Solilokui

Tujuh Karakter Dasar Wasathiyah, Karakter Umat Islam Indonesia

Menampilkan Indonesia dalam pergerakan Islam gobal menjadi sangat penting. Karena selain membangun citra sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia, juga untuk menampik wajah Islam sebagai agama Timur Tengah yang umumnya dipahami dengan konotasi negatif. Bahwa Islam sebagai agama Timur Tengah adalah agama yang anti-demokrasi, diskriminatif terhadap perempuan, keras dan kaku, kurang kebebasan dan HAM, dan lain-lain.

Oleh  :  Imam Shamsi Ali*

JERNIH—Pada Jumat (15/10) kemarin saya mendapat kehormatan menjadi salah satu pembicara utama pada diskusi virtual yang dilaksanakan Moya Institute Indonesia. Hadir sebagai pembicara utama lainnya adalah Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Sebagai pembanding ada Dubes Prof. Imran Cottan (mantan Dubes RI di Australia dan Cina) dan Ustaz Mahfud Shiddiq  (sekretaris jenderal Partai Gelora). Sementara KH Marsudi Suhud menjadi keynote speaker menggantikan Ketum NU, KH Aqil Siraj.

Imam Shamsi Ali

Dalam presentasi singkat saya menyampaikan beberapa hal yang saya anggap relevan dengan tema dan keadaan dunia saat ini. Khususnya dalam konteks pergerakan global dan situasi Umat Islam. Lebih spesifik lagi dalam konteks keumatan dan peranan Indonesia dalam menampilkan Islam yang “rahmatan lil-alamin”.

Bagi saya tema ini sangat penting, bahkan terasa personal. Hal itu karena isu Islam dalam wajah ke-Indonesiaan kita kerap dipandang sebelah mata. Seringkali umat Islam dari dunia lain “overlook” (tidak memberi perhatian) kepada eksistensi dan potensi umat Islam Indonesia.

Ini sangat terasa dalam kerja-kerja dakwah kami di Amerika Serikat. Betapa Islam seringkali diidentifikasi sebagai agama Timur Tengah. Sehingga posisi kita sebagai Muslim non Timur Tengah biasa dipandang sebelah mata atau kurang dianggap.

Karenanya menampilkan Indonesia dalam pergerakan Islam gobal menjadi sangat penting. Karena selain membangun citra sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia, juga untuk menampik wajah Islam sebagai agama Timur Tengah yang umumnya dipahami dengan konotasi negatif. Bahwa Islam sebagai agama Timur Tengah adalah agama yang anti-demokrasi, diskriminatif terhadap perempuan, keras dan kaku, kurang kebebasan dan HAM, dan lain-lain.

Dalam presentasi, saya sekali lagi kembali menyampaikan  bahwa memahami makna wasathiyah perlu jeli dan sensitif. Wasathiyah tidak berarti mengurangi komitmen kita kepada agama. Tapi bagaimana komitmen agama itu terjaga dalam nilai-nilai keseimbangan dan pertengahan (middle path). Di sìnilah Islam di Indonesia hadir dan membuktikan bahwa “jalan tengah” (wasathiyah) adalah jalan terbaik.

Satu bukti konkret itu adalah diterimanya Pancasila sebagai falsafah kehidupan publik (bangsa dan negara). Pancasila itu wujud “jalan tengah” (middle path). Karena Pancasila bisa menjadi pegangan oleh semua elemen bangsa tanpa mengurangi signifikansi partikularitas masing-masing.

Ambillah contoh sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini dapat menjadi rujukan semua elemen bangsa yang memang percaya Tuhan. Hanya saja masing-masing kelompok agama dapat memahaminya sesuai dengan acuan agamanya. Orang Islam misalnya akan memahami Pancasila sebagai “Laa ilaaha illa Allah”. Pastinya orang Kristen, Hindu, Buddha akan memahaminya sesuai tuntunan agama masing-masing.

Karakteristik dasar ummatan wasathan

Kata wasathiyah diambil dari ayat Al-Quran, Surah Al-Baqarah: 143. Arti dan defenisi wasathiyah ini telah banyak disampaikan oleh banyak Ulama Islam. Selain berarti jalan tengah wasathiyah juga biasa diterjemahkan dengan “justly balance” atau “keseimbangan yang berkeadilan”.

Tapi yang lebih penting dipahami sesungguhnya adalah apa saja karakterisitik dan wujud realita wasathiyah dalam kehidupan berumat (bangsa, negara bahkan dunia)?

Ada tujuh karakteristik dasar dari wasathiyah yang dirumuskan dan disepakati pada pertemuan ulama dunia di Indonesia beberapa tahun lalu.

Pertama, al-i’tidal. Bahwa wasathiyah itu harus berkarakter yang tidak saja adil, tapi memiliki komitmen untuk menegakkan keadilan. Masyarakat yang “wasatha” adalah masyarakat yang bersih dari perilaku opresi (kezholiman).

Kedua, at-tawazun. Bahwa wasathiyah itu harus berkarakter imbang (balance) dalam segala aspek kehidupan. Imbang dunia-akhirat, physical-spiritual, personal-communal, dan seterusnya. Tawazun juga akan terlihat dalam sistem hidup yang imbang, misalnya antara kapitalisme dan sosialisme.

Ketiga, at-tasamuh. Bahwa wasathiyah itu harus berkarakter toleran. Toleransi itu bermakna tidak saja saling memahami eksistensi orang lain (keragaman). Tapi memberikan ruang yang sama dalam hak kepada yang lain dari kita.

Keempat, as-shura. Bahwa wasathiyah itu harus memiliki karakter “syura” yang berlandaskan kepada kebebasan dan partisipasi semua stakeholders. Diakui bahwa saat ini konsep terdekat kepada shura itu adalah konsep demokrasi. Tentu dengan mengakui adanya perbedaan di antara keduanya.

Kelima, al-islah. Bahwa wasathiyah itu selalu mengacu kepada kebaikan dan bertujuan  untuk kebaikan umum. Maka prilaku destruktif itu tidak relevan dalam masyarakat wasathiyah. Makanya estremisme dan radikalisme itu selalu berujung kepada kerusakan.

Keenam, al-qudwah. Bahwa wasathiyah itu harus mampu mewujudkan keteladanan dalam kehidupan. Keteladanan tentunya menuntut komitmen untuk mewujudkan hasil yang terbaik (khaeriyah atau the excellence). Ummat wasathan harus menjadi “Khaer Ummah” dan bukan ummat asal-asalan.

Ketujuh, al-muwathonah. Bahwa wasathiyah tidak akan pernah mempertentangkan dua komitmen hidup. Komitmen beragama dan komitmen Kebangsaan. Keduanya bisa dirangkul secara bersama-sama tanpa saling mengorbankan.

Ancaman wasathiyah

Namun demikian tidaklah mudah mewujudkan dan atau mempertahankan karakter wasathiyah dalam kehidupan manusia. Ada banyak faktor yang mengancam eksistensi wasathiyah. Ada lima hal utama yang saya lihat.  

Satu, kebodohan. Kebodohan ini boleh relevansinya kepada agama. Salah memahami atau memahami teks-teks agama dengan konteks yang salah. Atau kebodohan yang relevansinya terhadap situasi dunia di mana kita hidup. Keduanya membawa kepada cara pandang dan wawasan yang sempit.

Dua, faktor media yang kerap tidak jujur dan tidak mendidik. Islam di dunia Barat misalnya seringkali ditampilkan dengan tampilan-tampilan yang jelas tidak mewakili wajah Islam yang sesungguhnya.

Tiga, politisasi agama. Bahwa agama menjadi penting dalam kehidupan publik. Tidak mungkin agama dipisahkan dari kehidupan manusia. Dan ini fakta bahkan di negara-negara yang mengaku sekuler. Masalahnya memang bukan di situ. Masalahnya ada pada tendensi memakai agama sebagai “alat” untuk memburu kepentingan politik sempit. Seharusnya agama menjadi pengayom dan pengarah (guidance). Bukan alat dan kendaraan.

Empat, wasathiyah juga kerap menjadi rusak ketika konsep-konsep kehidupan salah dipahami atau dipahami di luar batas yang proporsional. Ambillah contoh kebebasan. Kebebasan kerap dipahami sebagai sesuatu tanpa batas. Pada akhirnya melahirkan bukan kebebasan lagi. Tapi kebablasan. Menghina nabi atau kitab suci misalnya atas nama kebebasan, jelas kebablasan.

Lima, wasathiyah juga sering rusak karena hilangnya “sense of justice” dalam kehidupan manusia. Ketika keadilan hilang maka manusia tidak akan merasakan ketentraman dan kedamaian.

Pada akhirnya saya menyampaikan bahwa karakter ummatan wasathan itu juga harus terwujud dalam bentuk komitmen untuk saling “memanusiakan”. Jangan sampai kehidupan manusia itu kehilangan kemanusiaan (insaniyah). Sehingga dalam berkarakter manusia justeru mengimitasi hewan bahkan lebih buruk dari hewan (adhollu).

Dan yang lebih parah lagi jangan sampai karakter buruk itu diatas namakan agama. Karena Sesungguhnya itulah pelecehan yang nyata kepada agama. Wallahu a’lam! [ ]

New York City, 15 Oktober 2021

* Presiden Nusantara Foundation

Back to top button