Sarri Ash-Saqathi, Karena Ucapan Alhamdulillah, Ia Beristighfar 30 Tahun
Sarri kemudian menjelaskan. Pertama, jangan meminta sesuatu apa pun dari seseorang. Kedua , jangan mengharapkan sesuatu apa pun dari seseorang. Ketiga, jangan menahan sesuatu apa pun yang akan diberikan kepada orang lain.
JERNIH–Nama lengkap wali sufi ini adalah Abi al-Hasan Sarri ibn al-Mughalis as-Saqathy. Beliau disebut-sebut sebagai paman sekaligus guru Imam Junaid Al-Baghdadi, dan murid Ma’ruf Al-Karkhi. Kesalehan dan kegigihan Sarri As-Saqathi dalam beribadah terkenal menembus tempat dan zaman.
Pada zamannya, Sarri dikenal sebagai ulama besar dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang sulit dicari bandingannya. Beliau menguasai ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu sejarah, ilmu tasawuf, ilmu kalam dan filsafat. Beliau bukan sekedar ahli ilmu tetapi ahli amal yang menghabiskan waktunya semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT.
Hal itu diakui keponakan sekaligus muridnya, Syekh Junaid al-Baghdadi, yang di kemudian hari menjadi penggantinya. Syekh Junaid pernah berkata “Aku tidak melihat seorang yang lebih hebat ibadahnya dari Sarri.” Selama 98 tahun Sarri tidak pernah berbaring kecuali pada saat sakit menjelang wafatnya. Artinya beliau senantiasa beribadah kepaad Allah Ta’ala siang malam. Jika harus tidur, itu pun beliau lakukan dalam keadaan duduk, sehingga wudhunya tidak batal. Wajar saja kalau tetangga dan murid-muridnya memanggil dia dengan julukan al-Mughilis, mengingat beliau tidak pernah keluar rumah kecuali hanya untuk melakukan kegiatan amaliah ibadah.
Sirri pernah berkata, ”Sudah tiga puluh tahun aku beristighfar kepada Allah hanya karena ucapan al-hamdulillah yang keluar dari mulutku” Tentu saja banyak orang menjadi bingung dengan pernyataannya itu. Mereka bertanya kepadanya.
”Bagaimana itu bisa terjadi?”
Sarri berkata, ”Saat itu aku memiliki toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap api, padahal tokoku berada di pasar tersebut. Aku bersegera pergi ke sana untuk memastikan apakah tokoku juga terbakar ataukah tidak? Seseorang lalu memberitahuku, ”Api tidak sampai menjalar ke tokomu”. Aku pun mengucapkan, ”Alhamdulillah!”
Setelah itu terpikir olehku,”Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini? Walaupun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko orang lain banyak yang terbakar? Ucapanmu : Alhamdulillah, menunjukkan bahwa engkau bersyukur bahwa api tidak membakar tokomu. Dengan demikian, engkau telah rela toko-toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar! Lalu aku pun berkata kepada diriku sendiri lagi, ”Tidak adakah barang sedikit perasaan sedih atas musibah yang menimpa banyak orang di hatimu, wahai Sarri?”
Sarri teringat dari hadis Nabi, ”Barang siapa melewatkan waktu paginya tanpa memerhatikan urusan kaum muslimin, niscaya bukanlah ia termasuk dari mereka (kaum muslimin)”. Sudah 30 tahun saya beristighfar atas ucapan alhamdulillah itu.”
**
Sarri memiliki perhatian yang sangat besar terhadap peringatan Maulid Nabi. Dalam sebuah kesempatan beliau menuturkan : “Barang siapa mendatangi tempat dimana di situ dibacakan Maulid Nabi, maka dia telah mendatangi sebuah taman Surga, sebab tujuannya mendatangi majlis itu adalah tidak lain untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah SAW.”
Sedangkan Rasulullah bersabda : “Barang siapa mencintaiku, maka dia bersamaku di Surga” (Abu Bakar Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I anathuth Thalibin Darul Fikr, juz3, hal 255).
Cinta diri dalam bentuk ini bukanlah sesuatu yang sesungguhnya maujud. Cinta semacam ini sesungguhnya hanyalah suatu bentuk kegandrungan seseorang pada dirinya sendiri. Karena itu cinta diri seperti ini harus disingkirkan. Sebaliknya cinta diri yang merupakan fithrah yang ada pada diri manusia seperti keinginan untuk memuliakan diri, mensucikan diri dan hal-hal semacam itu tentu saja tidak boleh diabaikan atau pun dibuang. Perbaikan dan penyempurnaan diri (nafs) manusia justru merupakan kemestian dan keharusan bagi manusia untuk mewujudkannya. **
Sarri as-Saqathi pernah berpesan kepada keponakannya yang juga seorang sufi, Junaid al-Baghdadi, “Wahai Junaid, sesungguhnya aku mengetahui jalan pintas agar masuk ke dalam surge.”
Junaid bertanya,”Bagaimana caranya, Paman?”
Sarri kemudian menjelaskan. Pertama, jangan meminta sesuatu apa pun dari seseorang. Kedua , jangan mengharapkan sesuatu apa pun dari seseorang. Ketiga, jangan menahan sesuatu apa pun yang akan diberikan kepada orang lain.
**
Sarri As-Saqqathy bercerita: Aku sedang berada di Baitul-Maqdis, ketika itu aku duduk di Sakhrah berdekatan dengan Masjid Al-Aqsha. Aku dalam keadaan sedih dan pilu sekali, kerana hari-hari untuk perlaksanaan haji ke Batullah hanya tinggal sepuluh hari saja. Jadi aku merasa kesal sekali karena tidak dapat menunaikan ibadat Haji pada tahun itu.
Aku berkata dalam hatiku: “Alangkah buruknya nasib! Semua orang telah berangkat menuju ke Makkah untuk menunaikan haji, dan kini yang tinggal hanya beberapa hari saja, padahal aku masih berada di sini!”
Aku pun menangis karena ketinggalan amalan haji tahun itu. Tidak beberapa lama sesudah itu, aku terdengar suatu suara ghaib menyambut tangisanku tadi.
Katanya:“Wahai Sarri, janganlah engkau menangis. Nanti Allah akan mengirimkan utusan-Nya untuk mengantarmu ke Baitullahil-Haram, Makkah di saat ini juga!”
Aku bertanya dalam hatiku: bagaimana ini boleh terjadi? Sedang saat ini aku masih di sini, padahal perlaksanaan haji tinggal beberapa hari lagi? Apakah aku akan diterbangkan? Atau bagaimana?”
Suara itu kedengaran lagi: “Jangan engkau ragu! Allah Maha Kuasa mampu mempermudah segala yang sukar bagaimanapun caranya.”
Mendengar jawaban itu, aku langsung bersujud kepada Allah untuk bersyukur dengan air mata kegembiraan. Kemudian aku duduk dengan hati yang berdebar-debaran dan hatiku terus bertanya: “Benarkah apa yang dikatakan oleh suara itu?”
Tiba-tiba dari jauh tampak dengan jelas empat orang pemuda berjalan cepat-cepat menuju ke masjid, dan kelihatan wajah keempat-empat pemuda itu sangat bersinar. Seorang diantaranya lebih tampan dan berwibawa, mungkin dia itulah pemimpin rombongan ini. Mereka shalat masing-masing dua rakaat.
Saya turun dari Sakhrah, lalu mendekati mereka, dalam hatiku berkata: “Moga-moga mereka inilah orang-orang yang dijanjikan Allah dalam suara ghaib tadi!”
Aku mendekati pemuda yang aku anggapnya pemimpin rombongan, agar aku dapat mendengar do’a dan munajatnya. Aku dapatinya sedang menangis, kemudian dia berdiri, menyentuh hati sanubariku. Selesai bershalat dia lalu duduk dan datang pula ketiga-tiga pemuda yang lain pula yang duduk di sisinya.
Aku pun mendekati mereka serta memberi salam kepada mereka.
“Waalaikumussalam,” jawab pemuda pemimpin itu. “Wahai Sarri Saqathy, wahai orang yang mendengar suara ghaib pada hari ini. Bergembiralah, bahwa engkau tidak akan ketinggalan haji pada tahun ini.”
Aku hampir-hampir jatuh pingsan, apabila mendengar berita itu. Aku terlalu gembira, dan tidak dapat kusifatkan betapa hatiku merasa senang sekali, sesudah tadinya aku bersedih dan menangis. “Ya, memang saya dengar suara ghaib itu tadi,”kataku.
“Kami,”kata pemuda itu, “Sebelum suara ghaib itu membisikkan suaranya kepadamu itu, kami sedang berada di negeri Khurasan dalam tujuan kami ke Baghdad. Kami cepat-cepat menyelesaikan keperluan kami di sana, dan terus berangkat ke arah Baitullahi-Haram. Tiba-tiba terfikir oleh kami ingin menziarahi makam-makam para Nabi di Syam, kemudian barulah kami akan pergi ke Makkah yang dimuliakan oleh Allah tanahnya. Kini kami telah pun memenuhi hak-hak para Nabi itu dengan menziarahi makam-makam mereka, dan kami datang ke mari pula untuk menziarahi Baitul-Maqdis,” Pemuda itu menjelaskan lagi.
“Tetapi, apa yang tuan-tuan lakukan ketika di Khurasan awal-awal itu?”tanyaku.
“Kami mengadakan pertemuan dengan rekan kami, yaitu Ibrahim Bin Adham dan Ma’ ruf Al-Karkhi. Dan saat ini mereka sedang menuju ke Makkah, melalui jalan padang pasir, dan kami pula singgah di Baitul Maqdis.”
Sungguh aku sangat heran, apakah benar apa yang mereka katakan itu? Di mana Khurasan dan di mana pula Syam? Jarak diantara kedua-duanya sangatlah jauh sekali dan jika ditempuh berjalan kaki memakan masa setahun lamanya. Bagaimana mereka dapat menempuhnya dengan sekedip mata saja?
“Moga-moga Allah merahmatimu,” ujarku. “Perjalanan dari Khurasan dan Baitul Maqdis biasanya ditempuh selama setahun? Bagaimana kamu dapat menempuhnya dalam masa yang singkat sekali?”
“Wahai Sarri, janganlah kau heran!” Kata pemuda pemimpin itu. “Kalau perjalanannya itu sampai seribu tahun sekali pun, bukankah kita ini semua hamba-hamba Allah, dan bumi pun kepunyaan Allah? Kita pergi untuk menziarahi rumah-Nya, jadi Dialah yang menyampaikan kita ke sana atas kehendak-Nya. Tidakkah engkau lihat betapa matahari beredar dari timur ke barat pada waktu siang harinya. Coba engkau fikirkan bagaimana matahari itu beredar? Apakah ia beredar dengan kuasanya sendiri, ataukah dengan kuasa Allah? Kalaulah matahari itu yang hanya jamad (benda yang tidak bernyawa), dan ia tidak ada hisab (perhitungan) dan tidak ada iqab (siksa) ia boleh beredar dari timur ke barat dalam satu hari, jadi tidaklah mustahil bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah boleh memotong perjalanan dari Khurasan ke Baitul Maqdis dalam satu saat saja. Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai kuasa mutlak dan kehendak untuk membuat sesuatu yang luar biasa kepada siapa yang dicintai-Nya atau yang dipilih-Nya, tiada suatu kuasa yang dapat menghalangi kuasa dari kehendakNya.”
“Engkau wahai Sarri as-Saqathy!” Seru pemuda itu tadi, “Hendaklah engkau memuliakan dunia dan akhirat sekaligus.”
“Siapa yang mau akan kekayaan tanpa harta, dan ilmu pengetahuan tanpa belajar serta kemuliaan tanpa kaum keluarga, maka hendaklah ia membersihkan jiwanya dari mencintai dunia sama sekali, jangan sekali-kali ia bergantung kepada dunia, dan jangan sampai hatinya mengingatnya sama sekali!”
“Tuan! Demi Allah yang telah menggutamakanmu dengan Nur cahaya-Nya, dan Yang telah membukakan bagimu dari rahasia-rahasia-Nya, sekarang engkau akan berangkat ke mana?”tanyaku.
“Kami akan berangkat untuk menunaikan haji, kemudian menziarahi maqam Nabi Saw.”
“Demi Allah, aku tidak akan berpisah denganmu lagi, karena berpisah denganmu berarti berpisahnya roh dengan jasad,” Aku merayu kepadanya.“Kalau begitu, marilah kita berangkat bersama dengan menyebut Bismillah.”
Dia mula bersia-siap dan berangkat jalan. Aku pun menurut di belakangnya. Sebentar saja kami berjalan, tiba-tiba sudah masuk waktu solat dzuhur.
“Wahai Sarri, sekarang sudah masuk waktu dzuhur, apakah engkau tidak shalat dzuhur?” tanyanya.
“Ya, aku akan shalat dzuhur”, kataku.
Aku pun segera mencari debu bersih untuk bertayammum. Tiba-tiba kata pemuda itu,“Tak perlu tayammum. Disini ada mata air tawar, mari ikut aku ke sana!”
Aku sebagai orang yang bodoh ikut ke jalan yang diarahkan. Disitu memang benar ada sebuah mata air tawar, rasanya lebih enak dan lebih manis dari rasa madu.
Aku pun berwudhu’ dengan air itu serta meminumnya dengan sepuas-puasnya. Kemudian aku berkata kepadanya: “Tuan! demi Allah, aku telah melalui jalan ini berkali-kali, tetapi tak pernah aku menemui mata air apa pun ditempat ini?”
“Kalau begitu kita harus bersyukur kepada Allah atas kemurahan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya.”
Kami pun bershalat bersama-sama, kemudian berjalan lagi hingga dekat ke waktu Ashar. Aku tidak percayakan diriku ketika aku lihat menara-menara tinggi Negeri Hijaz itu. Tidak beberapa lama sesudah itu, aku terlihat tembok-tembok Kota Makkah. “Oh, ini Makkah! bisik hatiku. Betulkah aku dalam keadaan sadar, ataupun mungkun ini hanya sebuah impian malam saja?”
Tiba-tiba tercetus dari mulutku, “Eh kita sudah sampai ke Makkah?” Aku terus menangis dan air mataku menetes diseluruh pipiku.
“Wahai Sarri,” Kata pemuda itu. “Engkau sudah sampai di Makkah. Sekarang engkau hendak berpisah denganku atau kau hendak masuk bersama-sama denganku?” tanya pemuda itu.
“Ya, saya akan masuk bersamamu,” jawabku.
Kami pun masuk Makkah itu melalui pintu Nadwah. Di situ aku temui dua orang laki-laki sedang menunggu kami. Seorang agak sudah tua parasnya dan yang lain pula masih muda dan tegak lagi.
Apabila kedua orang laki-laki itu melihat pemuda tadi, mereka tersenyum dan serta merta mereka datang dan mendekapnya. Kemudian sebut mereka: Alhamdulillah alas-salaamah! (segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kamu.)
“Tuan, siapa mereka ini” tanyaku. “Ah,” bunyi suaranya. “Yang tua ini adalah Ibrahim Bin Adham dan pemuda ini ialah Ma’ruf Al-Karkhi.” Aku pun bersalaman dengan mereka.
Kami sekalian duduk didalam Masjid hingga tiba waktu shalat Ashar. Kemudian kita bershalat Maghrib dan Isya’ di Masjidil Haram.
Sesudah itu, maka masing-masing mereka mengambil tempat-tempat sendiri di dalam masjid itu bershalat bermacam-macam shalat. Aku juga turut bershalat sekedar kemampuanku sehinggalah tertidur dengan nyenyaknya. Apabila aku tersadar dari tidurku itu aku dapati mereka sudah tidak ada lagi disitu. Aku coba mencarinya disekitar Masjidil Haram itu, tiada jejak pun melainkan sudah aku amatinya, namun bayangnya pun tidak kudapati. Kemana mereka telah pergi? Aku memanggil-manggil disitu seperti orang gila yang tidak tentu arahnya.
Kemudian aku pergi mencari mereka ditempat lain, disekitar Masjidil-Haram, dan sekitar kota Makkah, di Mina, dan ditempat-tempat lain lagi, namun aku tidak menemui walau seorang pun dari mereka.
Aku merasa sedih sekali, dan kadang-kadang aku menangis seorang diri, karena telah terpisah dari mereka itu sekalian. Semoga Allah merahmati mereka sekalian. [ ]