Pencerahan dari Seekor Keledai
Ia menangis dan meratap:“Ya Allah, mengapa aku sampai begini? Tak ada makhluk yang semenderita aku saat ini.”
Oleh : Usep Romli H.M.
Seorang jamaah haji terkena sakit. Sudah dua hari terbaring, tak mampu berjalan jauh. Jangankan salat ke Masjidil Haram, pergi ke kamar mandi pun harus dipapah.
Menyaksikan rekan-rekan serombongannya hilir mudik, ada yang ke masjid, ada yang ke pasar, ada pula yang ziarah ke tempat-tempat bersejarah, jamaah sakit itu merasa diri paling menderita. Badan panas dingin, nafsu makan hilang, letih, dan lesu. Jauh pula dari kampung halaman.
Ia menangis dan meratap:“Ya Allah, mengapa aku sampai begini? Tak ada makhluk yang semenderita aku saat ini.”
Malam hari, ketika sejenak terlayap-layap tidur, jamaah itu bermimpi. Ia serasa berada di tengah padang pasir. Berjalan tersaruk-saruk karena tertinggal jauh oleh rombongan kafilah yang diikutinya.
Untung ia masih sempat menyisakan sedikit makanan dan minuman yang cukup untuk bekal hingga ke perhentian kafilah terdekat. Serta seekor keledai yang mengangkut beban peralatan.
Di tengah panas terik, ia melangkah gontai menggiring keledainya. Tak henti-hentinya ia mengeluhkan nasibnya siang itu. “Tak ada yang lebih sengsara dari padaku. Tidak ada.”
Tiba-tiba keledai pangangkut beban itu berdiri tegak. Menatap tajam kepada orang penggerutu itu. Lalu berkata keras, ”Diam, hai orang tak tahu adat. Coba pikir dan coba bandingkan, siapa diantara kita yang paling menderita? Engkau hanya membawa tubuh dan pakaian, masih punya air dan makanan. Sedangkan aku? Selain menanggung berat badanku sendiri, aku masih ditumpuki seperangkat barang yang harus kubawa terus menerus. Jika lalai saja sedikit, aku dicambuki. Air dan makanan pun dijatah olehmu. Alhasil dalam soal penderitaan, selayaknyalah aku yang harus menyatakan paling menderita. Bukan engkau!”
Perkataan keledai itu membuat orang penggerutu bungkam seribu bahasa. Jamaah yang sakit itu terbangun dari tidurnya. Ia merenungkan mimpinya barusan. Segera ia beristighfar. Memohon ampun kepada Allah SWT atas sikapnya yang keterlaluan, merasa diri paling menderita. Padahal mungkin masih ada orang atau mahluk lain yang menderita lagi.
“Mereka sakit tanpa punya bekal,saudara, kawan, dan lain-lain. Bahkan tak punya harapan untuk hidup karena penyakitnya sudah amat kronis. Sedangkan aku? Bekal masih punya, saudara, dan kawan-kawan sesama jamaah yang punya rasa solidaritas amat tinggi, masih banyak.”
“Ya, ternyata aku masih mendingan dibangdingkan dengan orang lain. Alhamdulillah, aku bersyukur telah mendpat pencerahan kesadaran melalui mimpi yang baik, yang memberiku pelajaran tentang kebenaran, meski lewat sosok seekor keledai.” [ ]
Sumber “Percikan Hikmah” (1999)