Spiritus

Self-Healing: Nukilan Kisah Generasi Stroberi dan Generasi Durian

Kemampuan adaptasi sosial generasi stroberi rendah karena pilihan hidup bagi mereka hanya dua: “fight or flight”. Lawan atau balik kanan! Lawan adalah pilihan konfrontatif, sedangkan balik kanan (kabur) adalah justifikasi untuk, ya itu tadi, melakukan “self-healing”. Hengkang dari (kompetisi dan konflik) lingkungan. Padahal mana ada lingkungan sosial—apalagi dunia kerja—yang tidak berkaitan dengan kompetisi dan konflik yang bertubi-tubi?

Oleh  : Akmal Nasery Basral

JERNIH– “Luka adalah tempat di mana cahaya memasukimu” –Rumi

Belum lama ini jagat maya tanah air dibuat heboh oleh cuitan akun @collegementfess yang mengaku mahasiswa berusia 21 tahun. Dia menulis “nggak nyangka kuliah seburuk itu bagi mental health gue. Semester 1 gue udah dihujani tugas bener-bener banyak sehingga waktu gue untuk self-healing dan reward jadi kurang banget. Yang tadinya gue masih bisa nonton Netflix dan chat sama bestie sekarang jadi susah. Gue udah bilang ke ortu mau cuti dulu semester ini, fokus healing selama 6 bulan. Ortu nggak setuju, gue dibilang manja. Gue bingung kalau dipaksain IPK bakal anjlok. Susah komunikasi ke ortu karena mereka nggak aware soal mental health gue.”

Curhat ini sontak viral dan mendulang aneka tanggapan. Dari yang santun menasehati sampai kasar mem-bully.

Kata ‘healing’, ‘ self-healing’ dan ‘mental health’ belakangan ini marak digunakan publik terutama oleh Gen Z (zoomer), yakni mereka yang lahir tahun 1997-2012. Terdengar serius namun salah kaprah. Lebay.

Padahal yang mereka maksud seringkali hanya sedang bosan menghadapi satu keadaan, sehingga yang dibutuhkan cukup relaksasi, liburan, atau stayvacation ringan. Sebab, self-healing sejatinya berkaitan dengan ikhtiar serius untuk menyembuhkan diri dari luka batin, depresi atau stres berat yang salah satu gejalanya ditandai PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Bangsa Taiwan memperkenalkan sebutan khusus “cǎoméi zú” untuk generasi tahun 90-an ini. Padanan dalam bahasa Inggrisnya adalah “strawberry generation”, sebuah istilah yang kemudian mendunia.

Generasi stroberi julukan bagi anak-anak muda ringkih, rapuh, mudah koyak seperti buah stroberi. Mereka indah dipandang, menarik dilihat, tapi gampang menyerah dan mudah patah oleh tekanan sosial dan lingkungan kerja akibat terlalu dimanjakan orang tua dengan limpahan barang mewah.  Mirip buah stroberi yang dibudidayakan di rumah kaca (green house) dan memiliki harga lebih mahal dari buah lainnya.

Kemampuan adaptasi sosial generasi stroberi rendah karena pilihan hidup bagi mereka hanya dua: “fight or flight”. Lawan atau balik kanan! Lawan adalah pilihan konfrontatif, sedangkan balik kanan (kabur) adalah justifikasi untuk, ya itu tadi, melakukan “self-healing”. Hengkang dari (kompetisi dan konflik) lingkungan. Padahal mana ada lingkungan sosial—apalagi dunia kerja—yang tidak berkaitan dengan kompetisi dan konflik yang bertubi-tubi?

Gaya “mengelak” generasi stroberi itu membuat mereka rentan terkena quarter life crisis bukan lagi midlife crisis atau krisis paruh baya yang biasanya menyerang di umur 45-65 tahun. Sekarang di usia 25 tahun mereka bisa sedemikian stres melihat sekeliling.  Teman seangkatan bekerja dan mapan, teman permainan berkeluarga dan punya keturunan, teman nongkrong main kripto dan bisa  ‘pergi ke bulan ( to the moon)’. Sementara nyawa di badan masih tak karuan. Maka dimulailah fase self-loathing (benci kepada diri sendiri) yang semakin menjerumuskan. Bayangkan!

Gejala ini akan lebih berat jika masa kecil mereka kurang bahagia. Bukan dalam arti kurang harta melainkan bisa dialami anak-anak kaya karena merasa tidak dicintai (unlove) dan tidak dianggap penting (unimportant) oleh ayah ibu yang sibuk dan tak punya waktu. Atau orang tua gemar melakukan kekerasan fisik dengan main bentak dan tampar. Maka anak-anak itu tumbuh dengan jiwa gerowong dan batin retak. Badan mereka sempurna layaknya orang dewasa namun kepribadian tak.

Jika tidak segera diatasi, proses ini menjadi repetisi yang terus berderak. Hurt people hurt people. Ini salah satu ungkapan paling menyedihkan yang pernah diciptakan manusia, tetapi alangkah benarnya. Orang-orang yang terluka akan melukai orang lainnya lagi! Sad truth.

Sebuah kenyataan karena mereka yang terluka batinnya (para pelaku) tak pernah tahu cara lain memperlakukan orang lain selain dari pengalaman buruk yang pernah mereka alami. Mereka tak punya referensi cara memperlakukan orang lain dengan lebih manusiawi.

Pada tahap ini, masalah melebar dan kondisi memburuk karena bukan lagi menyangkut generasi stroberi yang muda melainkan warga senior lebih tua. Kita sebut saja mereka sebagai “ generasi durian”.

Ini generasi yang gampang melukai orang lain dengan ‘duri’ mereka dalam bentuk kata-kata. Setiap kali mulut mereka terbuka, yang meluncur hanya ejekan, cemooh, tusukan verbal berduri yang menimbulkan luka. Ironinya, di balik tumpukan duri itu tersimpan daging buah kuning empuk mengenyangkan. Namun, tetap tak mudah dinikmati orang kebanyakan karena bau khas durian yang membuat sebagian orang mabuk dan kleyengan. Hanya segelintir orang yang mampu mencicipi durian seperti halnya hanya sejumput kelompok tertentu yang bisa rasakan bersosialisasi dengan generasi durian karena ‘aroma khas’ mereka yang membuat orang berpikir dua kali untuk mendekat.

Generasi stroberi dan generasi durian yang berbeda di permukaan sesungguhnya dibuhul satu kesamaan: luka batin yang dalam. Sakit hati warisan masa silam. Mereka terbagi dalam dua kelompok yaitu yang mengkapitalisasi sakit hati untuk menggemukkan saldo rekening dan mereka yang betul-betul berjuang ingin kembali pulih melalui self-healing.

Para pengkapitalisasi luka hati demi pundi-pundi akan bermetaformosis menjadi komunitas manusia ular. Lidah mereka bercabang. Bicara A yang dimaksudkan Z. Saat mereka bilang “tak tertarik”, yang terbukti kemudian adalah “itu yang kami incar”. Mereka menjadi pembohong patologis (pathological liar) yang belum mampu bikin kerajaan tapi sesumbar sudah menjadi ‘sultan’. Konten dan flexing jadi andalan. Ini kelakuan generasi stroberi.

Kelakuan generasi durian lebih brutal. Demi kejar jabatan dan lestarikan kekuasaan, siapkan 1001 skenario dan alasan banal. Tak peduli ucapan dan perbuatan mereka sudah terabadikan di dunia digital, toh jika tak sesuai dengan target berikutnya semua bisa dibantah total.

Penderita luka batin yang ingin pulih lewat jalur self-healing tetap punya peluang. Caranya? Berpikirlah seperti penulis. Peristiwa masa silam—apa boleh buat—tak bisa diubah. Tetapi cara pandang terhadap peristiwa bisa diganti. Tulis ulang kisah hidup Anda dengan ending baru berdasarkan paradigma cinta.

Tanyakan sungguh-sungguh, “di mana cinta berperan dalam kisah hidup saya yang penuh derita nestapa?” Temukan setitik cinta pada peristiwa itu, renungkan, jadikan yang setitik itu menjadi semesta raya dengan cara Anda memasukinya dengan kondisi sekarang bukan lagi seperti dulu, saat peristiwa pedih terjadi.

Jika Anda bisa melakukannya—dan pasti bisa meski tak mudah pada awalnya, harus berkali-kali mencoba—pada saat itulah terjadi keajaiban seperti disebutkan Jalaluddin Rumi bahwa “luka adalah tempat di mana cahaya memasukimu.”

Teknik mengubah luka menjadi tempat masuk cahaya itu disebut muhasabah. Merenung, bermenung, menghitung (muhasabah akar katanya hisab = hitung), menemukan celah penyebab, menyusun cara untuk keluar dari pola berulang nasib malang. “Muhasabah yang baik adalah gerbang bagi kesehatan mental,” ujar Ibnu Qayyim Al Jauziyah (1292-1350)—salah seorang ulama terbesar di abad ke-13/14–yang mendalami kajian mental health secara komprehensif.

Buku panduan self-healing itu tak lain dari kitab suci Al Qur’an yang salah satu fungsinya adalah “syifa lima fi shudur” atau “penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada” (QS 10:57). Ayat-ayat syifa lainnya adalah 9:14; 16:69; 17: 82; 26: 80; dan 41:44.

Senyampang sedang berada di hari Jum’at bulan Ramadan, baca dan cerna ayat-ayat di atas, sebagai ikhtiar menyembuh luka hati yang parah, entah sudah mengering atau masih bernanah. Jika belum lancar membaca Al Qur’an,  jangan dulu menyerah. Cari akun YouTube Syaikh Omar Hisham Al Arabi pada tajuk Ayat-Ayat Shifa (The Healing Verses) dan dengarkan. Resapi lantunan suara yang mengecup hati. Keenam ayat pendek itu dibawakan berulang-ulang lengkap dengan arti (dalam bahasa Inggris) selama durasi satu jam yang menyejukkan dengan aneka panorama alam mengagumkan.

Bagaimana jika Anda non-Muslim yang kebetulan sedang resah gelisah dan ingin mendengarkan, bolehkah? Tentu saja. Sebab firman suci Allah Raja Semesta ditujukan untuk semua makhlukNya yang ingin mendengar dengan hati terbuka. Sisihkan waktu sebentar  dan biarkan kalam ilahi bekerja dengan caraNya sendiri dalam membasuh jiwa dan menyembuhkan luka.

Selamat menikmati self-healing  yang lembut dan menentramkan, Kawan! [ ]

Sosiolog, penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Back to top button