Awal Perjalanan Hartawan Syaqiq Al-Balkhi di Jalan Sufi
Setelah rentetan kalimat si budak, hati Syaqiq seolah berbisik,“Jika budak ini tidak pernah pusing memikirkan rezeki karena majikannya memiliki satu perkebunan yang subur—hanya satu perkebunan, yang bila dihadapkan dengan kekayaan Allah dia sangat-sangat-sangat melarat– apakah bisa disebut patut seorang Muslim ketakutan dan cemas memikirkan rezekinya, sementara sebagai Muslim ia adalah budak, hamba Allah yang Maha Kaya dan Maha Dermawan?”
JERNIH–Ada banyak sufi yang datang dari kalangan hartawan, bahkan bangsawan. Di antaranya, yang paling mudah dilacak, misalnya Ibrahim bin Adham, Sufyan Tsauri, Ibnu Arabi. Namun jarang diketahui bahwa Syaqiq Al-Balkhi, guru seorang imam sufi lainnya, Hatim Ibnu Asham ‘Si Tuli’, juga orang kaya yang memilih jalan sunyi kesufian.
Awal mula Syaqiq yang anak hartawan kaya raya itu berbelok arah menekuni kesufian bermula dari perjalanan niaganya ke Turki. Di sana Syaqiq sempat singgah memasuki sebuah rumah ibadat para penyembah berhala. Di dalam ruangan, Syaqiq melihat begitu banyak berhala bertebaran, berbaur dengan rahib-rahib berkepala plontos tanpa kumis dan jenggot.
Syaqiq yang kemudian menjumpai salah seorang pelayan rumah ibadah penyembah berhala itu berkata,”Kamu diciptakan Tuhan Yang Maha Hidup dan Menghidupimu, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Maka menyembahlah kepada-Nya, jangan kepada berhala-berhala yang tidak memberikan mudarat maupun manfaat kepadamu!”
Namun dengan diplomatis pelayan rumah berhala itu menjawab,” Jika benar yang Tuan katakan, bahwa Tuhan Maha Kuasa memberi rezeki kepada Tuan di negeri Tuan sendiri, mengapa Tuan dengan susah payah datang kemari untuk berniaga?”
Syaqiq melongo. Ia kena skak. Terketuklah hati Syaqiq, sehingga untuk selanjutnya ia menempuh kehidupan zuhud.
Ada satu kisah lainnya tentang Syaqiq di awal perjalanannya menempuh jalan sufi. Pada satu perjalanan menuju suatu wilayah Syaqiq melihat seorang budak sedang asyik bersenang-senang, bersuka ria di tengah suasana paceklik saat itu. Kondisi sulit secara ekonomi itu juga melanda tuan si budak itu sendiri.
Kepada si budak itu Syaqiq bertanya, “Apa yang kamu kerjakan? Bukankah kamu tahu orang-orang sedang menderita karena paceklik?” Budak itu menjawab polos, “Saya tidak mengalami paceklik, Tuan. Majikanku memiliki perkebunan subur, yang hasilnya selalu mencukupi keperluan kami.”
Ada beberapa detik setelah rentetan kalimat si budak, hati Syaqiq seolah berbisik,“Jika budak ini tidak pernah pusing memikirkan rezeki karena majikannya memiliki satu perkebunan yang subur—hanya satu perkebunan, yang bila dihadapkan dengan kekayaan Allah dia sangat-sangat-sangat melarat– apakah bisa disebut patut seorang Muslim ketakutan dan cemas memikirkan rezekinya, sementara sebagai Muslim ia adalah budak, hamba Allah yang Maha Kaya dan Maha Dermawan?”
Syaqiq merasa, selama ini dirinya terlalu fokus melihat ke luar diri, tapi jarang menengok ke dalam dirinya sendiri.
Menurut Hatim Al-Asham, Syaqiq sang guru pernah berkata,” Laksanakanlah lima perkara ini. Beribadahlah kepada Allah sebanyak apa yang kamu perlukan dari-Nya. Carilah bekal di dunia sebanyak usiamu di dunia. Berdosalah kepada Allah sejauh kamu mampu memikul siksa-Nya. Himpunlah hartamu di dunia sebanyak kesanggupanmu membawanya di kuburmu. Dan beramallah demi surga, sesuai kedudukan surga mana yang kamu kehendaki.” [ ]
Dari banyak sumber literasi, termasuk “Nashaihul ‘Ibad” karya Syekh Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al-‘Asqalany