![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2025/02/negara-dengan-utang-768x487-1.jpg)
Salah satu penyebab tingginya beban fiskal ini adalah banyaknya utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Dalam satu hingga lima tahun ke depan, pemerintah harus membayar lebih dari 50 persen dari total utang. Ini artinya, sebagian besar APBN akan tersedot hanya untuk membayar kewajiban utang. Situasi ini semakin rumit karena sebagian besar utang berbentuk Surat Berharga Negara (SBN), yang bergantung pada kondisi pasar keuangan global.
Oleh : Radhar Tribaskoro*
JERNIH– Pemerintahan Prabowo Subianto yang akan dimulai pada akhir 2024 tidak akan memiliki awal yang mudah. Salah satu tantangan terbesar yang menunggu adalah beban utang pemerintah yang sangat besar.
Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Keuangan, total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp8.338 triliun (lihat grafik), dengan sebagian besar jatuh tempo dalam beberapa tahun ke depan. Ini artinya, dalam masa kepemimpinan Prabowo, pemerintah harus mengalokasikan jumlah yang sangat besar hanya untuk melunasi utang dan bunganya, di luar kebutuhan rutin belanja negara lainnya.
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/2024/12/Radhar-Tribaskoro-.jpg)
Situasi ini tidak datang begitu saja. Selama bertahun-tahun, pemerintah terus mengambil utang untuk membiayai pembangunan infrastruktur, subsidi, dan belanja sosial. Pandemi COVID-19 memperparah kondisi ini, memaksa pemerintah mengeluarkan stimulus besar-besaran untuk menopang ekonomi yang nyaris ambruk. Kini, saat ekonomi mulai kembali stabil, utang yang telah diambil harus mulai dibayar, dan ini menjadi tantangan berat bagi pemerintahan baru.
Salah satu penyebab tingginya beban fiskal ini adalah banyaknya utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Dalam satu hingga lima tahun ke depan, pemerintah harus membayar lebih dari 50 persen dari total utang. Ini artinya, sebagian besar APBN akan tersedot hanya untuk membayar kewajiban utang. Situasi ini semakin rumit karena sebagian besar utang berbentuk Surat Berharga Negara (SBN), yang bergantung pada kondisi pasar keuangan global. Jika suku bunga dunia naik, seperti yang belakangan ini sering terjadi akibat kebijakan moneter Amerika Serikat dan Uni Eropa, maka biaya penerbitan ulang utang juga ikut meningkat.
Masalah lain yang tidak bisa diabaikan adalah fluktuasi nilai tukar rupiah. Karena sebagian utang pemerintah berbentuk pinjaman dalam mata uang asing, pelemahan rupiah terhadap dolar AS bisa memperparah beban pembayaran utang. Jika kurs rupiah melemah, jumlah rupiah yang harus dikeluarkan untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri akan semakin besar, menciptakan tekanan tambahan bagi keuangan negara.
Sebenarnya, pemerintah sudah mulai mengambil langkah-langkah untuk mengurangi tekanan fiskal ini. Salah satu cara yang dilakukan adalah restrukturisasi utang, yaitu dengan memperpanjang tenor atau menukar utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat dengan utang baru yang memiliki jangka waktu lebih panjang. Langkah ini bertujuan untuk meringankan beban pembayaran dalam jangka pendek dan memberi pemerintah lebih banyak waktu untuk memperbaiki kondisi ekonomi.
Selain itu, pemerintah juga berusaha meningkatkan pendapatan negara. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan dari sektor-sektor yang selama ini kurang tergarap, seperti ekonomi digital dan pajak karbon. Pemerintah juga mencoba meningkatkan penerimaan dari sumber daya alam dengan mengoptimalkan pendapatan dari sektor pertambangan dan energi.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ruang fiskal tetap sangat terbatas, sehingga pemangkasan anggaran menjadi opsi yang tidak bisa dihindari. Baru-baru ini, Prabowo telah mengumumkan pemangkasan anggaran di beberapa sektor non-prioritas sebagai upaya untuk menyesuaikan beban belanja negara. Beberapa proyek infrastruktur yang dinilai kurang mendesak kemungkinan besar akan ditunda atau dikurangi skalanya, sementara belanja pegawai dan operasional pemerintah akan lebih dikontrol.
Meski pemangkasan anggaran ini adalah langkah yang rasional dalam kondisi saat ini, efek sampingnya juga tidak bisa diabaikan. Pemotongan belanja bisa berdampak pada melambatnya pembangunan infrastruktur dan berkurangnya subsidi bagi masyarakat. Ini bisa menimbulkan ketidakpuasan publik, terutama jika program-program yang menyangkut kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial ikut terpengaruh.
Di sisi lain, ada beberapa solusi lain yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintahan Prabowo untuk mengurangi tekanan fiskal tanpa harus memangkas terlalu banyak anggaran yang berdampak langsung pada masyarakat. Salah satunya adalah meningkatkan efisiensi belanja pemerintah, dengan mengurangi program yang tidak efektif dan menekan kebocoran anggaran akibat korupsi dan inefisiensi birokrasi. Pemerintah juga bisa memperkuat kerja sama dengan sektor swasta, misalnya dengan memanfaatkan skema Public-Private Partnership (PPP) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur tanpa harus menggunakan dana APBN.
Selain itu, pemerintah bisa lebih aktif dalam mencari sumber pendanaan alternatif, seperti penerbitan obligasi hijau dan sukuk yang menarik bagi investor yang fokus pada investasi berkelanjutan. Cara lain adalah dengan mendorong investasi asing langsung (FDI), yang bisa membantu meringankan tekanan fiskal dengan membawa modal baru ke dalam negeri.
Pada akhirnya, tantangan fiskal yang dihadapi oleh pemerintahan Prabowo memang berat, tetapi bukan berarti tidak bisa diatasi. Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, termasuk pengelolaan utang yang lebih cerdas, peningkatan pendapatan negara, dan efisiensi belanja, Indonesia masih memiliki peluang untuk menjaga stabilitas fiskalnya tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Yang penting, semua langkah ini harus dilakukan dengan transparansi dan komunikasi yang baik kepada publik, agar masyarakat memahami mengapa langkah-langkah sulit ini harus diambil demi masa depan ekonomi Indonesia yang lebih sehat. []
- The BRAIN Institutte