Setetes Embun: Suara Injil yang Membebaskan
Dalam melaksanakan tugas-Nya, Yesus mengidentifikasikan diri sebagai “Hamba Yang Menderita” (Yes 42,1-14), yakni seorang yang membawa kabar baik bagi orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan kepada orang-orang buta, baik secara simbolis maupun secara nyata.
Penulis: P. Kimy Ndelo, C.Ss.R
JERNIH-Pada tanggal 12 Maret 1977, seorang imam muda Yesuit, Pater Rutilio Grande, ditembak mati di jalan di El Salvador. Dia dibunuh karena banyak menolong orang miskin dan berbicara melawan pemerintah yang secara brutal menindas dan membunuh ribuan orang-orang tak bersalah, rakyatnya sendiri.
Kematiannya memberi dampak besar buat sahabatnya, Uskup Agung San Salvador, Mgr. Oscar Romero. Dia berkata, “Ketika aku memandang Rutilio berbaring mati disana aku berpikir, ‘Jika mereka telah membunuh dia untuk apa yang telah dia buat, maka aku juga harus melangkah di jalan yang sama”.
Dia lalu menjadi orang terdepan yang bersuara keras melawan kekerasan dan kebrutalan pemerintah. Dalam kurun waktu tiga tahun sekitar 50 orang imam diancam, ditekan, bahkan enam diantaranya dibunuh. Para suster yang bekerja untuk orang-orang miskin pun mengalami tekanan yang sama.
Pada tanggal 24 Maret 1980, malam hari, seorang tak dikenal masuk di kapel rumah sakit Divina Provindecia, ketika Uskup Romero sedang merayakan misa di altar. Dia ditembak dari jarak dekat dan tewas seketika. Kematiannya yang tragis membangkitkan kemarahan dan simpati dari seluruh dunia.
Dalam misa pemakamannya, Kardinal Ernesto Corripio y Ahumada, yang mewakili Paus Yohanes Paulus II, mengatakan bahwa Uskup Oscar Romero adalah “seorang yang dicintai, pembawa perdamaian”. Darahnya akan memberikan buah untuk persaudaraan, cinta dan perdamaian. Tanggal 14 Oktober 2018 dia digelari Santo dan Martir oleh Paus Fransiskus.
Injil hari ini berbicara tentang pewartaan Yesus di Sinagoga di Nazaret, tempat dia dibesarkan. (Luk 4,16-20). Liturgi Sabda di Sinagoga berdasarkan tujuh bacaan. Empat bacaan pertama diambil dari Kitab Hukum yang disebut Taurat atau Pentateukh. Bacaan ini lalu dijelaskan oleh seorang rabbi atau guru hukum taurat. Tiga bacaan berikutnya diambil dari kitab para nabi dan bisa dibacakan serta dijelaskan oleh siapa saja, yang penting dia pria berusia di atas 30 tahun dan sudah disunat. Itulah yang menjadi alasan mengapa Yesus bisa membaca dan menjelaskan tulisan dari Kitab Nabi Yesaya (61,1-2a).
Titik pijak Yesus bukan pengetahuan akan agama atau Taurat. Yang jadi kekuatan Yesus adalah bahwa Dia berada “dalam kuasa Roh” (Luk 4,14). Kuasa Roh yang menaungi memampukan Dia untuk menafsirkan dan mewartakan pesan Kitab Suci yang dibaca-Nya. Kuasa roh ini juga yang menyadarkan Yesus akan siapa diri-Nya dan bahwa Dia perlu menyatakannya kepada banyak orang; dia adalah Mesias artinya “Yang diurapi”.
Dalam melaksanakan tugas-Nya, Yesus mengidentifikasikan diri sebagai “Hamba Yang Menderita” (Yes 42,1-14), yakni seorang yang membawa kabar baik bagi orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan kepada orang-orang buta, baik secara simbolis maupun secara nyata. Karya ini bermula di suatu tempat bernama Nazaret dan akan menyebar ke seluruh dunia, dimanapun Sabda Allah diperdengarkan dan dipahami.
Kehadiran Yesus dengan pesan-pesan tegas dan menantang membuat dia menjadi orang yang “berbahaya”. Dia berbahaya bagi kemapanan hidup keagamaan dan hidup sosial yang seringkali tidak adil. Dia berbahaya bagi mereka yang merasa nyaman dengan segala privilege dan kemewahan yang dimiliki, karena mereka akan diusik untuk peduli terhadap orang-orang di sekitarnya.
Kabar gembira injili berjalan seiring dengan suara pembebasan. Kabar gembira bukan sekedar senang-senang dan bersukaria karena kenyamanan hidup. Kabar gembira adalah suara sekaligus perjuangan untuk membawa pembebasan bagi umat manusia dalam segala aspek yang membelenggu hidupnya.
Dalam dunia dimana kemiskinan membuat hidup bagaikan dalam penjara, kabar gembira berarti membantu orang keluar dari kemiskinannya.
Dalam dunia dimana kebodohan dan buta huruf menjadi membuat orang tak leluasa mengembangkan kemampuannya, kabar gembira berarti memberi mereka peluang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan pantas.
Dalam dunia dimana peperangan dan pemusnahan menjadi ancaman sehari-hari, kabar gembira berarti menciptakan perdamaian yang dilandasi persaudaraan dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Dalam dunia dimana yang kuat dan kaya menjadi penguasa yang semena-mena, kabar gembira berarti berdiri bersama mereka yang lemah untuk melawan ketidak-adilan.
Dalam dunia dimana persaingan kalah dan menang menjadi hal yang wajar, kabar gembira berarti memberi harapan akan hidup yang lebih baik bagi mereka yang kurang beruntung.
Injil yang disampaikan dengan kebenarannya yang hakiki akan selalu menggugat siapa pun yang jauh dari semangat “kabar gembira”. Injil ini akan terus menjadi “Yesus yang hidup” dengan suara dan pesan yang sama.
Siapa pun bisa menjadi Uskup Romero atau Rutilio Grande yang sama karena Injil yang dihidupi dan Yesus yang diteladani adalah sama dan satu. Karena pembaptisan setiap orang sudah dinaungi kuasa Roh. Hanya perlu sedikit keberanian untuk melangkah di jalan yang sama dengan mereka. Yang sedikit ini terkadang sulit ditemukan.
(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo, C.Ss.R., ditulis di Casa San Alfonso/Generalat Redemptoris, Via Merulana 31, Roma, Italia).