AS Akui Kegagalan Operasi Rahasia Anti-Terorisme di Afrika
Untuk pertama kalinya, Inspektorat jenderal Pertahanan AS merilis laporan tentang operasi militer rahasia AS di Afrika
WASHINGTON—Akhirnya perkiraan banyak pihak akan adanya operasi rahasia AS untuk menggulung terorisme di Afrika, benar adanya. Sebuah laporan baru yang disampaikan Kepala Inspektorat Jenderal Pertahanan AS ke Kongres mengonfirmasi hal tersebut.
Tidak ada yang tahu pasti berapa banyak dolar yang digelontorkan AS untuk operasi militer rahasai mereka di Afrika. Namun yang jelas, laporan itu mengonfirmasi keterlibatan AS dan pasukan militernya dalam misi menggulung kelompok-kelompok ekstrem di Afrika, termasuk ISIS dan Alqaidah. Operasi itu bahkan telah dilakukan bertahun-tahun di seluruh Afrika Timur, Afrika Utara dan Afrika Barat tanpa banyak diketahui publik. Hanya laporan itulah yang membukanya, sejak Kongres mulai menyoal operasi-operasi tersebut pada 2018 lalu.
Selasa (11/2) lalu, Kepala Inspektorat Jenderal Pertahanan AS merilis laporan deklasifikasi pertamanya tentang operasi kontraterorisme AS di Afrika. Laporan tersebut mengungkapkan, operasi tersebut telah gagal membendung gelombang terorisme. Soal biaya, bahkan penyelidik pemerintah sendiri tidak tahu berapa biaya yang telah dikeluarkan.
Pasukan Komando Afrika AS (USAFRICOM) terbukti terlibat dalam misi pelatihan militer dan paramiliter di seluruh benua hitam tersebut. Mereka juga menjadi mitra dekat Tentara Nasional Somalia pada misi kontraterorisme, menyerang pasukan ISIS dalam perang saudara di Libya, dan “melakukan keterlibatan, latihan, dan operasi terbatas” di Sahel dan Danau Chad. Artinya, setidaknya hal itu telah dilakukan sejak awal dekade alias paling tidak 2011 lalu.
Sebagaimana ditulis dalam artikel panjang Matthew Petti di laman terkemuka National Interest, pengawasan publik terhadap misi-misi ini telah berkembang selama sebulan terakhir. Apalagi setelah perhatian publik AS mulai mengarah ke Afrika, manakala tiga orang Amerika tewas dalam serangan di pangkalan udara Kenya pada 5 Januari, dan Senat meminta komandan AFRICOM Jenderal Stephen J. Townsend untuk memberikan kesaksian pada 20 Januari lalu.
Departemen Pertahanan pun telah mempertimbangkan untuk mengurangi kehadiran AS di Afrika. Meski demikian, Menteri Pertahanan Mark Esper mengatakan kepada wartawan pada 30 Januari bahwa “komando pengawasan kami masih berlangsung, belum ada keputusan yang dibuat tentang personel militer di sana.”
Secara keseluruhan ada sekitar enam ribu personel militer AS di seluruh Afrika. Kepada Senat Townsend mengatakan, hal itu mewakili “daya tawar untuk para pembayar pajak Amerika dan asuransi berbiaya rendah buat AS di wilayah itu.” Tetapi untuk mengetahui berapa besar biaya yang dikeluarkan, tampaknya tidak mungkin.
Inspektorat Jenderal Dephan AS mengatakan kepada Inspektur Jenderal bahwa mereka tidak memiliki mekanisme untuk melacak pengeluaran untuk operasi kontraterorisme yang lebih kecil. AFRICOM melaporkan kepada badan pengawas bahwa operasinya didanai oleh “beberapa jalur akuntansi, beberapa di antaranya berada di luar” Departemen Pertahanan.
Anggaran militer AS diorganisasikan di sekitar struktur pasukan AS, alih-alih lokasi tempat mereka ditempatkan, kata Direktur Kebijakan Prioritas Pertahanan, Benjamin Friedman. Ia berspekulasi bahwa “mereka mungkin ingin merepotkan kita untuk mengetahui hal-hal itu, sehingga mereka merasa tidak perlu lebih banyak diawasi.”
“Selain itu, kami memiliki kerahasiaan yang tidak semestinya,” kata dia. “Kami tahu, misalnya, bahwa kami memiliki pasukan di Niger. Mengapa kita tidak tahu berapa biayanya? Saya tidak berpikir bahwa memberikan apa pun kepada musuh untuk mengetahui apa yang kami habiskan untuk operasi di Niger, tetapi karena dilakukan oleh pasukan operasi khusus, itu rahasia.”
“Penyalahgunaan dana ini bukan untuk pistol asap,” kata Joshua Meservey, analis kebijakan di Heritage Foundation. “Bisa saja berarti begitu, namun saya tidak berpikir itu adalah bukti bahwa hal yang terjadi memang demikian. Kami benar-benar harus mencari lebih banyak peluang untuk mengukur apa yang kami lakukan dan menuntut hasil nyata.”
Kembali kepada laporan ke Kongres, laporan itu menegaskan kehadiran personel militer AS di Afrika itu tak begitu efektif—untuk tak mengatakan adanya kegagalan yang menyakitkan.
Laporan itu juga mengonfirmasi bahwa pada April 2019 lalu USAFRICOM menyatakan kepada Inspektur Jenderal bahwa mereka harus menarik pasukan dari Libya karena “keamanan yang tidak dapat diprediksi”. Mereka juga melaporkan bahwa “organisasi-organisasi ekstremis yang kejam tidak terdegradasi”.
Menurut Meservey, justru yang terjadi sebaliknya. Terjadi peningkatan ekstremisme di wilayah Sahel yang merupakan “hasil dari peningkatan kapasitas, kecanggihan serta kemampuan kelompok-kelompok ini. . . ditambah pemerintahan yang patuh, tidak kompeten, korup, yang membuat orang-orang di wilayah ini tidak punya alasan untuk menolak keberadaan organisasi teroris ini.”
“Kehadiran AS di wilayah tersebut dapat memupuk ketergantungan pada senjata dan pelatihan (asing) yang tidak berkeputusan, yang akan membuat negara-negara ini terus berada dalam situasi yang buruk,” kata Adotei Akwei, wakil direktur Advokasi dan Hubungan Pemerintah untuk Amnesty International AS.
Badan Intelijen Pertahanan memang memberi tahu para penyelidik bahwa Al Shabaab, mitra Alqaidah di Somalia, mengurangi serangan lintas perbatasannya ke Kenya sebesar 71 persen dari 2018 hingga 2019. Tetapi Inspektur Jenderal juga menemukan bahwa Tentara Nasional Somalia “belum menunjukkan kapasitas untuk menahan medan yang direbut tanpa dukungan internasional. ”
Serangan lintas batas tetap menjadi ancaman mematikan, bahkan kalau pun jumlahnya berkurang. Pada 5 Januari lalu, Al Shabaab membunuh dua kontraktor Amerika dan seorang tentara AS di Lapangan Terbang Manda Bay di Kenya.
Amnesty International juga telah mendokumentasikan puluhan korban sipil akibat serangan udara AS di Somalia. Penyelidikan lenih lanjut oleh The Intercept pada Juli 2019 mengungkapkan bahwa USAFRICOM bisa saja dengan sengaja menyembunyikan korban-korban tersebut dari masyarakat.
Pemogokan juga dilaporkan menghancurkan mata pencaharian petani Somalia dan memungkinkan Al Shabaab untuk merekrut dari penduduk setempat. “Kami tidak tahu apa yang mereka lakukan di Kamerun dan Niger,”kata Akwei kepada National Interest. Menurut dia, tidak ada cara untuk memverifikasi pernyataan dari pemerintah AS.
Ia menuding bahwa kelompok bersenjata yang didukung AS di Afrika justru lebih banyak menghambat dan mengganggu para wartawan dan kelompok investigasi yang prihatin atas ulah mereka, ketimbang melakukan pada aktual upaya kontrateror. [ ]