Ulama-Pengusaha
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gazali (Al-Gazali) mengingatkan, “Rusaknya rakyat karena para penguasanya, dan rusaknya penguasa itu karena ulama-cendekianya.” Dan saya tambahkan bahwa, “rusaknya ulama-cendekia itu karena kehilangan kemandirian ekonominya”.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gazali (Al-Gazali) mengingatkan, “Rusaknya rakyat karena para penguasanya, dan rusaknya penguasa itu karena ulama-cendekianya.” Dan saya tambahkan bahwa, “rusaknya ulama-cendekia itu karena kehilangan kemandirian ekonominya”.
Hal itu tercermin dari bangun-jatuhnya “sipilisasi” (civilization) Islam. Berbeda dari kekeliruan umum, Bapak Bangsa Mohammad Hatta membedakan istilah “peradaban” dan “sipilisasi”. Berasal dari kata “adab”, peradaban menekankan kehalusan budi, moralitas dan religiusitas (aspek kerohanian). Sedangkan “sipilisasi” kebalikan dari itu, menekankan kemajuan (tata-kelola) material-teknologikal.
Nah, sipilisasi Islam jaya saat para ulama membangun relasi kuat dengan pengusaha (pedagang). Bahkan, ulama sendiri banyak yang ber-dwifungsi sebagai pengusaha. Dalam sejarah Islam di Indonesia pun, kaum santri dinisbatkan sebagai pedagang.
Kemunduran sipilisasi Islam terjadi, tatkala poros ulama-pengusaha digantikan oleh poros ulama-penguasa. Pergeseran itu seiring dengan praktik penyaluran wakaf. Wakaf yang semula diberikan para pembesar tanpa pamrih, semata demi kemajuan ilmu dan kebajikan publik, mulai diberikan secara selektif kepada ulama yang bisa menjadi loyalis para pembesar. Lama-kelamaan, ulama menjadi kaki tangan penguasa, yang melemahkan sendi-sendi kewarasan (sikap kritis) masyarakat madani–dan menimbulkan pembusukan politik.
Untuk restorasi sipilisasi dan kehidupan negeri, sudah saatnya para ulama-cendekia berikut lembaga keagamaan- pendidikannya memperkuat kembali relasi produksi dan basis-basis kemandirian ekonominya. [ ]