SpiritusVeritas

Berpuasa Bersama KH Jalaluddin Rakhmat [6]: Jalan Tercepat Menuju Tuhan

Perkhidmatan tidak bisa diajarkan melalui lisan, tapi harus dengan praktik. Bila kita belajar tasawuf kepada para sufi zaman dahulu, pelajaran pertama yang kita dapatkan bukanlah dengan duduk di kursi dan memegang kertas, tetapi dengan membersihkan lantai dan toilet.

JERNIH– Pada suatu hari, seorang kiai muda dari Pesantren Lirboyo datang menemui saya dengan membawa sebuah buku tebal yang berisi renungan-renungan sufistik. Kiai itu tak pernah menempuh pendidikan formal, ia hanya masuk pesantren.

Buku yang dibawanya diketik sendiri melalui mesin tik yang tampaknya dibuat di Jerman sebelum Perang Dunia II. Setelah berbincang dengannya, saya menyadari bahwa kiai ini luar biasa. Ia banyak menggunakan istilah-istilah, bukan saja dalam bahasa Arab, tetapi juga dalam bahasa Inggris modern.

Saya tertarik untuk mengetahui di mana dan bagaimana ia belajar. Ia bercerita bahwa ia pernah belajar kepada salah seorang ulama, yang di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dianggap sebagai seorang sufi. Ketika ia berguru pada ulama itu, ia selalu diberi tugas untuk memandikan kuda pak kiai. Ia melakukannya dengan penuh gembira karena ia pernah mendengar cerita tentang seorang santri yang juga diperintahkan untuk mencuci kuda Syaikh Khalil di Bangkalan. Santri yang suka memandikan kuda itu lalu menjadi ulama besar dan mendirikan Nahdlatul Ulama. Namanya KH. Hasyim Asy’ari.

Cerita-cerita itu menunjukkan kepada kita bahwa mereka yang lebih banyak berkhidmat kepada kiainya daripada belajar, ternyata memperoleh ilmu yang luar biasa dan pengetahuan yang sangat tinggi. Hal ini juga mengingatkan saya kepada salah seorang kiai di Purwakarta yang mengaku bahwa ketika ia nyantri, ia jarang menghafal kitab. Ia sering tidak hadir karena selalu dipanggil untuk memijat kiainya. Setelah ia keluar dari pesantren, ia malah berhasil mendirikan pesantrennya sendiri.

Para santri di atas mendapatkan pelajaran pertama mereka dalam Islam, yaitu khidmat. Perkhidmatan tidak bisa diajarkan melalui lisan, tapi harus dengan praktik. Bila kita belajar tasawuf kepada para sufi zaman dahulu, pelajaran pertama yang kita dapatkan bukanlah dengan duduk di kursi dan memegang kertas, tetapi dengan membersihkan lantai dan toilet.

Kita terbiasa untuk menggerakkan telunjuk kita pada setiap orang dengan sejumlah perintah tertentu. Kita sering menggunakan telunjuk kita untuk menyuruh orang berkhidmat kepada kita, bukan untuk berkhidmat kepada mereka. Kita terbiasa dikhidmati. Oleh karena itu, semestinya kita belajar tentang khidmat langsung

di dalam praktiknya.

Ya Allah, jangan Kaurendahkan aku di bulan ini untuk bermaksiat kepada-Mu. Jangan Kau dera aku dengan cambuk kemurkaan-Mu. Jauhkan aku dari datangnya siksaan-Mu. Demi anugerah-Mu, Wahai Tumpuan para pendamba.” [  ]

Back to top button