Solilokui

Percikan Agama Cinta: Kyai, Petai dan Seorang Murid Beradab Pesantren Tegalpanjang

Maka, dengan sekejap warga berbondong-bondong berkumpul di depan pohon petai: semua menatap ke atas. Ternyata sarung H. Darma jatuh, dan sialnya beliau (maaf) tidak pakai celana dalam. Maka, warga pun kaget dan tertawa, melihat sang guru punjaannya gelantungan di pohon petai tanpa sarung.

JERNIH– Saudaraku,

Hidup di lingkungan kultur santri sejak kecil acap kali menyimpan kenangan lucu, seru, dan indah. Banyak kejadian membekas di hati. Sulit terlupakan, sampai kapan pun. Ketika kuhayati secara mendalam, ternyata pelbagai peristiwa itu sungguh syarat makna: mengandung nilai-nilai edukasi. Pesan-pesannya tetap terasa relevan hingga kiwari.

Deden Ridwan

Alkisah. Suatu ketika, seperti biasa, aku ikut pengajian bersama Abah (almagfurllah K.H. A. Zainal Abidin) dan rombongan di Sagaranten, daerah pendalaman Sukabumi. Ya, kawasan pelosok. Jauh dari pusat keramaian kota.

Namun mintakat ini terkenal subur. Bayangkan. Sawah, kebun, ladang, terhampar luas-indah. Kolam-kolam ikan, peternakan ayam, kambing, kerbau, sapi berjejer di kaki gunung, sepanjang jalan.  Menemani perjalanan kami. Terlintas para warganya pasti hidup makmur-bahagia. Tak hanya itu, konon mereka sangat memerhatikan pendidikan: banyak berhasil menempuh pendidikan tinggi. Mengagumkan.

Ketahuilah. Waktu itu, aku masih kelas 2 SD, berumur 7 tahun. Untuk sampai ke lokasi harus ditempuh dengan jalan kaki normal kurang-lebih tiga jam. Tak jarang, kalau kecapean, aku sering digendong oleh anggota pasukan pejemput. Anehnya, meskipun jarak tempuhnya lumayan jauh, tak ada seorang pun peserta rombongan yang merasa kelelahan. Kami berjalan begitu asyik hingga tak terasa kurang dari satu jam sudah sampai di lokasi.

Kami menginap di rumah  H. Darma (bukan nama sebenarnya). Rumah panggung, beranyam bambu, beralaskan kayu. Rumahnya begitu luas dan asri. Dikelilingi kebun, sawah, dan kolam. Sejuk banget. Tentu saja, dilengkapi dengan masjid besar, majelis taklim, madrasah, asrama santri, dan rumah-rumah warga. Kami diterima di ruang depan secara lesehan dengan karpet dan tikar serba-merah.

Simaklah. H. Darma adalah santri senior kakek kami, K.H. Aminullah Zakaria, dikenal dengan sebutan Mama Tegalpanjang. Di kampung itu, H. Darma dikenal sebagai ajengan, tokoh masyarakat sekaligus saudagar-petani kaya. Ilmu, harta dan waktunya “diwakafkan” untuk kepentingan agama dan masyarakat. Karena aktivitasnya itu, ia tumbuh menjadi sosok kharismatik yang dihormati dan disegani warga.

Sesuai tradisi pesantren, H. Darma begitu khidmat sama Abah, pewaris sah Pesantren Tegalpanjang, baik dilihat dari sanad otoritas keilmuan maupun keturunan. Maka, kami dan rombongan disambut dengan hangat dan meriah. Ketika tiba, kami diiringi shalawat badr dan diarak. Abah disematkan serban sebagai simbol penghormatan. Pun makanan enak khas kampung melimpah ruah. Dihidangkan.

Suatu pagi, seusai pengajian semalam. Sang tuan rumah, sedang menyiapkan sarapan pagi istimewa. Semua hidangan lezat sudah siap disantap demi memuliakan tamu dan rasa takzim sama guru. Tuan rumah dan beberapa tokoh serta warga siap mendampingi rombongan ajengan untuk sarapan pagi bersama. Mereka sudah kelihatan lapar karena waktu sudah menunjukkan pukul 9.00.

Namun, sebelum dimulai makan, sesuai tradisi pesantren, Abah diminta berdoa dan hadiah (tawasul) dulu. Setelah selesai, Abah larak-lirik menatap menu makanan. Tiba-tiba Abah melihat pohon petai di depan rumah berbuah lebat.

“Haji, itu petai mau dijual bukan?”ungkap Abah sambil tertawa.

H. Darma pun kaget. “Bukan, Ajengan”. Wah, “Kenapa memang?”tanya H. Darma dengan nada serius. Pangersa Ajengan, “Suka petai?”

“Eh, ente mah. Kan Abah suka petai, apalagi ada sambal hijau. Pasti sedap. Cepetan, ambilkan, naik pohon,” lanjut Abah.

Sarapan pagi pun tertunda. Maka, dengan langkah terburu-buru, H. Darma segera memanjat pohon petai. Ia memanjat pohon dengan pakai sarung, baju putih dan peci “haji”. Tidak tahu persis apa yang terjadi. Tiba-tiba muncul suara menggelagar di atas pohon petai…

“Jangan keluar! Jangan keluar! Jangan keluar!”

Karena tahu itu suara H. Darma, sang tokoh panutan mereka, warga dengan sigap memukul bedug dan pentungan (kohkol) petanda ada bahaya. Maka, dengan sekejap warga berbondong-bondong berkumpul di depan pohon petai: semua menatap ke atas. Ternyata sarung H. Darma jatuh, dan sialnya beliau (maaf) tidak pakai celana dalam.. Maka, warga pun kaget dan tertawa, melihat sang guru punjaannya gelantungan di pohon petai tanpa sarung.

“Astagfirullah. Seharusnya ente jangan teriak. Langsung cepat-cepat turun saja,” kata Abah sambil tertawa sekaligus menenangkan warga untuk segera bubar.

Saudaraku, pesan moral  kisah ini adalah engkau sebagai pecinta ilmu mesti terus menghormati guru-gurumu. Karena dengan begitu keberkahan hidup akan terus mengalir: membasuh gerak-nafas hidupmu. Ingat, setetes ilmu yang engkau peroleh dari seorang guru adalah cahaya hidupmu. Cintai ilmu. Muliakan guru, tentu bukan mengkultuskannya. [Deden Ridwan]

Back to top button