Tuhan, Ilmu Pengetahuan, Tuhan
Oleh: Radhar Tribaskoro
Tujuan sains adalah mencari hukum yang mengatur alam semesta. Mengapa alam harus punya hukum, atau prinsip-prinsip yang teratur? Tidak lain karena para ilmuwan mengasumsikan bahwa alam semesta tidak sembarangan, melainkan sesuatu yang cerdas. Hanya bila alam itu cerdas maka ia bisa mempunyai hukum dan menegakkannya.
Dengan mengetahui hukum alam, manusia mengetahui apakah tindakannya benar atau tidak. Kebenaran yang paling abadi, yang bisa diketahui oleh manusia, ya hanya itu: kebenaran hukum alam. Bertindak secara serasi dengan hukum alam menjadikan manusia merasa “berada di atas jalan yang benar”, “di jalan keabadian”.
Untuk mengetahui hukum alam dan pengetahuan-pengetahuan lainnya manusia harus menggunakan pikirannya. Mereka itu nanti disebut kaum ilmuwan. Di luar mereka itu ada yang disebut kaum fatalis, yang menganggap pengetahuan cukup dari pengalaman, buku suci, dan perilaku orang-orang suci zaman dulu. Kaum fatalis itu tahu (dari pengalaman) bahwa bila orang meloncat dari atas pohon kelapa akibatnya fatal. Fatalisme mengatakan, “Jangan loncat dari pohon kelapa, karena Tuhan tidak menghendaki.” Fatalisme itu memang menolong orang banyak, sehingga tidak ada orang meloncat dari pohon kelapa, tetapi kehidupan menjadi statis. Sebab fatalisme menolak orang berpikir, merasa cukup dengan melontar alasan “karena Tuhan menghendaki”, “begitu kata kitab suci”, “begitu kata ulama zaman dulu”.
Jadi sains, sejak zaman Copernicus dan Galileo, pada dasarnya adalah pemberontakan kepada fatalisme. (Tentu saja menjadi pemberontakan kepada pemuka agama juga, sebab fatalisme kebanyakan berasal dari sana). Sains berkembang di dua ranah: ilmu-ilmu alam yang deterministik dan ilmu-ilmu humaniora yang non deterministik. Perkembangannya di dunia Barat dianggap telah membongkar awan gelap yang menyelubungi kebodohan manusia, maka disebut sebagai Masa Pencerahan.
Enggan memakai jawaban-semua-soalan “Karena Tuhan Menghendaki”, ilmuwan mencari tahu alasan sesungguhnya mengapa orang tidak boleh meloncat dari pucuk pohon kelapa. Dari situ ketemu hukum gravitasi. (Saya menggunakan temuan Galileo ini sebagai metafora, jangan dipikir terlalu eksak). Dengan mengetahui ada hukum gravitasi yang bekerja dalam “loncatan” itu menjadikan manusia maju selangkah lagi, ia bisa berpikir cara mengatasinya. Itulah yang membimbing manusia kemudian membikin pesawat terbang.
Maka melalui “pembebasan pikiran” manusia menyadari bahwa ia bisa memperluas batas-batas kemungkinan kehidupannya. Ia bisa bergerak secepat angin, bisa terbang seperti burung, bisa menyelam seperti ikan. Semua itu diraih melalui pengetahuan tentang hokum-hukum alam.
Apakah manusia bisa meraih itu semua tanpa melalui “pembebasan pikiran”? Pembebasan yang dimaksudkan di sini sebetulnya adalah pembebasan dari dogma agama. Di Dunia Barat, dogma agama telah menghalangi sains. Untuk membuka jalan bagi sains, orang Barat melawan dogma itu melalui slogan “kebebasan berpikir”. Andai saja doktrin agama tidak menghalangi kebebasan berpikir, slogan itu tentu tidak ada.
Memperalat agama untuk menghalangi sains tidak dilakukan oleh Pemuka Kristen saja tetapi juga oleh ulama Islam. Seribu tahun yang lalu Al-Ghazali mengkritik filsafat melalui bukunya, “Tahafut al-Falasiyah“. Kritik Al-Ghazali biasa saja dalam tradisi keilmuan. Persoalannya menjadi lain ketika kritik itu diangkat ke dalam politik di suatu masyarakat yang kebetulan terbelah ke dalam golongan yang mengutamakan ketaatan dan golongan yang mendorong kebebasan (berpikir).
Yang terjadi kemudian, pikiran Al-Ghazali dipergunakan untuk memberangus golongan yang disebutkan terakhir. Pemberangusan itu masih berlangsung sampai sekarang. Pemberangusan itulah yang menyebabkan masyarakat Islam sangat terlambat dalam penguasaan sains dan teknologi.
Jadi perlu dicatat, konflik agama vs sains terjadi karena politik. Bukan karena agama itu sendiri berlawanan dengan sains. Para pemuka agama tidak tahan terhadap efek kebebasan berpikir yang (dengan sendirinya) menggoyang kepercayaan yang berlaku pada saat itu. Bila kepercayaan-kepercayaan itu runtuh mereka khawatir kekuasaan mereka pun akan jatuh. Itulah yang terjadi ketika kaum Protestan mempertanyakan hak gereja mengeluarkan surat pengampunan dosa. Surati itu diciptakan bukan lantaran gereja memang memiliki kuasa mengambpuni dosa manusia. Surat itu dibikin agar gereja bisa mengumpulkan uang; uang itu perlu untuk membiayai kegiatan-kegiatan penguasa gereja.
Agama seharusnya tidak kuatir kepada sains. Alasan pokoknya telah dikemukakan di awal tulisan ini. Intinya, sains pun percaya bahwa alam itu cerdas karena itu bisa menciptakan hukum alam dan menegakkannya. Apa dan siapakah alam itu, kenapa bisa secerdas itu? Sains tidak mampu menjawabnya karena persoalan itu berada di bawah alam sadarnya. Filsafat sains pun tidak menjawab pertanyaan itu. Filsafat sains hanya mempersoalkan metodologi sains, yaitu asumsi-asumsi yang berada di balik paradigma yang ada (normal science).
Orang boleh saja mengatakan bahwa alam itulah Tuhan, bayangan Tuhan atau cermin Tuhan. Pandangan-pandangan itu tidak ada artinya bagi sains, tidak mengubah apa-apa dalam praktek dan cara kerja sains. Kalau ada sains atau saintis, seperti Richard Dawkins, yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, sebetulnya ia sedang mempraktekkan pseudo-science. Kata Popper, pseudo-science tidak bisa difalsifikasi. Tidak bisa dibuktikan salah, tidak pula bisa dibuktikan benar.
Jadi sains itu tidak bisa membuktikan Tuhan ada, tidak juga bisa membuktikan Tuhan tidak ada. Usaha sains itu paling jauh adalah membuat dirinya berguna. Ia tidak bisa membongkar asal-usulnya sendiri. Kepuasan tertinggi seorang ilmuwan terejawantah ketika ia merasa sangat dekat dengan alam, mengetahui betul sifat dan karakteristik alam. Dalam hal tersebut seorang non-relijius akan makin mencintai alam. Kalau ia seorang yang relijius, ia akan makin mencintai Tuhannya. [ ]