Tidak Pernah Wali Sufi Sufyan ats-Tsauri Menceritakan Hadits Sebelum Menjadi Amalannya
Menurut Imam Sufyan ats-Tsauri sebagaimana direkam kitab “An-Nawâdir” karya Ahmad Syihabuddin al-Qalyubi, kala itu antara tidur dan terjaga, Sufyan tiba-tiba mendengar suara asing dari atas, “Wahai Sufyan, pria ini tak membutuhkan penjagaanmu, talqînmu, juga hiburanmu. Kamilah yang akan menghibur dan menuntunnya.”
JERNIH–Wali sufi Sufyan Ats-Tsauri selama ini dikenal sebagai wali sufi kaya raya yang tak mengharamkan berpakaian bagus dan necis. Beliau juga dikenal sebagai wali sufi yang semat meminang wali sufi perempuan, Rabiáh Al Adawiyyah, untuk diperistri. Namun ditolak
Tidak hanya itu, Sufyan dikenal tidak hanya kukuh menolak untuk menjadi pejabat istana manakala kekhalifahan dipimpin oleh orang-orang yang menurutnya tak bisa dijadikan teladan rakyat. Ia juga orang yang konsisten menyelaraskan ucapan dengan tindakannya.
Dalam kitab “Tadkirah al-Auliyâ” tulisan Imam Fariduddin Attar—yang saat ini diterbitkan banyak penerbit berbahasa Indonesia, tercatat sebuah riwayat tentang perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri.
Diriwayatkan bahwa Sufyan ats-Tsauri berkata: “Aku tidak meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali aku mengamalkannya (terlebih dulu).”
Suatu saat, Sufyan berkata kepada ashâb al-hadîts (para perawi hadits/ahli hadits): “Tunaikanlah zakat hadits.” Mereka bertanya: “Apa itu zakat hadits?” Sufyan ats-Tsauri menjawab, “(Zakat hadits) adalah kau mengamalkan lima hadits dari setiap dua ratus hadits.”
**
Tentang Sufyan, Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Ulama ada tiga: (1) Ibnu ‘Abbas di zamannya, (2) al-Sya’bi di zamannya, dan (3) ats-Tsauri di zamannya” (Imam al-Hafidh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi al-Jurjani, “al-Kâmil fî Dlu’afâ’i al-Rijâl, Beirut: Dar al-Fikr, 1988, juz 1, h. 85).
Di zamannya, Imam Sufyan ats-Tsauri adalah ulama yang sangat diakui kepakaran dan kesalehannya, sampai Ibnu ‘Uyainah memasukkannya dalam tiga kategori ulama hebat di generasinya masing-masing. Sayyidina Ibnu Abbas dari kalangan sahabat, Amir bin Syurahbil al-Sya’bi dari kalangan tabi’in, dan Sufyan ats-Tsauri dari kalangan tâbi’ al-tâbi’în.
Kepakarannya di bidang hadits, menurut banyak ulama, mengungguli ahli hadits sezaman lainnya. Karena itu ia digelari “amîr al-mu’minîn fî al-hadîts” (pemimpin orang-orang beriman dalam hadits). Imam Yahya bin Sa’id mengatakan: “Lam ara ahadan ahfadh min sufyan ats-Tsauri” (aku tidak melihat seorang pun yang lebih terjaga hafalan [hadits dan periwayatannya] dari Sufyan ats-Tsauri).” (Imam al-Hafidh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi al-Jurjani, al-Kâmil fî Dlu’afâ’i al-Rijâl, 1988, juz 1, h. 85).
Imam Ibnu ‘Uyainah berkata kepada Khalid bin Sa’id, “Sungguh, (andai) kau datang ke Hijaz, Yaman, dan Syam, lalu duduk bersama banyak orang (ulama). Tidak, demi Allah, aku tidak melihat seorang pun yang lebih luas pemahamannya, dan lebih luas pengetahuannya tentang hadits daripada Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri” (Imam al-Hafidh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi al-Jurjani, al-Kâmil fî Dlu’afâ’i al-Rijâl, 1988, juz 1, h. 85).
Artinya, kepakarannya dalam bidang hadits tidak diragukan lagi. Ia adalah pemimpin para ulama ahli hadits. Meski demikian, dari sekian banyak hadits yang diriwayatkannya, Imam Sufyan ats-Tsauri mengatakan, ia tidak meriwayatkan satu hadits pun tanpa mengamalkannya terlebih dahulu. Karena baginya, membawa hadits adalah amanah, sebuah mata rantai suci yang berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika menjadi muhaddits hanya cukup dengan menghafal sekian ratus ribu hadits, tanpa merasakan kesuciannya, ia akan kehilangan maknanya.
Karena itu, kita sering mendengar amalan para pengumpul hadits, seperti Imam al-Bukhari yang mandi dan melaksanakan shalat dua rakaat sebelum menulis satu hadits, dan masih banyak contoh lainnya. Dalam hal ini, Imam Sufyan ats-Tsauri berupaya selalu mengamalkannya terlebih dahulu sebelum menyampaikannya kepada orang lain atau murid-muridnya. Ini juga yang membuatnya menjadi orang yang sangat zuhud, saleh dan sederhana.
**
Pengetahuan dengan pasti membentuk sikap dan pemikiran seseorang. Ketika perang saudara (Shiffin pada 657 M) berkecamuk, Sufyan memihak Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peperangan itu bermula dari desakan Muawiyah bin Abi Sofyan untuk menghukum pembunuh Khalifah Usman bin Affan. Desakan itu selalu menjadi alasan Muawiyah untuk mengonsolidasikan massa melawan kekhalifahan Sayidina Ali.
Perang ini memecah pandangan tentang kepemimpinan, aliran teologi Syiah mengimani Ali sebagai imam pertama mereka. Sedangkan, mazhab Sunni tetap berpendirian Sayidina Ali sebagai khalifah keempat. Kedudukan Ali sebagai khalifah setelah Usman tidak diubah dalam sejarah. Sementara itu, Muawiyah mendirikan kerajaan sendiri, Daulah Bani Umayyah.
Dalam konflik tersebut, Sufyan memihak kepada Sayidina Ali. Dia mengecam kepemimpinan Muawiyah karena mereka seharusnya menaati Khalifah Ali. Tapi, setelah peperangan usai, Sufyan lebih memilih tidak memihak siapa pun. Sikap itu ditunjukkannya saat tinggal di Basrah pada 748 M.
Meski sudah menyatakan tidak memihak siapa pun, pihak Muawiyah tetap mendekati Sufyan. Pendiri Umayyah itu menawarkan posisi penasihat khalifah. Tawaran itu ditolak, meskipun berkali-kali datang. Dia juga menolak berbagai tawaran jabatan tinggi.
**
Sufyan, saat bermukim selama tiga tahun di Makkah, suatu hari menyaksikan seorang pria penduduk setempat mengunjungi Masjidil Haram. Pria ini melaksanakan thawaf, sembahyang dua rakaat, lantas mengucapkan salam kepada ulama kelahiran Kufah itu, sebelum akhirnya pulang ke rumahnya.
Peristiwa yang ternyata rutin terjadi saban siang membuat Sufyan menaruh rasa kagum dan simpati kepadanya. Sufyan pun berulang kali mendatanginya hingga suatu saat pria ahli ibadah tersebut jatuh sakit dan seperti hendak menemui ajal. Ia pun memanggil Sufyan ats-Tsauri dan berwasiat, “Apabila aku mati, mandikanlah aku dengan tanganmu sendiri, shalatkan, lalu kuburkan. Dan jangan kau tinggalkan aku sendirian di kuburan malam itu. Bacakan talqîn (tuntunlah) aku tentang tauhid dalam menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.”
Sufyan mengiyakan semua pesan yang disampaikan sahabat karibnya tersebut. Ketika pria ahli ibadah itu wafat, Sufyan mulai melaksanakan wasiat satu per satu, termasuk rela bermalam di sebelah kuburan sang sahabat. Dalam kesunyian itulah, ia memperoleh pengalaman spiritual yang tak disangka-sangka.
Menurut penuturan Sufyan ats-Tsauri sendiri sebagaimana direkam kitab “An-Nawâdir” karya Ahmad Syihabuddin al-Qalyubi, kala itu antara tidur dan terjaga, Sufyan tiba-tiba mendengar suara asing dari atas, “Wahai Sufyan, pria ini tak membutuhkan penjagaanmu, talqînmu, juga hiburanmu. Kamilah yang akan menghibur dan menuntunnya.”
“Dengan apa?”tanya Sufyan.
“Dengan puasa Ramadhan yang disambung puasa enam hari pada bulan Syawal,”kata suara itu.
Sufyan bangun, membuka mata dan tak ia dapati siapa pun di sekelilingnya. Ia berwudhu lalu menunaikan shalat. Saat tidur kembali, suara itu hadir lagi. Begitu seterusnya sampai berulang tiga kali. Sufyan pun mantap bahwa apa yang ia alami berasal dari Allah, bukan dari setan.
Sufyan segera meninggalkan kuburan pria ahli ibadah tersebut dengan tenang dan berdoa, “Allâhumma waffiqnî li shiyâmi dzâlik bi mannika wa karamika, âamîin (Ya Allah, berikanlah aku taufiq untuk menjalankan puasa itu atas anugerah dan kemuliaan-Mu. Amin).” [ ]