Wadas dan Pengalaman Sawahlunto
Pada tahun 1976 produksinya pernah mencapai 1,2 juta ton per tahun menghidupi pabrik semen Padang, PLTU di Sawahlunto, dan kebutuhan energi nasional lainnya. Apakah dengan posisi strategis tersebut rakyat Sawahlunto jadi sejahtera? Mari kita lihat sejarah singkat Kota Tambang tersebut.
Oleh : Medrial Alamsyah*
JERNIH–Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, bergolak karena sebagian rakyatnya menolak desa mereka dijadikan lokasi tambang andesit. Kontroversi pun muncul antara yang setuju dan yang tidak setuju, antara yang mendukung pemerintah dan yang menentang kebijakan pemerintah itu.
Seperti biasa pemerintah mengerahkan para buzzer-nya dan tentu didukung para penggembiranya;dan sebaliknya kelompok oposisi dipelopori para intelektual bergerak berbasis kepentingan-kepentingan jangka panjang, argumen-argumen ilmiah, hukum, lingkungan, kemanusiaan, dll.
Pendek kata kembali terulang pertarungan antara kelompok pokoknya dukung dan menang tanpa mau memahami persoalan lebih dalam melawan kelompok pemikir yang peduli dengan masalah-masalah kenegaraan, kebangsaan, institusional dan berbagai aspek strategik lainnya.
Kesimpulan di atas bisa kita ambil berdasarkan berita berbagai media massa dan sosial yang beredar, tampak jelas ada pola kerja sama jahat antara pemerintah, aparat bersenjata dan pihak swasta. Pertama ditetapkan Desa Wadas sebagai bagian dari areal pembangunan Bendungan Bener yang masuk dalam proyek strategis nasional. Dengan penetapan itu aparat sipil dan bersenjata merasa memiliki legitimasi untuk bertindak atas nama “kepentingan umum”. Padahal sangat jelas bahwa, dengan jarak 10 km dari Bendungan Bener, penetapan Wadas sebagai bagian dari proyek strategis nasional itu sangat “debatable”.
Tulisan ini ditujukan pada pihak-pihak yang sangat memandang remeh akibat yang ditimbulkan dari usaha penambangan dan menganggap seakan-akan semua pembangunan infrastruktur seperti bendungan itu harus serta merta didukung alias tidak layak dikritik karena pasti mendatangkan kebaikan sehingga para penentangnya dianggap semata para provokator atau para penghalang kemajuan.
Pertama, pembangunan infrastruktur memang merupakan sebuah keharusan karena diperlukan sebagai penyokong sektor-sektor lainnya, akan tetapi harus dilakukan dengan hati-hati dan melalui perencanaan yang benar. Sebab, bagaimana pun setiap kegiatan pembangunan pasti akan ada biaya-manfaat dan ekses-ekses yang ditimbulkannya, karena itu harus dikaji secara teliti sehingga biaya atau kerugian yang ditimbulkan sekecil mungkin dengan manfaat seoptimal mungkin; serta ekses-eksesnya sebagai akibat pembangunan itu harus diatasi. Bila dilakukan secara serampangan tujuan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat justru akan berakibat sebaliknya.
Dari sisi biaya, pembangunan fisik apa pun pasti akan — bukan saja — menghancurkan sumber daya-sumber daya yang selama ini jadi andalan ekonomi masyarakat setempat, lebih dari itu — bahkan — tempat tinggal mereka. Hal itu berarti masyarakat tersebut harus mengubah budaya kerja dan aspek kehidupan mereka lainnya secara radikal yang seringkali tidak mampu mereka jalani dengan mulus. Seringkali pula para pemangku kepentingan yang bertanggung jawab mempersiapkan dan mengata-si masalah itu justru mengabaikannya sehingga tujuan pembangunan bagi kelompok marginal ini justru berujung petaka.
Sementara dari segi manfaat, seyogianya pembangunan apa pun, apalagi pembangunan infrastruktur, mendatangkan manfaat sejak proses pembangunan sampai beroperasi. Itu sebabnya setiap terjadi krisis ekonomi para ekonom selalu menyerukan penggu-naan pembangunan infrastruktur sebagai alat jaring pengaman sosial. Sebab pem-bangunan infrastruktur pasti membuka lapangan kerja serta transaksi-transaksi ekonomi yang–secara teoritis–diyakini menimbulkan efek menetes ke bawah dan seringkali disimplifikasi berarti meningkatkan kesejahteraan.
Kenyataannya seringkali tidak seperti yang diteorikan: lapangan kerja bagi masyarakat terdampak akibat pembangunan itu seringkali tidak kompatibel dengan keahlian yang mereka miliki, kecuali untuk posisi-posisi keahlian rendah seperti satpam, kuli, dan sejenisnya. Sehingga lapangan pekerjaan yang timbul lebih banyak diisi oleh para pendatang. Begitu juga transaksi-transaksi ekonomi, masyarakat setempat hanya kebagian transaksi-transaksi kecil yang tidak terkait langsung dengan proses pembangunan, seperti perdagangan kebutuhan harian dari para pekerja proyek tersebut. Transaksi-transaksi besar adalah milik para pemilik modal (besar) yang terjadi di kota-kota besar, jika bukan milik atau terjadi di negara investor yang membiayai proyek.
Kedua, membaca skenario pembangunan Bendungan Bener yang kemudian merembet ke Desa Wadas yang berjarak 10 km dari proyek strategis nasional tersebut seperti diuraikan di awal tulisan ini, tampaknya mengarah pada skenario buruk bagi masa depan masyarakat Wadas. Sebab, Wadas akan diubah menjadi area tambang besar yang tentu saja akan menjadi arena empuk bagi pemilik modal. Di sinilah pengalaman Sawahlunto menjadi relevan.
Seperti diketahui Sawahlunto adalah kota tambang (batu bara) pertama di Asia Tenggara. Ditemukan oleh insinyur Belanda Willem Hendrik de Greve pada tahun 1868 dan beroperasi pada tahun 1892 seiring dengan rampungnya semua infrastruktur pendukung, seperti jaringan kereta api ke Pelabuhan Teluk Bayur. Tambang ini segera mengubah Sawahlunto dari daerah perdesaan menjadi sebuah kota strategis di Hindia Belanda, sebab tambang tersebut — dengan produksi 620.000 ton per tahun — mampu menopang 90 persen kebutuhan energi Hindia Belanda saat itu.
Pada tahun 1976 produksinya pernah mencapai 1,2 juta ton per tahun menghidupi pabrik semen Padang, PLTU di Sawahlunto, dan kebutuhan energi nasional lainnya. Apakah dengan posisi strategis tersebut rakyat Sawahlunto jadi sejahtera? Mari kita lihat sejarah singkat Kota Tambang tersebut.
Tambang batubara Sawahlunto adalah sejarah perbudakan. Pada saat itu penjajah Belanda mendatangkan kuli kontrak/budak dari Jawa dengan sistem kerja paksa, dikenal di Sawahlunto sebagai orang rantai karena mereka bekerja dengan kaki dirantai supaya tidak lari. Anak cucu mereka secara turun temurun berbaur dengan masyarakat setempat, baik sebagai pekerja tambang maupun pedagang kecil. Sampai sekarang mereka adalah penduduk menengah miskin dengan status kepemilikan lahan pun tidak jelas.
Kampung saya yang hanya berjarak 3 km dari PLTU yang memasok batubara tambang itu baru menikmati listrik pada tahun 1977 (85 tahun kemudian) setelah Presiden Suharto mencanangkan program listrik masuk desa secara nasional. Listrik PLTU yang sumber energinya dari Sawahlunto tidak diutamakan untuk penduduk sekitar, melainkan untuk menghidupi kota-kota yang tidak punya koneksi langsung dengan kehidupan masyarakat yang menderita akibat kerusakan alam karena tambang.
Kasus Sawahlunto di atas adalah contoh konkret bagaimana (neo) kapitalisme meraup untung di tengah penderitaan masyarakat tempat mereka berinvestasi. Soekarno, dengan mengutip berbagai pakar, menguraikan dengan lebih lengkap dalam pleidoinya yang kemudian dibukukan dengan judul “Indonesia Menggugat”. Sukarno menggambar-kan masyarakat hanya kebagian remah-remah belaka dari kementerengan pembangunan (kapitalisme).
Tetapi di Sawahlunto ada pelajaran lain yang cukup menarik. Seiring dengan menipisnya cadangan tambang terbuka, PT Bukit Asam (Persero) menutup operasi mereka di Sawahlunto. Di tengah kecemasan masyarakat kota mereka bakal berubah menjadi kota hantu karena ditinggalkan 2000 karyawan perusahaan negara tersebut beserta keluarga mereka, muncul pahlawan bernama Amran Nur. Putra daerah yang terpilih sebagai wali kota baru saat itu membuat langkah cerdas terkait tambang. Dia memformalkan tambang-tambang liar milik pengusaha lokal sehingga bisa bertransaksi langsung dengan PLTU setempat.
Formalisasi itu membuahkan hasil dalam waktu relatif singkat: pertumbuhan ekonomi Kota Sawahlunto naik menjadi empat persen dari minus empat persen, pemerataan kesejahteraan juga lebih terasa, terbukti dari semakin banyak terbangun rumah-rumah mewah hasil usaha masyarakat setempat. Sebelumnya rumah baru, renovasi masjid dan pembangunan lainnya oleh masyarakat, lebih banyak karena sumbangan keluarga di rantau.
Penjelasannya sangat sederhana. Kendati jumlah pekerja tambang berkurang dari 2000 menjadi 800 orang, tetapi semuanya adalah penduduk setempat, demikian juga pengusahanya. Pertumbuhan sektor perdagangan yang didorong oleh gaji 800 orang karyawan tambang jelas lebih besar dari 2.000 orang karyawan lama karena sebagian besar dibelanjakan di Sawahlunto. Sebelumnya gaji 2000 orang karyawan lama itu hanya sedikit yang dibelanjakan di Sawahlunto karena banyak dari keluarga mereka tinggal di luar Sawahlunto.
Tidak itu saja. Keuntungan perusahaan yang tadinya ditarik ke tempat asal pemodal (Jakarta pada masa kemerdekaan dan Eropa pada era penjajahan), kini diinvestasikan dalam berbagai usaha di Sawahlunto, seperti dari pom bensin, penyewaan truk, hotel, sawit, dsb., yang sudah barang tentu membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Kalaupun mereka berinvestasi di luar Sawahlunto, keuntungan kembali ke Sawahlunto. Sebagian dari keuntungan itu mereka bagikan ke sanak keluarganya, membantu penduduk miskin, membangun tempat ibadah, membuka jalan baru, dll.
Kembali ke Wadas. Andaikata tambang batu andesit dikelola oleh perusahaan swasta besar, yang tentu saja jadi milik pemodal besar nasional dan asing, maka hampir bisa dipastikan nasib mereka — jika tidak lebih buruk — akan sama dengan Sawahlunto (pada masa lalu) dan masyarakat wilayah tambang lainnya di Indonesia.
Lahan hutan dan pertanian masyarakat serta merta berubah jadi lahan tambang dan tandus, budaya masyarakat harus berubah secara radikal dari budaya agraris menjadi budaya ekonomi modern lainnya yang tidak pernah mereka geluti sama sekali. Perubahan drastis yang bisa dipastikan dapat menimbulkan goncangan budaya massif dengan segala dampak buruknya.
Seperti biasa, para proponen model pembangunan yang punya banyak sebutan itu (exogenous development, pro-investasi, kapitalisme, dll) berdalih bahwa lahan masyarakat di sana akan diganti rugi secara adil. Dalih itu tentu saja sebuah simplifikasi masalah, karena ini bukan semata proses jual beli lahan. Melainkan sebuah pemaksaan perubahan budaya dalam waktu singkat yang di banyak tempat selalu gagal.
Dengan memaparkan contoh kasus Sawahlunto di atas, mungkin ada kesan penulis cenderung memberi solusi agar pemerintah di Wadas melibatkan atau menyerahkan kepemilikan tambang pada pemodal lokal. Ini juga sebuah simplifikasi karena proses perubahan kepemilikan tambang di Sawahlunto itu tidak sesederhana proses sertifikasi usaha seperti diceritakan di atas. Para pengusaha lokal di Sawahlunto itu telah berproses selama bertahun-tahun sebagai penambang liar sehingga memiliki pengalaman teknis pertambangan dan negosiasi bisnis cukup memadai. Lebih dari itu, masyarakat Sawahlunto telah berada dalam lingkungan industri pertambangan seabad lebih. [ ]
*pengamat birokrasi