Abu Ubaidah bin Jarrah, Sahabat yang Membunuh Ayah Sendiri
Pada hakikat kehidupan yang lebih dalam, Abu Ubaidah tidaklah sedang memerankan seorang anak yang membunuh ayahnya, melainkan sebuah representasi dari kebenaran yang harus menumpas habis benih-benih kekafiran yang ada dalam diri ayahnya.
Oleh : Tessa Sitorini
JERNIH– Penampilannya begitu memesona. Pemuda itu berperawakan tinggi dan atletis. Wajahnya cerah dan ditumbuhi janggut pendek yang tertata rapih.
Setiap orang yang melihatnya pastilah senang, dan siapapun yang bersua dengannya akan segera merasakan aura yang positif, bahkan hanya dengan berada di dekatnya saja. Sang pemuda itu berperilaku sangat sopan, rendah hati dan cenderung pemalu. Namun dalam situasi yang sulit, ia bisa terlihat serius dan awas, seperti kilau mata pedang yang tajam.
Para sahabat Nabi SAW menggelarinya “Amin” (orang yang tepercaya). Nama lengkapnya adalah Aamir ibnu Abdullah ibnu al-Jarrah. Namun ia lebih dikenal sebagai Abu Ubaidah. Abdullah ibnu Umar menggambarkan sosok ini sebagai berikut:
“Ada tiga orang terkemuka di Quraisy, mereka terkenal karena akhlaknya yang baik dan paling bersahaja. Apabila mereka berbicara kepadamu, mereka tidak akan menipumu dan apabila kamu berbicara kepada mereka, ia tidak akan menuduhmu berkata dusta. Mereka adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan dan Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Abu Ubaidah termasuk golongan yang pertama kali memeluk Islam. Dia menjadi Muslim sehari setelah Abu Bakar, bahkan melalui Abu Bakar lah ia menjadi seorang Muslim. Saat itu Abu Bakar Ash-Shiddiq membawanya, bersama Abdur Rahman bin ‘Auf, Utsman bin Mas’un dan Arqam bin Abi Al-Arqam datang ke hadapan Rasulullah SAW, lalu bersama-sama mengucapkan syahadat. Merekalah pilar-pilar awal dalam bangunan kokoh Islam kala itu.
Berperang melawan ayah sendiri
Sebagaimana Muslim lainnya, Abu Ubaidah juga mengalami masa yang sulit di Mekkah dalam periode awal perkembangan Islam. Ia harus menelan hinaan dan menghadapi berbagai kekerasan. Akan tetapi, setiap ujian dan kesulitan hidup yang ia alami justru kian menguatkan imannya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, bahkan tatkala ia harus menjalani salah satu ujian terberatnya, yaitu terlibat di Perang Badar.
Abu Ubaidah termasuk salah satu yang berada di barisan terdepan, bertempur dengan gagah berani, tak bergeming oleh ancaman kematian yang nyata di depan mata. Oleh karenanya, banyak pasukan Quraisy yang takut berhadapan langsung dengannya, kecuali satu orang yang senantiasa membuntuti dan mengejarnya kemana pun dia pergi. Ialah satu-satunya yang Abu Ubaidah sendiri enggan berhadapan langsung dengannya. Namun kali itu, pertempuran dengan orang tersebut tak dapat dielakkan lagi. Keduanya kini berhadapan satu sama lain dan saling menghunuskan pedangnya. Tak ada pilihan lain bagi Abu Ubaidah di tengah kecamuk perang yang dahsyat tersebut kecuali menuntaskan pertempuran itu. Maka ia melancarkan serangan telak dan mematikan tepat di kepala orang tersebut sehingga tubuhnya jatuh ke tanah dan ia pun meninggal saat itu juga.
Jangan tanya siapa orang yang Abu Ubaidah senantiasa enggan berhadapan dengannya itu. Sungguh, itu adalah pengalaman terberat yang pernah dialami seorang insan, bahkan hampir tak mungkin walaupun untuk sekadar dibayangkan. Pria yang tersungkur mati itu tak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah!
Sebagai seorang anak, tentu tidak pernah terbersit sedikit pun di kepala Abu Ubaidah untuk mengakhiri hidup ayah kandungnya sendiri. Akan tetapi, dalam sebuah perang kebenaran melawan kebatilan, pilihan yang ada baginya amatlah jelas, meski tak mudah untuk dijalani. Pada hakikat kehidupan yang lebih dalam, Abu Ubaidah tidaklah sedang memerankan seorang anak yang membunuh ayahnya, melainkan sebuah representasi dari kebenaran yang harus menumpas habis benih-benih kekafiran yang ada dalam diri ayahnya.
Berkaitan dengan peristiwa ini Allah Ta’ala menurunkan sebuah ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (Q.S. Al-Mujaadilah [58]: 22)
Sikap yang ditunjukkan Abu Ubaidah saat berhadapan dengan ayahnya itu sebenarnya tidaklah mengejutkan. Abu Ubaidah telah menerima kekuatan Cahaya Iman, keyakinan yang dalam akan jalan Allah dan perhatian yang tinggi dalam membangun umat Nabi yang sangat dicintainya – Muhammad SAW.
Menjadi hakim bagi Kaum Nasrani
Muhammad bin Ja’far, salah seorang sahabat Rasulullah, mengisahkan bahwa suatu ketika sebuah delegasi yang terdiri dari orang-orang Nasrani datang menghadap Rasulullah dan berkata, “Wahai Abu Qasim, utuslah salah satu orang kepercayaanmu kepada kami, seseorang yang engkau senangi, dan dapat menjadi hakim bagi beberapa perkara kepemilikan yang menimbulkan perseteruan di antara kami. Sungguh kami sangat menyegani orang-orang Muslim.”
“Baik, kembalilah kepadaku nanti malam,” jawab Nabi, “aku akan utus kepadamu seorang yang kuat dan dapat diandalkan.”
Umar bin Khattab mendengarnya, lalu mengisahkan, “Aku berangkat lebih awal untuk Shalat Dzuhur berjamaah dengan harapan aku lah orang yang Rasulullah maksudkan itu. Manakala Rasulullah selesai shalat, ia pun mulai menyapu pandangannya ke kiri dan kanan, dan aku pun bangkit dengan maksud agar Rasulullah dapat melihatku. Namun Beliau terus menyebar pandangannya hingga ia menemukan Abu Ubaidah bin Jarrah. Maka Rasulullah pun memanggilnya, ‘Pergilah bersama mereka (orang-orang Nasrani) dan berilah keputusan dengan kebenaran mengenai apa-apa yang mereka perselisihkan.’ Ternyata, Abu Ubaidah lah yang mendapatkan tugas mulia tersebut.”
Kekuatan seorang Abu Ubaidah
Abu Ubaidah tidak hanya menjadi orang yang terpercaya. Kekuatan mental dan fisiknya kerap kali teruji di berbagai kesempatan.
Salah satunya adalah pada saat Perang Uhud, di mana Kaum Muslim mengalami kekalahan. Kala itu kaum musyrik telah sedemikian rupa menguasai medan peperangan dan mulai berteriak, “Di mana Muhammad! Di mana Muhammad!” Suasana sangat mencekam dan Abu Ubaidah merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang secara suka rela menjadi pagar hidup demi melindungi Rasulullah dari serangan tombak kaum musyrik.
Ketika perang telah berakhir, Rasulullah mengalami luka parah berupa gigi geraham yang patah, luka pukulan yang dalam di dahinya serta dua pecahan logam yang berasal dari perisainya yang menancap dalam di pipinya. Abu Bakar mendekati Rasulullah dengan maksud hendak mencabut pecahan-pecahan perisai tersebut, namun Abu Ubaidah mencegahnya seraya berkata, “Izinkan aku yang melakukannya.”
Abu Ubaidah khawatir apabila ia mencabut kepingan logam tajam itu dengan tangannya maka akan mengakibatkan rasa sakit bagi Rasulullah, lantaran sulit menggenggam kepingan logam yang licin itu. Maka digigitnya lah kuat-kuat kepingan logam yang menonjol keluar itu dan manakala logam itu berhasil dikeluarkan, salah satu gigi depannya ternyata patah dibuatnya. Dengan gigi depan yang masih tersisa, Abu Ubaidah mencoba mencabut pecahan logam lainnya yang masih menancap di pipi Rasulullah dan upaya itu pun kembali membuat giginya yang lain patah. Karena peristiwa itu, Abu Bakar berkata, “Abu Ubaidah adalah orang paling mahir dalam mematahkan gigi!”
Pasca Rasulullah wafat dan akhir kehidupan
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih pengganti beliau yang bertugas sebagai khalifah. Pertemuan tersebut terjadi di Saqifah (tempat pertemuan) Bani Sa’idah dan hari itu tercatat sebagai salah satu momen bersejarah yang dikenal sebagai “Peristiwa Saqifah”. Pada hari itu, Umar bin Khattab berkata kepada Abu Ubaidah, “Rentangkan tanganmu dan aku akan bersumpah menaatimu karena aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Setiap umat memiliki seorang amin (penjaga) dan engkau adalah sang amin bagi umat ini.’”
“Aku tidak mau,”ujar Abu Ubaidah, “Aku menolak mendahului seorang yang telah ditunjuk oleh Rasulullah untuk menjadi pengganti beliau menjadi imam sholat hingga detik Rasulullah berpulang ke hadirat-Nya.” Maka ia pun memberikan sumpah setianya (bai’at) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Ubaidah tetap menjadi salah satu penasihat terdekat Abu Bakar dan pendukung kuatnya dalam kebenaran dan kebaikan. Hingga kepemimpinan berganti ke tangan Umar bin Khattab, Abu Ubaidah tetap meneruskan dukungannya kepada khalifah dan tak pernah menentang Umar kecuali pada suatu waktu.
Peristiwa itu terjadi tatkala Abu Ubaidah memimpin pasukan Muslim dan meraih kemenangan di Syria. Ia berdiri di sebuah daerah di mana sungai Eufrat berada di sebelah kanannya dan dataran Asia Kecil di sebelah kirinya. Saat itu tengah terjadi wabah besar di tanah Syria, suatu musibah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan telah merenggut banyak korban jiwa. Menyadari gentingnya keadaan kala itu, Khalifah Umar mengutus seseorang kepada Abu Ubaidah dengan membawa surat yang bertuliskan pesan dari Khalifah:
“Wahai Abu Ubaidah, aku sangat membutuhkanmu. Apabila engkau menerima surat ini di malam hari, kusarankan engkau berangkat sebelum fajar. Apabila engkau menerimanya di siang hari, berangkatlah sebelum matahari terbenam dan cepatlah kembali kepadaku!”
Ketika Abu Ubaidah selesai membaca pesan itu, ia berkata, “Aku tahu Amirul Mukminin memerlukanku. Ia ingin menyelamatkan nyawa seseorang, yang bagaimana pun tak akan abadi.” Maka ia menulis surat jawaban kepada Umar:
“Wahai Umar, aku tahu bahwa engkau membutuhkanku. Namun aku berada di antara pasukan Kaum Muslim dan tidak ada keinginanku untuk menyelamatkan diri dan meninggalkan mereka di sini. Aku tidak ingin berpisah dengan mereka hingga Tuhan memutuskan yang lain. Maka saat engkau menerima surat ini, mohon bebaskan aku dari perintahmu dan izinkan aku untuk tinggal bersama pasukanku.”
Saat Umar membaca surat balasan Abu Ubaidah tersebut air mata memenuhi sudut-sudut matanya hingga orang-orang yang berada di dekatnya bertanya, “Apakah Abu Ubaidah telah tiada, wahai Amirul Mukminin?”
“Tidak,” jawab Umar, “akan tetapi kematian tengah datang mendekatinya.”
Tidak berapa lama, penglihatan Umar menjadi kenyataan. Dalam kondisi dilanda penyakit dan mendekati sakaratul maut, Abu Ubaidah menyampaikan wasiat kepada pasukannya:
“Dirikanlah shalat, shaumlah di bulan Ramadhan, keluarkan shodaqoh, laksanakanlah haji dan umrah. Tetaplah bersatu dan saling mendukung satu sama lain. Jujurlah kepada pimpinanmu dan jangan menyembunyikan apapun dari mereka. Jangan sampai dunia dan segala isinya menghancurkanmu dari jalan Allah karena kalaupun seseorang hidup seribu tahun lamanya, ia akan tetap menjelang kematian seperti yang tengah engkau saksikan terjadi kepadaku saat ini. Wassalaamu’alaikum wa rahmatullah.”
Abu Ubaidah kemudian berpaling kepada Mu’adz bin Jabal dan berkata, “Wahai Mu’adz, pimpinlah kami dalam sholat.” Dalam sholat itu, jiwanya pun mangkat. [ ]
(Adaptasi dan terjemahan dari Companions of The Prophet, Vol.1, karya Abdul Wahid Hamid)
Link asli: https://www.qudusiyah.org/id/blog/2016/08/20/abu-ubaidah-bin-jarrah/