Imam Al Ghazali Tentang Tipu Daya Yang Menimpa Para Ulama [3]
Penghafalan hadis bisa melalui dua metode. Pertama, melalui hati dengan cara kontinyu dan mengingat-ingat. Kedua, melalui penulisan apa yang didengar dan pentashihan apa yang tertulis, dan kemudian menghafalnya agar tidak ada tangan yang mengubahnya.
JERNIH—Menurut Imam Al Ghazali, sejatinya kalangan ulama ini terbagi menjadi beberapa golongan.
Kelompok kedelapan
Mereka menerima ucapan ahli-ahli zuhud dan kisah-kisahnya dalam mencaci dunia, lantas mereka mengulanginya menurut apa yang telah dihafalnya tanpa menguasai makna sebenarnya. Salah seorang dari mereka lantas berdiri di atas mimbar memberi nasihat kepada orang lain, dan yang lain memberi nasihat di pasar-pasar sambil mengobrol ke sana-ke mari. Mereka menduga dirinya akan selamat di hadapan Allah, mendapat ampunan dengan menghafal ucapan ahli zuhud sementara amalnya sendiri kosong. Tentu mereka ini lebih dahsyat terpedayanya dibanding sebelumnya.
Kelompok kesembilan
Mereka menenggelamkan waktu-waktu mereka dalam bidang ilmu hadis, yakni dalam penyimakan hadis dan seluruh riwayatnya yang banyak. Mereka mencari-cari sanad-sanad yang asing dan tinggi. Hasrat mereka agar bisa berkeliling negeri dan meriwayatkan dari para syeikh, untuk selanjutnya ia bisa mengatakan, “Saya meriwayatkan dari Fulan, dan saya bertemu Fulan, saya mempunyai sanad-sanad yang tidak dimiliki orang lain.”
Tipudaya yang melanda mereka ini dari berbagai segi, antara lain mereka seperti pembawa buku. Mereka tidak berkonsentrasi untuk memahami Sunnah dan merenungkan artinya, namun terbatas pada penukilan. Mereka menduga tindakannya itu sudah cukup, Sungguh jauh! Bahkan tujuan mempelajari hadis dari segi makna dan pemahamannya sirna begitu saja.
Pertama-tama mempelajari hadis itu adalah mendengarkan, kemudian menghafal, lantas memahami, selanjutnya mengamalkan, baru menyebarkan. Mereka hanya membatasi diri mendengarkan kemudian tidak bisa membuat keputusan hukum dari ilmunya itu. Manakala tidak ada gunanya dengan pembatasan kerja mereka seperti itu, sementara hadis pada zaman ini bisa dibaca oleh anak-anak, mereka terpedaya dan alpa.
Sementara syeikh yang membacakan hadis pun kadang-kadang lupa, sampai hadisnya bertumpuk namun tidak mengerti. Si murid bisa jadi tertidur ketika syeikh meriwayatkan hadis, dan sang syeikh tidak tahu ketika murid itu tidur.
Semua itu merupakan tipudaya. Prinsip dalam penyimakan hadis adalah mendengarkannya dari Rasulullah saw, lantas menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana adanya. Riwayat itu lahir dari hafalan, dan hafalan lahir dari penyimakan. Bila penyimakannya lemah dari Rasulullah saw, ia bisa mendengarkan atau menyimak dari sahabat atau tabi’in, sehingga sima’nya dari mereka seperti penyimakannya dari Rasulullah saw. Ia harus memperhatikan dan menghafal sebagaimana para sahabat dan tabi’in menghafal, sehingga tak satu huruf pun yang dilalaikan. Seandainya ragu ia tak berhak meriwayatkannya atau mengajarkannya. Dan ia harus menyalahkan bilamana ada kesalahan.
Penghafalan hadis bisa melalui dua metode. Pertama, melalui hati dengan cara kontinyu dan mengingat-ingat. Kedua, melalui penulisan apa yang didengar dan pentashihan apa yang tertulis, dan kemudian menghafalnya agar tidak ada tangan yang mengubahnya.
Dalam hal ini hafalannya tertumpu pada kitab atau buku hadis, seharusnya buku-buku tersebut tersimpan rapi dalam perpustakaan dan terjaga agar tidak diubah orang lain. Ia tidak boleh menulis penyimakan yang dilakukan anak-anak, orang yang lupa dan orang yang tidur. Seandainya itu boleh, pasti penyimakan anak-anak boleh ditulis ketika dalam ayunan.Dalam penyimakan hadis memang ada syarat-syarat yang cukup banyak. Tujuan mempelajari hadis adalah mengamalkan dan mengetahuinya.
Hadis memiliki pemahaman yang banyak sebagaimana al-Qur’an. Riwayat dari Abu Sufyan bin Abul Khair al-Munhy, bahwa dirinya hadir dalam majelis Zahir bin Ahmad as-Sarkhasy. Hadis pertama yang diriwayatkannya adalah sabda Nabi saw.:“Di antara kebajikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan apa yang tak berguna”.Lantas ia berdiri dan berkata, “Ini sudah cukup bagiku hingga aku menuntaskan, kemudian barulah aku menyimak yang lain.” Demikian itu merupakan penyimakan yang sebenarnya.
Kelompok kesepuluh
Mereka menekuni di bidang ilmu nahwu dan bahasa serta syair dan bahasa-bahasa langka. Mereka terpedaya di sini, karena menduga disiplin ilmunya bisa menyelamatkannya.
Mereka merasa sebagai ulama ummat. Karena tegaknya agama dan Sunnah itu disertai ilmu nahwu dan bahasa. Lantas mereka tenggelam dalam bidang tersebut. Sungguh ini keterpedayaan yang besar. Kalau mereka berpikir pasti mereka tahu bahwa bahasa Arab itu seperti juga bahasa Turki. Orang yang mencurahkan hidupnya untuk bahasa Arab seperti orang lain yang mendalami bahasa Turki, India dan yang lainnya.
Mereka hanya dibedakan adanya syari’at saja. Padahal bidang bahasa adalah untuk mengenal ilmul gharib dalam Kitab dan Sunnah. Dan dari segi nahwu ada yang berkaitan dengan Kitab dan Sunnah, sementara mendalami secara ekstrem sampai pada frekuensi tak terbatas adalah sikap berlebihan yang tidak perlu dilakukan. Pakar dalam hal ini sebenarnya terkena tipudaya. [ ]