Spiritus

Transfigurasi: Melampaui yang Biasa

Allah tidak mengubah tragedi di depan mata karena yang Dia kehendaki adalah “ketaatan iman” untuk menyeberangi rasa sakit baik jiwa maupun raga. Tapi hasil sebuah pengorbanan iman tak bisa diukur dengan segala kebahagiaan duniawi.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Injil hari ini mengisahkan peristiwa Yesus dimuliakan di atas gunung. (Mrk 9,2-10). Istilah umumnya “transfigurasi” arti harafiahnya “melampaui figur”.  Setelah berdoa wajah atau figur Yesus tidak lagi sebagai manusia biasa tetapi menampakkan wajah surgawi penuh kemuliaan dan keagungan. Peristiwa ini terjadi beberapa waktu menjelang penderitaan Yesus di Yerusalem; ditangkap, diadili dan dihukum mati.

Dalam bahasa Biologi disebut metamorfosa. Misalnya perubahan seekor kepompong menjadi kupu-kupu.

Hal serupa pernah dialami Musa (Kel 34,29-35). Setelah berjumpa dengan Yahweh di atas gunung Sinai, wajahnya bercahaya sehingga umat Israel tidak sanggup memandangnya.

Nabi Elia juga pernah berjumpa dan berbicara dengan Yahweh secara langsung di gunung Horeb (1 Raj 19,9-18).

Bagaimana memahami peristiwa ini? Dalam cara tertentu peristiwa ini bisa dipahami dari kacamata pengalaman Abraham dan Ishak, yang juga dibacakan hari ini. Abraham diminta untuk Allah mempersembahkan anak tunggalnya.

“Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Muria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”  (Kej 22,2).

Dua jiwa yang terluka, Abraham dan Yesus, tapi pasrah pada kehendak Allah merupakan puncak dari sebuah “ketaatan iman” yang sejati. Pada titik inilah sebuah TRANSFIGURASI terjadi.

Korban persembahan, seorang anak manusia, diubah oleh Allah menjadi domba yang sesungguhnya. Abraham, dari seorang manusia biasa menjadi bapak orang beriman dan sumber berkat bagi umat manusia.

Kesediaan Abraham mengorbankan anak tunggalnya, Ishak, adalah prototipe/cerminan Allah yang juga rela mengorbankan Putera tunggalnya, Yesus Kristus, demi keselamatan umat manusia.

Pengalaman Yesus di atas gunung bersama ketiga muridnya adalah pengalaman “berada di ambang kematian”. Tak lama lagi dia akan memasuki Yerusalem dan disana takdirnya menanti.

Sebagai manusia Yesus pasti mengalami pergulatan batin menghadapi peristiwa kematian tragis yang tak terhindarkan di depan mata. Jiwanya sedang terluka dan menderita. Dia butuh kekuatan agar tetap setia.

Karena itu Allah mengutus Musa dan Elia. Karena itu Allah menunjukkan wajah Yesus nantinya. Dengan ini Allah mengubah wajah Yesus sambil seolah-olah hendak berkata:

“Jika engkau taat pada rencana-Ku, inilah kemuliaan yang akan Engkau alami nanti. Engkau menjadi anak yang Kukasihi. Seperti inilah wajah kemuliaan yang akan menantimu”.

Allah tidak mengubah tragedi di depan mata karena yang Dia kehendaki adalah “ketaatan iman” untuk menyeberangi rasa sakit baik jiwa maupun raga. Tapi hasil sebuah pengorbanan iman tak bisa diukur dengan segala kebahagiaan duniawi.

Karena ketaatannya, Abraham menjadi berkat untuk segala bangsa. Karena ketaatan-Nya Yesus, bukan hanya menjadi berkat, melainkan menjadi keselamatan bagi segala bangsa.

**

Jika seorang anak hidup dengan kritik, dia belajar untuk mengutuk.

Jika seorang anak hidup dengan permusuhan, dia belajar melawan.

Jika seorang anak hidup dengan cemoohan, ia belajar menjadi pemalu.

Jika seorang anak hidup dalam rasa malu, dia belajar merasa bersalah.

Jika seorang anak hidup dengan toleransi, ia belajar bersabar.

Jika seorang anak hidup dengan dorongan, dia belajar percaya diri.

Jika seorang anak hidup dengan pujian, ia belajar menghargai.

Jika seorang anak hidup dengan kejujuran, ia belajar keadilan.

 Jika seorang anak hidup dalam rasa aman, ia belajar beriman.

Jika seorang anak hidup dengan pengakuan, dia belajar menyukai dirinya sendiri.

Jika seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, dia belajar menemukan cinta di dunia.

“Transfigurasi diri itu menyakitkan karena merontokkan sayap-sayap yang dipakai oleh jiwa untuk terbang” (Kilroy J. Oldster).

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Konventu Redemptoris-Biara  Santo Alfonsus Weetebula Sumba tanpa Wa)

Back to top button