Setetes Embun: Batas Suka dan Duka
Yesus tidak menolak takdirnya, karena hanya dengan cara itu rencana Allah untuk keselamatan umat manusia bisa terwujud. Yesus tidak berpaling atau mundur karena taat kepada kehendak Bapa di surga.
Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR
JERNIH-Minggu Palma adalah perayaan dua warna: terang dan gelap atau sukacita dan dukacita. Dua warna ini disimbolkan dengan pakaian liturgi imam dan petugas lainnya.
Warna merah dalam perarakan melambangkan sukacita dan kegembiraan. Ini terjadi pada waktu perarakan daun palma mengenang Yesus yang dielu-elukan ketika memasuki Yerusalem.
Di dalam gereja, berganti warna ungu dengan pembacaan kisah sengsara. Suasana berganti jadi dukacita karena yang diperdengarkan adalah peristiwa penangkapan, pengadilan dan hukuman mati kepada Yesus.
Batas antara sukacita dan dukacita, dalam hidup nyata, kadang sangat tipis. Pengalaman Yesus sesungguhnya mengungkapkan realitas yang biasa kita saksikan bahkan kita alami sendiri.
Dia memasuki Yerusalem dengan iringan sorak sorai “Hosanna Putera Daud”, tapi Dia sungguh tahu bahwa ini sebuah perjalanan menyongsong kematian. Dia menjadi raja tapi hanya sebagai “raja sehari”. Hari berikutnya adalah hari penuh sengsara, harinya “penjahat”.
Seperti kisah Yesus, sumber dari sukacita dan dukacita bisa juga berasal dari orang yang sama. Mereka yang mengelu-elukan Yesus dengan seruan “Hosanna Raja Daud”, bisa berubah seketika mengecam dia dengan teriakan: “Salibkan Dia”.
Walau demikian Yesus tidak menolak takdirnya, karena hanya dengan cara itu rencana Allah untuk keselamatan umat manusia bisa terwujud. Yesus tidak berpaling atau mundur karena taat kepada kehendak Bapa di surga.
Mungkin kita tak perlu meniru orang yang berteriak “Hosanna Raja Daud”. Karena bisa jadi di waktu yang singkat berbalik memusuhi Dia. Tak perlu juga berpretensi seperti ‘anak yang hilang’ atau ‘Petrus yang menyangkal Yesus’, sambil membayangkan bahwa suatu saat akan bertobat dan mendapat pengampunan. Siapa tahu waktu itu tak pernah tiba. Atau kalau pun tiba semua sudah terlambat?
Jauh lebih arif belajar menjadi seperti seekor keledai yang dipilih menjadi tunggangan Yesus. Dengan tulus dia membawa Yesus kemana Dia pergi. Dia tidak peduli hiruk pikuk di sekitarnya. Dia hanya menjalankan tugasnya, membawa Yesus ke tempat dimana Dia memenuhi takdirnya; menjadi Penebus dunia melalui penderitaan-kematian dan kebangkitan.
Dengan Yesus, keledai menjadi bagian dari sukacita dan sorak sorai. Tapi tanpa Yesus, dia hanyalah seekor keledai yang jadi simbol kebodohan.
Tapi tahukah kita bawa satu-satunya binatang yang berbicara dalam Kitab Suci adalah keledai? (Bil 22, 28. 30).
(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di biara Santo Alfonsus-Konventu Weetebula, Sumba tanpa Wa).