Imam Al Ghazali Tentang Tipu Daya Yang Menimpa Para Ulama [2]
Mereka tidak menjaga fisik, tidak mengendalikan ucapan dari pergunjingan, tidak mencegah perut dari barang haram, dan tidak mencegah untuk melangkah ke rumah-rumah penguasa. Jika demikian seluruh fisiknya, mereka pun tidak bisa mengatur hatinya dari sikap takabur, riya’, dengki dan seluruh sifat-sifat destruktif.
JERNIH—Menurut Imam Al Ghazali, sejatinya kalangan ulama ini terbagi menjadi beberapa golongan.
Kelompok keempat
Para Ulama yang meninggalkan pentingnya ilmu pengetahuan. Mereka hanya membatasi ilmu fatwa saja dalam bidang hukum dan peradilan. Mereka lebih banyak menekuni bidang kerja duniawi yang berjalan untuk kebaikan kehidupan. Lantas mereka menekuni bidang ilmu yang disebut dengan fiqih.
Mereka sebut disiplin itu dengan fiqih atau ilmu mazhab, sementara bersamaan dengan penekunannya tersebut mereka mengabaikan amal-amal yang lahiriah maupun batiniah. Mereka tidak menjaga fisik, tidak mengendalikan ucapan dari pergunjingan, tidak mencegah perut dari barang haram, dan tidak mencegah untuk melangkah ke rumah-rumah penguasa. Jika demikian seluruh fisiknya, mereka pun tidak bisa mengatur hatinya dari sikap takabur, riya’, dengki dan seluruh sifat-sifat destruktif.
Mereka ini terpedaya oleh dua hal :
Pertama : Dari segi ilmu pengetahuan. Kami telah membangun terapinya dalam kitab Al-Ihya’. Bahwa mereka itu seperti orang sakit yang mengetahui obatnya dari para cendekiawan, namun tidak mau tahu dan tidak mau menggunakannya. Mereka itu sebenarnya disanjung oleh kehancuran, dari segi bahwa mereka meninggalkan penyucian dan konsentrasi hati.
Mereka lebih sibuk dengan bab haid, denda, li’an, dzihar, sementara mereka mengabaikan konstruksi di dalam jiwanya. Mereka terpedaya oleh pengagungan orang-orang yang mengelilinginya, karena ia sebagai seorang hakim atau mufti yang menjadi rujukan. Bila mereka berpisah maka mereka saling menusukkan kejelekan masing-masing, namun ketika mereka bertemu, lontaran-lontaran mereka tidak muncul lagi.
Kedua : Juga dari segi ilmu pengetahuan. Bahwa mereka berasumsi, ilmu pengetahuan itu hanya ada pada bidangnya, dengan menduga ilmunya dapat menyelamatkannya. Padahal sarana yang bisa menyelamatkan adalah kecintaannya terhadap Allah swt. Cinta kepada Allah swt. tidak bisa diraih kecuali dengan ma’rifatullah.
Ma’rifat ini ada tiga: Ma’rifat Dzat, Ma’rifat Sifat dan Ma’rifat Af’aal.
Mereka ibarat orang yang menjual bekal di tengah jalan orang yang sangat membutuhkannya, sementara mereka tidak tahu bahwa fiqih (pemahaman) itu datang dari Allah, mengenal Sifat-Nya yang bersifat menakuti dan mencegah, agar hati senantiasa merasakan ketakutan, menekuni takwa, sebagaimana firman-Nya:“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. at-Taubah: 122).
Di antara mereka ada yang membatasi bidang pengetahuan agama tersebut pada bidang fiqih belaka dengan menekuni dimensi polemik antarulama (khilafiyah). Mereka tidak mencurahkan perhatian kecuali melalui metode perdebatan, disiplin dan menampakkan polemik, mempertahankan kebenaran semata bertujuan untuk bangga diri dan menang-menangan.
Sepanjang siang dan malam mereka berdiskusi dalam soal pertentangan antarmazhab, mencaci kekurangan lawan atau terman. Mereka sebenarnya tidak bertujuan mencari ilmu, tetapi untuk suatu gengsi di hadapan orang lain. Seandainya mereka sibuk dengan penjernihan hatinya, pasti tindakannya lebih baik dibanding pengetahuan yang tak bermanfaat kecuali sekadar manfaat dunia dan kesombongan. Padahal gengsi tersebut akan berubah menjadi neraka yang menjilat di akhirat nanti.Padahal dalil-dalil mazhab tidak lebih dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Betapa buruknya tipudaya yang mereka geluti!
Kelompok kelima
Mereka sibuk dengan ilmu Kalam dan polemik, dan sibuk mengkounter lawan-lawannya yang kontra. Mereka memperbanyak wacana logika yang berbeda-beda, dan menekuni doktrin metodologi dalam melawan kelompok lain yang berbeda. Mereka ini ada dua kalangan: Pertama, kalangan yang sesat dan menyesatkan, dan kedua, adalah kalangan yang meneliti secara detail.Kalangan yang sesat dan menyesatkan, mereka terpedaya oleh kealpaannya melalui kesesatan yang dipeluk dengan dugaan kuat bahwa kesesatan itu bisa menyelamatkannya. Kelompok ini terpecah-pecah dan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Mereka tersesat karena memvonis suatu pandangan tanpa mengetahui bukti dalil. dan metodologinya. Mereka menganggap dalil syubhat pun bisa dibuat pegangan dan akhirnya buktinya pun syubhat.Sementara kalangan yang meneliti secara detail, berpandangan bahwa polemik merupakan persoalan prioritas dan menempati posisi utama dalam agama Allah. Mereka berasumsi bahwa tak seorang pun bisa sempurna agamanya sepanjang belum mengkaji detail.
Siapa yang membenarkan Allah tanpa membuat penelitian dan kajian terhadap suatu premis, dia tidak dikategorikan sebagai Mukmin yang sempurna dan tidak bisa dianggap dekat dengan Allah swt. Mereka sarma sekali tidak menoleh pada generasi pertama, bahwa Nabi saw. yang disaksikan oleh mereka sebagai makhluk paling utama sama sekali tidak menuntut suatu dalil untuk keimanan seseorang. Abu Umamah al-Bahily r.a. pernah meriwayatkan dari Nabi Saww. yang bersada:“Suatu kaum tidak akan pernah sesat sama sekali kecuali jika perdebatan didatangkan kepada mereka”.
Kelompok keenam
Mereka sibuk dengan nasihat, mengangkat derajat orang-orang yang membahas seputar akhlak jiwa dan sifat-sifat hati, berupa khauf, raja, sabar; syukur; tawakkal, zuhud, yaqin, ikhlas dan kejujuran. Mereka sebenarnya terkena tipudaya karena dugaannya jika berbicara tentang predikatpredikat tersebut dan berdakwah dengan mengajak manusia untuk mendisiplinkan dengan predikat itu, seakan-akan mereka telah memiliki predikat yang sama.
Padahal mereka terlepas dari predikat tersebut kecuali sedikit orang saja, di mana kalangan awam tidak mengetahuinya. Mereka sebenarnya terbelenggu tipudaya yang dahsyat. Sebab mereka kagum dengan dirinya sendiri.Mereka menduga, bahwa mereka tidak menyelami ilmu cinta kepada Allah kecuali mereka pasti selamat saat itu. Mereka pun merasa aman dan terampuni dosanya karena mereka hafal akan ucapan kalangan ahli zuhud, sementara amalnya sepi.
Mereka sebenarnya lebih dahsyat tipudayanya dibanding Ulama sebelumnya. Hal itu disebabkan:
Mereka menyangka mencintai Allah dan Rasul-Nya, sementara mereka tidak mampu menyelami hakikat ikhlas kecuali mereka benar-benar ikhlas.
Mereka tidak pernah berpijak pada cacat jiwa yang tersembunyi kecuali mereka merasa suci. Begitu pula seluruh sifat-sifatnya.
Mereka mencintai dunia namun dengan menampakkan zuhud duniawi, padahal sangat ambisius dengan dunia dan kecintaannya yang kuat.
Mereka menganjurkan ikhlas sementara mereka tak pernah berlaku ikhlas.
Mereka menampilkan tindakan berdoa kepada Allah padahal mereka lari dari Allah swt.
Mereka menampakkan ketakutan terhadap Allah padahal mereka merasa dirinya aman dari siksa Allah.
Mereka berdzikir kepada Allah tetapi sebenarnya mereka lupa dengan-Nya.
Mereka merasa dekat dengan Allah padahal mereka jauh dari-Nya.
Mereka mencaci sifat-sifat tercela sedangkan sifat itu dipakai oleh diri mereka.
Mereka menampakkan seakan-akan tidak butuh makhluk, namun hatinya ambisius agar manusia mengerumuninya.Seandainya mereka dihalangi dari majelis-majelisnya di mana manusia berdoa kepada Allah di sana, dunia terasa sempit baginya.
Mereka menyangka melakukan kebajikan kepada manusia, namun seandainya ada orang lain lebih dahulu tampil dan berhasil dihadapannya, ia merasa gelisah dan dengki. Bila ada sebagian sahabatnya yang memuji orang lain yang kontra padanya, ia bersikap emosi kepada sahabatnya itu.
Mereka itu adalah kalangan yang benar-benar terkena tipudaya, dan jauh dari peringatan serta kembali pada jalan yang benar.
Kelompok ketujuh
Mereka beralih orientasi dari kewajiban prioritas dalam nasihat. Mereka adalah penasihat-penasihat zaman ini yang menyimpang, kecuali penasihat yang dilindungi oleh Allah swt. Mereka menekuni ketaatan, melakukan ekstase dan mengutip wacana-wacana dari aturan undang-undang syari’at dan keadilan, semata-mata agar dikagumi.
Kelompok lain malah menggunakan kata-kata yang indah, dengan tujuan menciptakan sajak-sajak dan agar disaksikannya perasaan-perasaan bertemu dan berpisah dengan Tuhan.
Orientasi mereka agar dalam majelisnya ada semacam ekstase, walaupun dengan tujuan-tujuan yang destruktif Mereka sebenarnya adalah syetan-syetan manusia yang tersesat dan menyesatkan. Bila kelompok-kelompok di atas tidak introspeksi diri, toh masih ada orang lain yang mengoreksi dan meluruskan tindakan mereka. Namun untuk kelompok terakhir ini mereka justru menghalangi jalan Allah, dan menyeret manusia pada tujuan-tujuan dan tipudaya kepada Allah dengan wacana-wacana penyimpangan, semata demi kemaksiatan dan kecintaan duniawi. Apalagi jika penasihat tersebut dihiasi dengan pakaian kebesaran dan penampilan, mereka berpidato di hadapan manusia agar selalu patuh, berharap rahmat kepada Allah swt., hingga mereka yang mendengarnya pun malah putus asa terhadap rahmat Allah swt. [Bersambung]