Bagaimana Membedakan Covid-19 dan Demam Berdarah?
Singapura — Sejumlah peneliti di Singapura menulis laporan menarik di jurnal medis The Lancet, tentang bagaimana membedakan infeksi virus korona (Covid-19) dan demam berdarah pada pasien.
Dalam laporan itu peneliti bercerita tentang dua kasus warga Singapura yang divonis menderita demam berdara (DB) setelah melewati tes serologis cepat. Pada tes berikut ternyata keduanya terjangkit virus korona, atau Covid-19.
Keduanya tidak punya riwayat perjalanan ke wilayah wabah, dan mengeluh demam dan batuk saat tiba di rumah sakit.
Baca Juga:
— Berhentilah Beli Masker, Itu tak Berguna
— Mengapa Virus Korona tak Mewabah di Taiwan?
— Ajaib, Vietnam Bebas Virus Korona
Seluruh Asia Tenggara saat ini menghadapi dua wabah sekaligus; demam berdarah dan virus korona. DB adalah sesuatu yang rutin. Sedangkan virus korona sesuatu yang baru.
Menariknya, menurut sekelompok penulis dari Sistem Kesehatan Universitas Nasional Singapura, RS Ng Teng Fong dan Institut Kesehatan Lingkungan, sulit membedakan pasien terkena DB dan virus korona.
“Keduanya seolah berbagi fitur klinis dan laboratorium,” tulis peneliti itu. “Padahal, virus korona ditularkan dari dan ke manusia, DB ditularkan nyamuk.”
Leong Hoe Nam, dari RS Mount Elizabeth Novena, mengatakan terdapat kesamaan umum dalam semua penyakit virus. Namun ada yang khas dari DB, yaitu penderita mengalami nyeri otot seperti pada pasien virus Zika dan Chikungunya.
Menurut Leong, dokter bisa mengambi kesimpulan seseorang terkena DB lewat dua cara; tes laboratorium dan mengetahui asal pasien. Jika pasien beradal dari wilayah hotspot DB, dokter biasanya memastikan pasien terkena DB.
Namun cara itu tidak berlaku untuk saat ini, karna virus korona dan DB seolah berebut korban di wilayah yang sama, yaitu Asia Tenggara.
Jeremy Lim, dari perusahaan konsultan global Oliver Wyman, mengatakan virus korona bisa menjadi ‘bunglon’ pada tahap awal infeksi yang menyebabkan dokter mendiagnosa pasien sebagai korban DB.
“Yang rumit adalah ketika seseoarng datang ke rumah sakit dengan gejala tidak spesifik. Anda harus khawatir tentang keduanya,” kata Lim.
Badan Kesehatan Dunia (WHO), seperti diberitakan South China Morning Post, mengatakan Covid-19 dan DB adalah dua virus berbeda. DB adalah flavirus dan Covid-19 adalah coronavirus.
“Gejala awal kedua penyakit bisa serupa, tapi dokter dapat membedakan ketika penyakit berkembang,” kata seorang pejabat WHO.
Tes untuk kedua penyakit, lanjut pernyataan WHO, harus dibuat dokter berdasarkan presentasi klinis dan informasi lain; salah satunya hubungan epidemiologis dan paparan lain.
Gelombang Baru
Asia Tenggara sedang menghadapi gelombang baru wabah virus korona dalam sepekan terakhir. Ada 160 kasus di Singapura, masing-masing 117 di Malaysia dan Filipina, serta Indonesia dan Brunei yang mulai melaporkan temuan kasus.
Kabar terakhir menyebutkan seorang wanita asal Inggris yang dirawat di Bali menjadi korban pertama virus korona di Indonesia.
Semua negara ini juga sedang sibuk mengatasi wabah DB, juga dikenal sebagai demam patah tulang. WHO mengatakan terdapat 390 juta infeksi DB di seluruh dunia setiap tahun.
Menurut WHO, seperti dipublikasikan situs-nya, ada risiko infeksi di 129 negara tapi 70 persen kasus terjadi di Asia.
Di Singapura, Badan Lingkungan Nasional mencatat 1.723 kasus DB dalam lima pekan pertama 2020, naik 63 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Lim mengatakan prevalensi infeksi DB dan ketersediaan alat tes yang sesuai membuatnya lebih mudah, dibanding virus korona.
“Tidak memiliki alat tes yang hebat, atau kekurangan persediaan, akan meningkatkan kemungkinan salah mendiagnosa penderita demam berdarah,” kata Lim.
Leong mengatakan DB memiliki sejumlah tanda dan gejala. Dokter, lanjutnya, harus menggunakan indera, pengalaman, dan logika, untuk memastikan pasien terkena DB.
Sebab, katanya, pengunaan tes bukan satu-satunya yang bisa menentukan seorang pasien terkena DB atau penyakit menular lainnya.
Pertanyaannya, informasi penting apa yang bisa diambil dari laporan The Lancet? Lim mengatakan laporan itu harusnya menjadi pengingat untuk petugas kesehatan bahwa tes lab tidak seratus persen akurat.
“Kita harus mempertahankan indkes kecurigaan yang tinggi ketika gambaran klinis tidak sesuai temuan lab,” katanya. “Jadi, setelah diagnosa awal, petugas kesehatan harus terus memantau pasien.”