ulama itu, yang dikhawatirkan jangan sampai ibadah kita jadi ria, ingin diketahui orang, sebab Allah tidak menghendaki perbuatan ria, seperti disebutkan dalam beberapa surah dalam Qur’an.

Juga karena suara-duara ramai dan lantang itu keagungan masjid jadi hilang. Malah mungkin ada yang menilai sebagai perbuatan anak-anak atau main-main saja. Sedang toleransi yang menjadi ajaran Islam ialah jangan dipersulit dan jangan mempersulit orang dalam menjalankan ibadahnya, seperti disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah: ”Permudahlah, dan jangan dipersulit”.

Dan tidak melarang orang lain menjalankan ibadah di rumahnya sendiri. Juga di waktu jam kerja kita sering mendengar ada mesjid yang menyiarkan pembacaan ayat-ayat Qur’an keras-keras. Dengan demikian terasa ayat-ayat Qur’an tidak dihormati, sebab tak ada orang yang mendengarkan, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya.

Jadi untuk apa pengeras-pengeras suara dipasang di mesjid-mesid? Mana yang lebih banyak, manfaatnya atau mudaratnya? Itulah hikmah Qur’an dan hadis melarang kita menggunakan suara-suara terlalu keras atas nama agama. [  ]

*Pernah dimuat di “Harian Kami”, 26 Maret 1971

**Almarhum, sastrawan angkatan 1966, penyair dan penterjemah andal

Back to top button