Al-Majenun, Para Ulama yang Pura-pura Gila
“Wahai Aban, apakah kamu gila?” Aban menjawab, “Betul. Saya gila di hadapanmu dan orang-orang sepertimu.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana itu terjadi?” Aban menjawab dengan puisi ini: “Menurut kalian akalku telah gila. Demi Tuhan, hatiku tidak gila. Dari diriku aku gila. Demi Tuhan manusia, ada yang lebih gila dariku yakni yang membeli dunia dengan agama.”
JERNIH—Tak jarang banyak banyak orang saleh, mereka yang dekat dengan Allah, berpura-pura gila padahal sehat wal-afiat. Banyak motif untuk ‘kegilaan’ semacam itu. Di antara mereka ada yang sengaja melakukan itu untuk menutupi keadaannya di hadapan manusia.
Abu al-Qasim Junaid berkata, “Kegilaan Bani Amir disebabkan oleh kecintaannya kepada Allah. Tapi dia menyembunyikan keadaan itu dengan menampakkan kegilaan.”
Malik ibn Dinar berkata, “Di Mashishah, saya melihat orang tua yang lehernya diikat belenggu dan rantai. Anak-anak kecil melemparinya dengan batu. Orang tua itu bersenandung,
“Orang-orang yang aku lihat berbentuk manusia,
ternyata jika diteliti bukanlah manusia.”
Malik ibn Dinar berkata, “Aku mendatanginya dan berkata,” Apakah kamu gila?”
Orang tua itu menjawab, “Tubuhku gila, tapi hatiku tidak.”
Lantas dia bersyair:
“Aku menampakkan diriku gila di hadapan manusia.
Supaya aku sibuk dengan diriku sendiri.
Wahai orang yang heran dengan cara berpikirku.
Apa yang harus kukatakan, sedang pikiranku tidak dipahami.”
Imran ibn Ali ar-Raqi berkata bahwa Aban ibn Sayar ar-Raqi merupakan pemimpin para qari’ dan orang-orang fakir di Raqqah. Dia juga merupakan referensi dalam bidang keilmuan. Suatu hari, anak semata wayangnya dimangsa serigala. Saking sedihnya dia berkelana tak tentu arah. Dia menjadi gila. Dia tidak merasa betah di rumah dan tidak suka menetap.
Saya mendapatkan tentang kondisinya. Saya mendatanginya di sebuah masjid saat dia sedang bercengkrama dengan para pemuka masyarakat. Lalu saya pun bertanya, “Wahai Aban, apakah kamu gila?” Aban menjawab, “Betul. Saya gila di hadapanmu dan orang-orang sepertimu.”
Saya bertanya lagi, “Bagaimana itu terjadi?” Aban menjawab dengan puisi ini:
“Menurut kalian akalku telah gila.
Demi Tuhan, hatiku tidak gila.
Dari diriku aku gila.
Demi Tuhan manusia, ada yang lebih gila dariku yakni yang
membeli dunia dengan agama.”
Saya pernah membeli sebidang tanah kepada salah seorang raja. Lalu, saya tahu bahwa dia ingin menolongku, saya pun malu. Dan, demi Tuhan, saya tidak menemuinya lagi.
Al-Farazdaq berkata bahwa Amr ibn Hindun memerintahkan al-Mutalamis dan Tharfah untuk membawa surat kepada petugasnya di Bahrain. Surat itu sendiri bersisi perintah membunuh al-Mutalamis dan Tharfah, namun mereka berdua tidak menyadarinya. Dalam perjalanan mereka berpapasan dengan seseorang di tengah jalan yang sedang berbicara, berjalan dan makan.
Al-Mutalamis berkata, “Hari ini, saya tidak pernah melihat orang yang lebih dungu dari orang ini.”
Lalu orang tersebut berkata, “Apakah engkau melihat kebodohanku? Memang aku dikeluarkan dari penjara dalam kondisi buruk, dimasukkan dalam kondisi baik dan dibunuh sebagai musuh. Demi Allah, sebenarnya orang yang lebih bodoh dariku adalah orang yang membawa kematiannya dengan tangannya sendiri.”
Lantas al-Mutalamis membuka surat yang dipegangnya. Ternyata isi surat itu adalah, “Apabila engkau didatangi oleh al-Mutalamis maka potonglah kedua tangannya dan kedua kakinya, lalu kubur dia hidup-hidup.” Karena itu, al-Mutamis melempar surat itu dan membacakan puisi.
“Dengannya aku merasakan pujian di samping orang kafir
Aku pun melempar semua hal yang cukup menyesatkan”
Kepada Tharfah, al-Mutalamis berkata, “Bukalah suratmu lalu bacalah.”
Tharfah menjawab, “Amar ibn Hindun tidak akan berani membunuhku.” Tharfah pergi membawa surat itu. Padahal tertulis ti dalamnya, “Apabila engkau didatangi Tharfah, maka potonglah lakinya. Tak usah engkau mengikatnya, biarkan dia begitu hingga dia mati.”
Penerima surat itu melakukan yang diperintahkan penulis surat tersebut. Tapi sebelum hal itu terjadi, Tharfah bersyair..
”Semua kekasih yang aku kasihi,
Allah tidak meninggalkan baginya kejelasan.
Mereka semua lebih menipu daripada rubah.
Malam pun mirip dengan siang.” [ ]
Sumber : ‘Uqala Al-Majanin”, Syekh Abul Al-Qasim An-Naisaburi