Catatan Menjelang Buka (12) : Puisi
Puasa dan puisi bukankah nyaris sebunyi? Juga punya banyak kesamaan sifat. Puisi itu lahir dari kontemplasi, dari sunyi; puasa, bukankah juga meminta kita kontemplasi? Puisi ditulis dengan menyeleksi kata dan merenungkannya; dalam puasa bukankah kita juga harus berhati-hati bicara? Puisi berbicara tentang kejujuran; puasa bukankah juga soal kejujuran? Puisi itu indah; puasa sudah pasti upaya untuk mencapai keindahan hakiki. Jadi, puisi itu identik dengan puasa.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Hari ke-12. Semula saya berpikir tidak akan bisa menulis catatan ini. Bagaimana bisa, tiga puluh menit yang lalu saya masih terjebak macet di sekitar Gedung Sate. Saya sudah bayangkan bahwa kemacetan baru akan berujung di Jalan Terusan Jakarta. Dalam “kemacetan normal”, satu jam kemudian saya baru akan sampai di ujung kemacetan tersebut. Dan itu berarti saya baru akan sampai ke rumah tepat pada waktu berbuka.
Betul, merangkak ke Jalan Supratman, lalu lintas semakin padat. Saya ambil jalur kanan. Ini pilihan tepat saat macet. Ujung jalan supratman adalah lampu setopan yang menghubungkan jalan ini dengan Jalan Ahmad Yani, jalan protokol yang lebih lebar.
Di setopan itu kendaraan dari arah Jalan Supratman akan terbagi dua: satu jalur ke kanan ke arah alun-alun, satu lagi ke kiri ke arah Cicaheum. Saya sendiri akan ke arah kiri. Bukan ke Cicaheum, tapi ke Antapani. Setelah kurang lebih 200 meter dari setopan itu nanti akan ada gang ke kanan, masuk ke Jalan Sukabumi, dan seterusnya ke Jalan Terusan Jakarta.
Tapi, saya ambil jalur kanan. Soalnya, jalur ke kanan biasanya lebih mengalir. Nanti, kalau sudah dekat setopan, saya akan gunakan cara menyetir gaya angkutan umum, memotong ke jalur kiri. Jurus terakhir.
Tapi, tadi justru di jalur kanan kendaraan berhenti total, jalur kiri merangkak. Saya pikir ini pasti ada yang tidak beres di depan. Saya putuskan menggeser kendaraan ke kiri. Tentu ada beberapa suara klakson menyemprit di kiri-belakang. Tapi siapa mau peduli? Bukankah kota lebih banyak tuli.
Sekira lima menit, jalur kiri semakin lancar. Rupanya rambu setopan sedang bermasalah. Jalur kanan tertahan. Kendaraan dari arah kanan yang menuju Cicaheum juga tertahan. Akibatnya, jalur kiri dan jalan yang mengarah ke Cicaheum setelah setopan menjadi superlancar. Qodarullah. Pukul 16.45 saya sampai di rumah, lebih cepat satu jam dari perkiraan.
Tapi, persoalan lain muncul. Apa yang harus ditulis? Selain sejak pagi belum punya ide, kemacetan lalulintas itu juga semakin memacetkan pikiran. Mentok. Dulu kalau terjebak macet, saya sering berpikir bahwa penyebab kemacetan itu bukan di jalan raya, tapi di kantor penguasa.
Bagaimana kemacetan lalu lintas bisa diatasi kalau industri automotif tidak dikendalikan, misalnya? Ini bukan melulu soal manajemen transportasi dan kecakapan polisi. Ini soal kebijakan menyeluruh. Dan seterusnya, dan sebagainya. Tapi, tadi saya tidak mau berpikir demikian. Tadi, saya hanya bisa sedikit berseloroh dalam hati. Lalulintas macet karena saya ada di dalam kemacetan itu. Bukankah mobil yang saya kendarai juga berkontribusi dalam kemacetan tersebut.
Jadi, saya mesti menulis apa? Terlintas di benak saya puisi. Puasa dan puisi bukankah nyaris sebunyi? Juga punya banyak kesamaan sifat. Puisi itu lahir dari kontemplasi, dari sunyi; puasa, bukankah juga meminta kita kontemplasi? Puisi ditulis dengan menyeleksi kata dan merenungkannya; dalam puasa bukankah kita juga harus berhati-hati bicara? Puisi berbicara tentang kejujuran; puasa bukankah juga soal kejujuran? Puisi itu indah; puasa sudah pasti upaya untuk mencapai keindahan hakiki. Jadi, puisi itu identik dengan puasa.
Kalau puisi itu puasa, bukankah dengan begitu puasa juga puisi. Jika puasa adalah puisi, mengapa saya harus menulis puisi? Bukankah dengan berpuasa juga telah berpuisi. Semoga memang begitu. Semoga hari ini telah aku tulis puisi, untukmu. Selamat berbuka! [ ]
Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB