Catatan Menjelang Buka (16): Etalase
Baginda Yang Mulia bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi hingga muncul fitnah-fitnah dan kedustaan, dan pasar-pasar semakin saling berdekatan“ (HR. Ahmad). Pasar onlen itu kiranya bukan hanya berdekatan, tetapi berdesakkan, berkumpul, bahkan betumpuk dalam sebuah “play store” pada benda ajaib yang disebut smartphone
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH–Hari ke-16. Momen ini mengingatkan saya ke pengalaman masa kanak-kanak di kampung. Hari ini, sekira 40 tahun lalu, salah seorang Paman saya—semoga Allah memberinya karunia dan keberkahan—bilang,“Kita sudah melewati tanjakan, sekarang berada di turunan.”
Maksud Paman, shaum hari ke-1 sampai ke-15 itu berat, melelahkan karena belum terbiasa. Tapi, kalau sudah lewat hari ke-15 keadaan akan semakin ringan. Titik tengah sebagai puncak sekaligus penyeimbangnya telah terlampaui. Jarak ke penghabisan semakin dekat, garis kurvanya sudah menurun. Saya memahami maksud paman sebagai sebuah cara agar saya tetap bersemangat bershaum. Bisa dipastikan bahwa kala itu saya sudah tampak loyo.
Kini, 40 tahun kemudian, saya melihat si bungsu, 10 tahun, juga sedang giat bershaum. Tapi, saya tidak ingin meng-copy-paste kalimat paman tadi buat si bungsu. Masalahnya, saya tidak melihat kepayahan padanya. Alih-alih lemas, selepas ashar ia masih bisa lari-lari bersama temannya di komplek. Dan sebaliknya dari si bungsu sekaligus dari pernyataan paman, shaumnya sendiri bukan semakin ringan, melainkan justeru kian berat.
Penanda bahwa ia kian berat saya temukan tadi malam. Di masjid, saya lihat jamaah tarawih sudah banyak berkurang. Mungkin orang tetap bisa menahan lapar di siang hari, tapi malam hari sepertinya tidak bisa menahan kemalasan. Sudah berkurang semangat bisa merupakan tanda sudah mulai turun stamina. Dalam hal ibadah, stamina tubuh biasanya identik dengan stamina iman. Semoga saya salah.
Jika masjid mulai kurang pengunjung, biasanya ada tempat lain yang serentak sesak, yaitu pasar. Pada bulan Ramadhan, masjid dan pasar layaknya dua tabung yang dihubungkan seutas selang. Pada awal Ramadhan, tabung masjid berada di bawah tabung pasar sehingga air berkumpul di situ. Tapi, menjelang akhir Ramadhan posisi tabung masjid naik melampaui tabung pasar sehingga air turun memenuhi tabung pasar. Tentu ini kontradiksi—mungkin juga tragedi. Saat derajat masjid kian mendekati langit, para penumpangnya justru menyerbu bumi. Semoga saya salah lagi.
Prihatinnya, dibanding tiga atau empat tahun lalu, keadaannya kini bisa lebih serius. Soalnya, selain mall dan pasar konvensional lain, kini jenis pasar telah bertambah pula. Pasar baru ini lebih memesona dan canggih. Itulah pasar online.
Segalanya kini serba onlen. Dalam tiga tahun terakhir, bukankah membeli nasi saja melalui aplikasi. Dalam tiga tahun terakhir, kita tidak usah pergi mencari sesuap nasi; nasi itu sendiri yang justru mencari kita. Besok, barangkali, nasi-lah yang menyuap kita. Maksud saya, menelan kita.
Kini implosi (implossion) memang bukan hanya terjadi dalam bidang informasi, tapi juga komoditi. Semua hal bergerak memburu kita hingga ke sudut tempat tidur. Kita didesak oleh berbagai kemudahan. Seperti informasi yang meledak di dalam diri, besok (atau kini sedang) barang-barang komoditi yang akan meledak di rumah kita. Apakah ini revolusi pasar, pergerakan cepat ke arah peradaban yang kian canggih?
Kembali saya teringat hadits Nabi. Baginda Yang Mulia bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi hingga muncul fitnah-fitnah dan kedustaan, dan pasar-pasar semakin saling berdekatan.“ (HR. Ahmad). Pasar onlen itu kiranya bukan hanya berdekatan, tetapi berdesakkan, berkumpul, bahkan bertumpuk dalam sebuah “play store” pada benda ajaib yang disebut smartphone. Kini pasar telah migrasi ke dalam genggaman sebelah tangan kita. Jadi, karena faktanya begini, kiamat kiranya bukan hanya telah dekat, tapi sudah merapat. Wallahu alam bishawab.
Sebab demikian panoramanya, sebaiknya kita memang mesti semakin hati-hati dengan pasar. Jika tidak perlu-perlu amat, sebaiknya tidak usahlah pergi ke sana. Dan jika terpaksa harus, jangan lupa sebelumnya berdoa. Terkait hal ini Nabi Yang Agung bersabda. Barangsiapa masuk pasar, lalu membaca: “Laa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku walahulhamdu, yuhyii wa yumiitu wa huwa hayyun laa yamuutu, biyadihil khoiir, wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir,”Allah akan mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta keburukan dan meninggikan untuknya satu juta derajat.”(HR. At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ibnu Majah).
Lantas, bagaimana jika hendak masuk ke pasar online? Tiap kali mau mengangkat smartphone, kiranya tiap kali itu pula kita mesti berdoa. Minimal membaca basmalah. Sedihnya, smartphone itu bukan hanya ada di dalam genggaman, melainkan sudah menjadi bagian dari tubuh. Ia telah menubuh (embodiment).
Dengan demikian, pasar onlen pun bukan hanya melekat di tangan, melainkan tangan itu sendiri telah menjadi pasar. Tubuh telah menjelma etalase benda-benda. Puncaknya, tubuh bukan hanya berdosa, tapi telah menjadi dosa itu sendiri. Jadi, untuk menghadapi diri sendiri pun harus dipanjatkan doa. Dan tubuhku menjadi dosa sedemikian tidak lain karena kedzalimanku sendiri. Hiks. Ampuni hamba, Allah! Ridhailah shaum hamba, seluruhnya, seutuhnya! Selamat berbuka. [ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB