Berakhirnya Era Saudi di Tangan MBS
Arab Saudi sedang kelimpungan karena mengalami penurunan besar kekuatan, yang bahkan Israel pun tidak dapat mengubahnya.
Oleh : Marwan Bishara
JERNIH– Menjelang peringatan kedua tahun pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi yang disponsori negaranya, Arab Saudi terus mundur, kehilangan arah dan kian hilang pengaruh di kawasan Teluk dan Timur Tengah.
Lebih dari 50 tahun setelah kerajaan Saudi mulai menjadi terkenal di tingkat regional dan internasional sebagai anggota utama OPEC dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sekarang ia menemukan dirinya di jalur penurunan yang terus tak terkendali.
Rumah bagi situs-situs paling suci Islam dan cadangan minyak terbesar kedua di dunia, kebijakan salah arah Arab Saudi menyia-nyiakan pengaruh agama dan keuangan yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun.
Lima tahun terakhir ini bahkan sangat menyakitkan dan merusak. Apa yang dimulai sebagai dorongan yang menjanjikan dan ambisius oleh Pangeran Mohammed Bin Salman (MBS) yang agak Machiavellian, segera berubah menjadi usaha yang sembrono.
Dipandu terutama oleh mentornya, pangeran Machiavellian lainnya, Mohammed Bin Zayed (MBZ) dari Uni Emirat Arab (UEA), MBS menjalankan manajemen kerajaan sampai ke tataran paling rendah. Paradoksnya, tidak ada yang lebih membuktikan kemunduran Arab Saudi selain kebangkitan mendadak mitra juniornya sebagai kekuatan regional yang suka berperang, mencampuri Libya dan Tunisia, serta mendukung diktator dan penjahat perang, seperti Abdel Fattah el-Sisi dari Mesir dan Bashar al-Assad dari Suriah.
Dengan Riyadh yang dilumpuhkan oleh sebagian besar pukulan yang dilakukan sendiri, Abu Dhabi dengan ceroboh berlari ke depan dan menyeret Arab Saudi bersamanya.
Ini juga terbukti dalam dukungan MBS atas langkah MBZ untuk menghubungkan keamanan Teluk dengan Israel, sebagai cara untuk melindungi aturan dan pengaruh regional mereka. Ini adalah pembalikan peran yang mencengangkan, mengingat Arab Saudi mulai menjadi terkenal secara regional dan global pada akhir 1960-an, bahkan sebelum UEA muncul.
Kekuatan kebetulan
Kebangkitan awal Arab Saudi dapat ditelusuri kepada jatuhnya proyek Pan-Arab Mesir setelah bencana perang tahun 1967, dan kematian pemimpinnya, Gamal Abdel Nasser pada tahun 1970. Sebagai anggota terkemuka OPEC, Arab Saudi menyelenggarakan pertemuan pertama OKI pada tahun 1970 untuk memperbesar pengaruhnya di luar Liga Arab, yang pada saat itu didominasi oleh rezim sekuler yang bersahabat dengan Soviet–terutama Mesir, Irak dan Suriah.
Rejeki nomplok dari boom minyak setelah pemboikotan OPEC, menyusul perang Arab-Israel 1973, semakin memperkaya Arab Saudi dan membiayai diplomasi dan pengaruhnya dengan petrodolar. Keputusan Mesir untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada akhir dekade ini memastikan kebangkitan regional kerajaan.
Revolusi Islam 1978 di Iran dan invasi Soviet 1979 ke Afghanistan mengangkat Riyadh menjadi sekutu strategis yang sangat diperlukan bagi Amerika Serikat di dunia Muslim. Posisi regional Saudi diperkuat lebih lanjut pada 1980-an, manakala kekuatan Irak dan Iran kering ludas oleh perang delapan tahun yang merusak, sementara Suriah dan Israel terseret ke dalam rawa Lebanon setelah invasi Israel ke negara itu.
Aliansi Saudi-AS mencapai puncak baru selama 1980-an, karena Riyadh mendukung AS melawan Uni Soviet dan kliennya, terutama melalui bantuan rahasia mereka yang berhasil untuk Mujahidin Afghanistan, yang berakhir dengan penarikan Soviet dari Afghanistan pada tahun 1989. Sesuatu yang juga membuka jalan bagi cara untuk serangan 9/11, lebih dari satu dekade kemudian.
Semua upaya orang-orang seperti pemimpin Irak Saddam Hussein, untuk mendapatkan kembali inisiatif regional, berakhir dengan bencana. Kemenangan Amerika yang menentukan dalam Perang Dingin setelah disintegrasi Blok Timur dan Perang Teluk, menyusul invasi Irak ke Kuwait dan pengejaran kebijakan penahanan ganda terhadap Iran dan Irak, semakin meningkatkan posisi Riyadh, baik regional maupun internasional.
Pada tahun 1991, Amerika yang penuh kemenangan mengadakan “konferensi perdamaian” internasional Arab-Israel pertama di Madrid. Arab Saudi diundang, sementara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)—pihak yang nyata-nyata terlibat, secara resmi dikecualikan.
Singkatnya, kegagalan Arab entah bagaimana telah menyebabkan kesuksesan Saudi, baik secara default atau karena disengaja.
Bulan madu Arab Saudi-Amerika tiba-tiba berakhir pada tahun 2001, seiring serangan 9/11 Alqaidah di New York dan Washington. Riyadh mungkin telah mengusir Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaidah Saudi, satu dekade sebelumnya. Tetapi tetap saja 15 dari 19 pembajak adalah warga negara Saudi.
Kemudian, sekali lagi, Riyadh diselamatkan oleh keadaan, atau oleh kebodohan Amerika lainnya. Keputusan pemerintahan Bush untuk memperluas apa yang disebut “Perang Melawan Teror” di luar Afghanistan, membuat Saudi sekali lagi menjadi sekutu yang sangat diperlukan.
Pada April 2002, Presiden George W Bush menerima pemimpin de facto Saudi, Putra Mahkota Abdullah, di peternakan pribadinya di Texas, yang dianggap sebagai hak istimewa bagi pemimpin asing mana pun. Sebulan sebelumnya, Abdullah berperan penting dalam membuat Liga Arab mengadopsi “inisiatif perdamaian” buatannya yang pada dasarnya berkomitmen untuk formula perdamaian tanah dalam negosiasi dengan Israel.
Setahun kemudian, rezim Saudi terlihat terlibat ketika AS menginvasi Irak dengan alasan palsu, meninggalkan negara itu hancur. Sementara harta karun AS pun habis karena perang dan pendudukan selama bertahun-tahun.
Sejak saat itu, keberuntungan Arab Saudi pun mulai habis.
Kemerosotan
Arab Saudi menjadi semakin rentan karena pelindungnya yang kelelahan, AS, mulai meninggalkan kawasan itu pada 2010-an di bawah pemerintahan Obama. AS menjadi produsen minyak terkemuka dunia berkat shale revolution, dan karenanya kurang tertarik pada keamanan Saudi atau Teluk.
Itu juga menjadi kurang cenderung untuk campur tangan militer atas nama klien kaya, tepat ketika pengaruh Iran mulai tumbuh dengan mengorbankan Irak.
Dan jika itu belum cukup, AS dan Iran menandatangani kesepakatan nuklir internasional pada tahun 2015, membuka jalan untuk mencabut sanksi internasional, memperkuat Republik Islam dan meningkatkan posisinya, yang membuat kecewa Arab Saudi.
Sementara itu, pecahnya gerakan pemberontakan di seluruh wilayah Arab mulai tahun 2011 membuat kerajaan Saudi dan negara-negara otoriter satelitnya was-was. Dukungan awal pemerintahan Obama untuk reformasi demokrasi dan perubahan rezim semakin memperumit masalah Saudi.
Benar-benar panik dan terekspos, monarki Saudi melakukan serangan setelah kematian Raja Abdullah, di bawah kepemimpinan baru Raja Salman dan putranya yang ambisius, Mohammed, yang diangkat sebagai menteri pertahanan baru.
Making Saudi Arabia great again
Dipandu oleh mentornya dari Emirat, Bin Zayed, MBS tidak membuang waktu untuk memulai perang di Yaman dengan dalih menghadapi pemberontak Houthi, yang dianggap sekutu Teheran. Dia menjanjikan kemenangan dalam beberapa minggu, tetapi perang telah berlangsung selama bertahun-tahun, tanpa terlihat akan bagaimana akhirnya.
Pada Juni 2017, MBS dan MBZ membuat krisis dengan tetangganya Qatar, dengan alasan palsu melawan “terorisme” dan campur tangan asing, untuk memaksa rezim baru di negara itu patuh terhadap perintah mereka. Namun, pemerintahan Trump membalikkan dukungan awalnya untuk kudeta yang direncanakan dan apa yang dimaksudkan sebagai kemenangan cepat telah menyebabkan perpecahan besar dalam persatuan Teluk yang tidak akan mudah diperbaiki.
Pada November 2017, MBS memikat perdana menteri Lebanon, Saad Hariri–warga negara ganda Lebanon-Saudi–ke Riyadh, memaksanya untuk mengutuk mitra koalisinya, Hizbullah yang didukung Iran, dan mengajukan pengunduran dirinya di televisi Saudi secara langsung.
Langkah ini juga menjadi bumerang yang menyebabkan kemarahan internasional dan membuat rezim Saudi terlihat lebih bodoh lagi.
Terlepas dari kesalahan yang memalukan, MBS naik pangkat dengan setiap kegagalan, menjadi putra mahkota pada tahun 2017. Segera setelah itu, ia mengambil alih semua pilar kekuasaan dan bisnis di Kerajaan Saudi, membersihkan pangeran dan pejabat pemerintah yang menjadi rivalnya melalui penahanan mendadak, penghinaan dan bahkan penyiksaan.
Sejak saat itu, penindasan terus berlanjut terhadap semua tokoh oposisi, termasuk mantan pejabat, tokoh agama, akademisi, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia. Semua itu mencapai klimaks baru dengan pembunuhan mengerikan dan mutilasi Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul, pada Oktober 2018.
Jadi, hanya beberapa tahun setelah Raja Salman mengambil alih kekuasaan dan menempatkan putranya yang masih kecil di jalan takhta, Arab Saudi telah dikenal karena kekerasan brutal dan kecerobohannya, daripada kemurahan hati dan diplomasi pragmatisnya. Di mata publik, negara ini telah diwakili bukan oleh simbol Bulan Sabit Merah, tetapi gambar gergaji berdarah.
Kegagalan besar
Petualangan kurang ajar MBS mungkin telah memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan, tetapi itu sangat melemahkan kerajaan. Terlepas dari ratusan miliar pembelian senjata Saudi, perang nyaris satu decade di Yaman–bencana kemanusiaan terburuk dalam beberapa tahun terakhir–terus berlanjut.
Lebih buruk lagi, pukulan balik dari perang sekarang dirasakan di Arab Saudi, tepat karena Houthi Yaman telah meningkatkan serangan rudal mereka langsung menusuk jantung kerajaan Arab itu.
Dulunya merupakan pencapaian utama Saudi, Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) sekarang benar-benar lumpuh karena kebijakan MBS yang berpandangan sempit. Kerajaan yang pernah membanggakan dirinya sebagai pilar pragmatisme dan stabilitas regional itu telah menjadi kekuatan perang yang tidak stabil.
Ditto di dalam negeri.
Alih-alih memulai reformasi politik besar untuk membuka jalan bagi transformasi ekonomi, MBS muda yang tidak berpengalaman mengikuti jejak UEA, tetapi tanpa kebijaksanaannya, mengubah negara tersebut menjadi negara polisi yang represif dengan perangkap liberalisasi sosial.
Makanya, ketika dorongan konsumen mereda dan sirkus hiburan gulat profesional dan konser pop memudar, kerajaan ditinggalkan dengan defisit anggaran dan ketidakpuasan dalam negeri.
Optimisme dan kegembiraan awal tentang mobilitas sosial yang lebih besar dan pemberdayaan perempuan, segera digantikan oleh pesimisme dan keputusasaan, karena reformasi ekonomi Saudi dan megaproyek bernilai miliaran dolar terhenti, sementara pengangguran kaum muda tetap di angka 29 persen.
Kerajaan Saudi sedang dalam kekacauan, rezimnya benar-benar bingung dan tidak dihormati di seluruh wilayah dan sekitarnya. Lesu dalam ketidakmampuan menghadapi kegagalan atau untuk memenuhi tantangan di masa depan di tengah meningkatnya ketegangan dengan Iran dan Turki, MBS pun putus asa. Dia mungkin mencoba untuk kembali selama KTT G20 mendatang yang diselenggarakan Riyadh, tetapi itu akan terbukti terlalu terlambat.
Kemungkinan yang tengah berkembang, pelindung Amerika-nya, Donald Trump, akan kalah dalam pemilihan Presiden AS pada bulan November, kian membuat MBS keropos dan kering.
Tempat perlindungan terakhir, Israel
Alih-alih membalikkan kebijakan destruktifnya, mengakhiri perang di Yaman, berdamai dengan Qatar, dan memperkuat persatuan Teluk dan Arab untuk menetralkan Iran, putra mahkota Saudi telah memperkuat aliansi rahasia dengan Israel untuk membuka jalan menuju normalisasi penuh dengan penjajah tanah Arab itu.
Menurut laporan Wall Street Journal baru-baru ini, MBS telah mendorong UEA dan Bahrain untuk menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai awal dari normalisasi Saudi yang akan segera terjadi, tetapi tanpa persetujuan ayahnya. Raja Salman dikabarkan berkukuh bahwa Arab Saudi hanya akan menormalisasi hubungan dengan Israel, setelah munculnya negara Palestina.
Terlepas dari apakah ini benar, atau hanya ayah dan anak yang berperan sebagai “polisi baik, polisi jahat” dengan perjuangan Palestina, hubungan diplomatik dan strategis dengan Israel mungkin terbukti menjadi jerami yang mematahkan punggung unta. Tidak hanya tidak masuk akal bagi Israel untuk terlibat dalam keamanan kawasan Teluk, yang sudah jenuh dengan keterlibatan Amerika, Prancis, dan kekuatan dunia lainnya, tetapi juga tidak mungkin, untuk tidak mengatakan tidak terpikirkan, bagi “Negara Yahudi” itu untuk mengorbankan tentaranya guna mempertahankan monarki Teluk.
Dan apa pun yang bisa ditawarkan Israel dalam hal pengetahuan, teknologi, dan persenjataan, sudah ditawarkan dengan potongan harga berbagai kekuatan dunia.
Ya, Israel mungkin akan merasa senang dan ingin bergabung dengan “liga anti-demokrasi” Saudi-Emirat, tapi ini akan terbukti kontraproduktif, mengingat tingkat kebencian Arab yang mungkin terprovokasi.
Setelah pendudukan dan penindasan selama puluhan tahun terhadap orang-orang Palestina, Israel tetap menjadi musuh bagi kebanyakan orang di kawasan itu, dengan mayoritas mutlak orang Arab melihatnya sebagai ancaman bagi keamanan dan stabilitas kawasan.
Tetapi MBS, seperti MBZ, sebagian besar melakukan lindung nilai atas taruhannya untuk mengantisipasi kemungkinan kekalahan Trump, yang pasti akan membuat mereka terisolasi atau bahkan dijauhi oleh pemerintahan Joe Biden.
Dan ya, Israel mungkin dapat membantu rezim Saudi yang didiskreditkan di Washington, dan lebih khusus lagi di Kongres AS. Tetapi itu akan datang dengan harga tinggi, termasuk persetujuan total Saudi terhadap hegemoni Amerika dan Israel.
Dengan kata lain, pertaruhan MBS di Israel mungkin terbukti sama bodohnya dengan pertaruhannya yang lain, karena itu akan membuktikan lebih sebagai beban daripada aset bagi kerajaan. Jika AS dan Trump sendiri tidak dapat menyelamatkan MBS di Arab Saudi dari penurunan dalam waktu dekat, Anda dapat yakin Israel juga tidak akan dapat melakukannya. [Al Jazeera]
Catatan editor: Teks ini telah diperbarui untuk mengoreksi tanggal yang salah untuk invasi Soviet ke Afghanistan dan Revolusi Islam di Iran.
Marwan Bishara adalah analis politik senior Al Jazeera. Dia sebelumnya adalah profesor Hubungan Internasional di American University of Paris. Seorang penulis yang banyak menulis tentang politik global, dia secara luas dianggap sebagai otoritas terkemuka di Timur Tengah dan urusan internasional.