
Kendati tak memahami fenomena teknologi mutakhir beserta dampak sosial-ekonominya, Jokowi terus berusaha mengasosiasikan diri dengan inovasi-inovasi teknologi untuk menutupi ketidaktahuannnya tentang dunia baru yang rumit, yang memerlukan berbagai disiplin ilmu untuk sekadar memahami dinamikanya. Maka hari ini, Whoosh terdengar seperti bunyi gas yang meloloskan diri dari lubang anus. Memang cepat sehingga baunya seketika tercium hingga ke sudut-sudut terjauh negeri ini.
Oleh : Smith Alhadar*
JERNIH–Whoosh, dimodernkan dari kata “wuss”, adalah satuan kecepatan tak terukur menurut imajinasi orang awam. Karena itu, Whoosh dipilih Jokowi untuk dilekatkan pada Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Harapannya, Whoosh menjadi bagian dari simbol modernisasi Indonesia yang dipromosikannya.
Kendati tak memahami fenomena teknologi mutakhir beserta dampak sosial-ekonominya, ia terus berusaha mengasosiasikan diri dengan inovasi-inovasi teknologi untuk menutupi ketidaktahuannnya tentang dunia baru yang rumit, yang memerlukan berbagai disiplin ilmu untuk sekadar memahami dinamikanya.
Maka hari ini, Whoosh terdengar seperti bunyi gas yang meloloskan diri dari lubang anus. Memang cepat sehingga baunya seketika tercium hingga ke sudut-sudut terjauh negeri ini. Ironisnya, kendati mengakui KCIC sudah bermasalah sejak awal, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan meminta publik tidak mencari tahu bau busuk yang tak dikenal itu.
Mungkin karena senyawa kimianya mengandung kotoran atau dia ikut bertanggung jawab di balik deal Presiden Joko Widodo dan Presiden Cina Xi Jinping ini. Memang Whoosh menjadi simbol arogansi, kebodohan, dan pelacuran pikiran serta moralitas Presiden RI. Malu kita!
Bau busuk itu pertama kali dicium Menteri Perhubungan sekaligus Direktur Kereta Api Indonesia Ignatius Jonan. Karena gagal meyakinkan Jonan bahwa Whoosh baunya harum, Jonan cepat-cepat disingkirkan agar bau busuknya tidak menyebar.
Tapi mana mungkin proyek yang menghina common sense dan mempertaruhkan kedaulatan negara itu bisa ditutup rapat ketika teknologi digital membuka luas ruang percakapan publik dan platform media sosial mengkanalisasi protes, kritik, dan kekecewaan para cendekiawan yang tak diikutsertakan dalam partisipasi bermakna untuk proyek mahal demi melahirkan kebijakan yang prudent, rasional, dan akuntabel.
Proyek ini harus diusut tuntas dan dimintai pertanggungjawaban Jokowi karena aspek-aspek mencurigakan, merugikan rakyat, dan kebohongan berikut. Pertama, perancangan proyek ini dilakukan secara tertutup. Padahal proyek ini beresiko besar terkait beban keuangan yang akan dipikul rakyat dan kemungkinan negara tersandera utang yang sangat besar. Naskah akademis pun tak tersedia sehingga KCIC merupakan skema orang tolol yang mendahulukan imajinasi kebesarannya melalui takhayul.
Kedua, aspek feasibility proyek ini tak terpenuhi. Jumlah calon penumpang Whoosh tidak dipertimbangkan secara saksama sehingga setiap kali jalan Whoosh merugi karena penumpangnya minim. Whoosh atau juga dikenal sebagai kereta cepat Jakarta-Bandung tidak berhenti di pusat kota, sehingga penumpang dari Jakarta harus merogoh kocek lagi untuk mengambil trayek baru menuju pusat kota. Orang juga enggan naik Whoosh karena lebih merepotkan ketimbang naik bus atau mobil pribadi.
Ketiga, mark up besar-besaran. Menurut mantan Menko Polhukam Mahfud MD, biaya pembangunan per kilometer mencapai 52 juta dollar AS, sementara di Cina hanya 17-18 juta dollar AS. Ia mempertanyakan, siapa yang menaikkan, uangnya ke mana? Awalnya, kereta cepat ditawarkan oleh Jepang dengan bunga pinjaman hanya 0,1 persen.
Namun, aneh Jokowi membatalkan kerja sama dengan Jepang dan berpaling ke Cina dengan bunga 2 persen, yang kemudian membengkak menjadi 3,4 persen. Maka, beban utang Whoosh terus menumpuk. Setiap tahun bunganya mencapai Rp 2 triliun, sementara pendapatan tiket maksimal hanya Rp 1,5 triliun. Tak heran, ekonom senior almarhum Faisal Basri mengatakan sampai kiamat pun negara tidak mampu membayar utangnya.
Keempat, kebohongan publik. Awalnya Jokowi menyatakan kereta cepat Jakarta Bandung tidak dibiayai dengan APBN. Skemanya adalah B to B (business to business). Faktanya proyek itu dibiayai APBN alias uang rakyat. Itu sebabnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak membayar utang Whoosh.
Purbaya benar. Tapi beban utang Whoosh dapat berujung pada akuisisi Cina sebagaimana terjadi di Sri Langka. Pelabuhan strategis yang dibangun Cina di sana diambil alih Cina untuk kompensasi kerugiannya. Dus, kedaulatan Sri Langka tergadaikan. RI bisa mengalami kondisi serupa bila utang KCIC gagal dilunasi RI.
Proyek strategis serupa yang dilahirkan kedunguan dapat disaksikan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Proses kelahirannya mirip KCIC dalam hal kebohongan tidak menggunakan APBN, ketiadaan naskah akademis, dan tidak visible. Karena itu, pada 17 Agustus lalu, Presiden Prabowo Subianto menolak upcara kenegaraan itu dilakukan di sana.
Ini isyarat ia yang tak bersedia melanjutkan pembangunannya yang memakan ratusan triliun uang rakyat. Kementerian PU pun menghentikan pembiayaannya. Badan Otoritas IKN disuruh mencari dana sendiri untuk membiayainya sebagaimana Purbaya meminta Whoosh mencari sendiri dana membayar utang.
Kalau mau, sesungguhnya IKN dan Whoosh dapat menjadi pintu masuk untuk menyeret Jokowi ke pengadilan tepat satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Gibran pun dapat dilengserkan terkait dengan bukti jelas bahwa sesungguhnya ia hanya tamat SMP.
Segala upaya Prabowo–kalau memang ia benar-benar berniat memajukan bangsa ini–dengan program-program populis yang justru menciptakan masalah yang menggerus legitimasinya akan sia-sia tanpa mengenyahkan Jokowi, Gibran, dan Termulnya, dari seluruh pilar-pilar negara.
Mereka adalah simbol kebodohan dan kerusakan bangsa ini. Whoosh yang sudah melejit dari anus tak dapat ditarik kembali kecuali menghukum pelakunya. Kenyaman kita terganggu selama gas beracun itu masih beredar. Ini aib. Mengapa pemimpin yang kentut, rakyat yang disuruh menghirupnya dengan tulus Ikhlas? Ini budaya feodalisme sebagai suprastruktur untuk menindas rakyat. []
* Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)