Bung Karno Pernah Mengecewakan dan Meremehkan Jenderal Soedirman
Kekecewaan Soedirman bertambah saat mendengar bahwa rapat kabinet memutuskan presiden beserta semua menteri menyerahkan diri kepada Belanda. Padahal sebelumnya Bung Karno menyatakan tak mau menyerah dan akan memimpin perang gerilya bersama tentara.
JERNIH— Hari pertama Jenderal Soedirman bisa bangkit dan berdiri, setelah tiga bulan terbaring dirajam kuman TBC yang menyerang paru-parunya adalah subuh 19 Desember 1948. Saat Belanda menyerang ibukota RI, Yogyakarta.
Bom berjatuhan meledak menyengsarakan rakyat. Ketika menerima laporan bahwa Belanda menyerang itulah, Jenderal Soedirman seolah mendapat kekuatan baru. Hari itu Soedirman memutuskan memegang kembali komando Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pukul 09.00, dikawal dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Jenderal Soedirman menuju Istana Presiden di Gedung Agung untuk melaporkan situasi Yogya dan siap menerima perintah presiden.
Namun betapa kecewanya Soedirman, manakala dalam pertemuan itu Presiden Soekarno berkata, ”Ini tidak ada apa-apa. Saudara baru sakit dan supaya pulang saja mengaso, dan supaya Mas Dokter menjaga.”
Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) itu bahkan dicegah ikut rapat kabinet. Awalnya Soedirman menjawab, ”Ya, nanti dulu.” Tapi ketika Bung Karno menyuruhnya pulang kedua kalinya, dia menjawab tegas, ”Saya tidak mau. Saya mau tunggu di sini.”
Sidang kabinet berlangsung, Jenderal Soedirman menunggu di luar. Sementara di angkasa pesawat bomber Belanda melayang-layang menjatuhkan bom di beberapa tempat. Benteng Vredenberg di depan Istana Presiden diserang. Situasi makin gawat.
Kekecewaan Soedirman bertambah saat mendengar bahwa rapat kabinet memutuskan presiden beserta semua menteri menyerahkan diri kepada Belanda. Padahal sebelumnya Bung Karno menyatakan tak mau menyerah dan akan memimpin perang gerilya bersama tentara.
Sejak itu jalan yang diambil para politikus dengan tentara bersimpangan. Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya di beberapa kota. Sementara Presiden Sukarno dan menterinya menyerah, ditawan Belanda ke Pulau Bangka.
Badan Keamanan Rakyat
Situasi perbedaan pandangan itu mewarnai perjalanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di awal berdirinya negara ini. Posisi militer bergantung kepada supremasi sipil. Di saat awal negara berdiri posisinya benar-benar tak mengenakkan karena diplomasi para polikus sangat lemah dan memandang rendah orang-orang tentara.
Sikap seperti itu bisa dilihat dari kelahiran TNI. Awalnya hanya berbentuk badan. Namanya Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk 23 Agustus 1945. Anggotanya terdiri dari bekas anggota PETA, Heiho, KNIL, dan milisi atau laskar rakyat.
Tiga kelompok pertama mendapat didikan tentara zaman Jepang dan Belanda. Mereka sudah tahu dasar disiplin militer, berbaris, dan pegang senjata. Sementara laskar rakyat adalah pasukan bondho nekat. Senjatanya parang, pedang, senapan rampasan, atau cuma bambu runcing. Ada juga yang membawa jimat. Modalnya berani dan nekat. Kelompok ini susah disiplin.
SI Poeradisastra dalam “Oerip Soemohardjo, Kebungkaman yang Ampuh”, yang dimuat Jurnal Prisma No. 9, Edisi September 1982, menjelaskan, Bung Karno setuju pembentukan sarana keamanan umum di samping polisi, tapi bukan tentara. Namanya Badan Keamanan Rakyat.
Nama itu paling aman dibandingkan memakai kata tentara karena bulan Agustus di Indonesia masih ada pemerintah militer Jepang yang status quo menunggu kehadiran Sekutu dari Inggris.
Semua bekas PETA, Heiho, dan KNIL di daerah-daerah berkumpul membentuk BKR, dengan ketua Otto Iskandar Dinata. Di luar ini masih banyak laskar rakyat. Pada 5 Oktober 1945 BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Untuk mengorganisasi TKR, Bung Hatta memanggil Oerip Soemohardjo, pensiunan mayor KNIL yang tinggal di Purworejo untuk membenahi organisasi TKR. TB Simatupang dalam bukunya “Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan” menuturkan, Oerip Soemohardjo menjabat Kepala staf Umum TKR dengan diberi pangkat mayor jenderal. Oerip memilih Yogyakarta sebagai Markas Tertinggi Tentara.
Jenderal Soeprijadi yang terpilih menjadi panglima TKR tak pernah muncul. Ada yang mengatakan sudah dieksekusi Jepang dalam pemberontakan Peta di Blitar. Tapi lebih banyak yang percaya dia masih hidup dan pasti muncul bila waktunya tiba. Cerita mistik tentang Suprijadi makin membuat namanya terkenal.
Duet Soedirman-Oerip
Pada 18 Desember 1945, Presiden Sukarno melantik Komandan Divisi Purwokerto Kolonel Soedirman menjadi Panglima TKR dengan menaikkan pangkatnya menjadi jenderal. Dia menggantikan Soeprijadi. Oerip Soemohardjo tetap menjabat Kepala Staf Umum.
Soedirman terpilih lewat voting di antara panglima divisi dan resimen Jawa dan Sumatra. Sebenarnya Sukarno kurang sreg karena kewenangan mengangkat panglima tentara mestinya di tangan presiden. Selain itu pengalaman Soedirman yang baru dua bulan menjadi TKR meragukan Bung Karno yang lebih suka kepada Oerip.
Apalagi umur Soedirman saat itu baru 29 tahun sementara Oerip sudah 50 tahun dan pengalaman menjadi tentara mulai 1914. Soedirman terpilih karena komandan resimen dan divisi kebanyakan dari PETA. Selain itu KNIL punya sentimen negatif karena didikan Belanda.
Nama Soedirman juga terkenal dalam pertempuran Ambarawa melawan Inggris. Divisi Purwokerto yang dia pimpin terkenal paling disiplin dan baik organisasinya. Kelebihan lainnya punya stok senjata terbanyak.
Dalam perjalanan waktu duet Soedirman-Oerip mampu mengatasi gejolak dan masalah ketentaraan yang serba terbatas. Urusan perang dipegang Soedirman, masalah keorganisasian di tangan Oerip.
TKR kemudian berubah nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 29 Januari 1946. Sekaligus mengatur hubungan dan pembagian tugas TRI dengan Kementerian Pertahanan. Reorganisasi berikutnya adalah peleburan laskar rakyat masuk ke TRI sehingga jumlah prajurit makin besar. Namanya pun berganti menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 28 Juni 1947.
Pergolakan dan perang
Di masa konsolidasi TKR itu, suasana perang terus berkecamuk mulai melawan tentara asing Jepang, Sekutu (Inggris), dan pemberontakan daerah. Situasi ini menghambat pengorganisasian tapi sisi lain memberi banyak pengalaman pasukan bertempur.
Di Surabaya, pertempuran dahsyat dengan Inggris pimpinan Mayjen Manserg yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945. Di tempat lain juga berlangsung di Ambarawa dan Bandung.
Kemudian terjadi Agresi Belanda pada tahun 1947 dan 1948 hingga keluarnya perundingan-perundingan Renville, Roem Royen, Linggarjati, hingga Konferensi Meja Bundar. Hasil perundingan ini berpengaruh posisi tentara.
Misalnya akibat perjanjian Renville, 19 Januari 1948, tak memuaskan Oerip Soemohardjo karena tentara dipandang lemah oleh politikus. Dia menyatakan mundur dari KSU TKR. Lalu digantikan oleh Komodor Soerjadi Suryadarma.
Akibat perjanjian ini terjadi penarikan pasukan Siliwangi ke luar garis demarkasi wilayah yang dikuasai Belanda di Jawa Barat. Penarikan pasukan ini memunculkan masalah baru yaitu lahirnya Darul Islam (DI/TII) oleh laskar rakyat pimpinan SM Kartosuwiryo.
DI/TII menganggap Jawa Barat bukan lagi wilayah RI sehingga mereka memproklamasikan Darul Islam dan menyatakan perang melawan Belanda. Setelah Perjanjian Renville batal, pasukan Siliwangi balik lagi sehingga berperang dengan DI/TII.
Perjanjian itu juga menyebabkan Kabinet Amir Syarifuddin bubar. Amir yang kecewa bergabung dengan Muso mendirikan Negara Sovyet Madiun bergabung dengan Sovyet Rusia tahun 1948. Ketika terjadi rasionalisasi yang mengurangi jumlah prajurit, terjadi pemberontakan Kahar Muzakar. Pemberontakan lainnya seperti PRRI, Permesta, dan RMS, berhasil diatasi oleh pasukan TNI.
Puncak perubahan TNI terjadi setelah G30S/PKI. Sejak itu tentara berperan dominan mengatur negara mengakhiri pemerintahan sipil yang kacau. Setelah 36 tahun militer berkuasa, jatuh oleh gelombang reformasi tahun 1998. Kini militer kembali mengikuti aturan pemerintahan sipil. [PWMU.Co]