Veritas

Chairul Saleh, Tragedi Seorang Pejuang Kemerdekaan

Chairul dengan tegas menentang ide agar naskah proklmasi ditandatangani semua yang hadir. Ia berpendapat, sebagian dari hadirin adalah pegawai Jepang. Bagaimana mungkin, mereka ikut menandatangani proklamasi? Apa sumbangan mereka kepada perjuangan kemerdekaan?

JERNIH—Pertengahan 1965, dalam salah satu sidang kabinet, Chairul Saleh—tokoh pemuda di balik penculikan Soekarno-Hatta yang memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan– bertikai dengan DN Aidit. Waktu itu Chairul adalah Wakil Perdana Menteri III/Ketua MPRS, sedangkan Aidit Ketua PKI (Partai Komunis Indonesia) dan juga Menteri/Wakil Ketua MPRS.

Pertikaian meletus karena dalam sidang, Chairul menyodorkan dokumen yang antara lain menyebutkan, pimpinan PKI sedang merencanakan perebutan kekuasaan untuk menggulingkan Presiden Soekarno.

Tentu saja, Aidit membantah tuduhan tersebut. Dengan suara garang dia menolak. Kedua menteri ini, yang berteman sejak masa muda, nyaris baku hantam. “Saking geramnya, Chairul hampir saja mendaratkan tinjunya ke muka Aidit. Para pejabat tinggi yang hadir menyaksikan kejadian ini mencoba melerainya. Kedua menteri tersebut masih tetap ngotot. Dengan wajah geram dan urat leher menegang, Chairul memegang bibir meja dan mau mengangkatnya. Dengan cepat Presiden Soekarno langsung mengetukkan palu yang terdengar sangat keras. Hening sejenak.

“Dengan ini sidang saya tutup. Semua yang dibicarakan di sini, tak boleh (terdengar) keluar!”kata Bung Karno.

Insiden di atas berlangsung di Istana Bogor. Sebagai kajian kilas balik, peristiwa itu tampil sangat menarik. Pertikaian antara Chairul dan Aidit mengenai rencana pemberontakan PKI sudah muncul di tengah sidang kabinet, yang saat itu dipimpin langsung oleh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi

Babakan ini ikut disebutkan dalam buku “Chairul Saleh Tokoh Kontroversial” karya sejarawan lulusan UGM Yogyakarta, Dra Irna H.N. Hadi Soewito. Buku setebal 398 halaman dengan kulit berwarna merah darah itu diluncurkan dengan bersemangat, disaksikan hadirin yang sebagian besar lanjut usia, di bekas Gedung Stovia, Jakarta, hari Sabtu (1/7/1995)

Hampir delapan tahun sebelumnya naskahnya telah selesai dikerjakan. Tetapi, berbagai penerbit dengan segala macam alasan, menolak menerbitkannya. “Kemudian, baru datang seorang teman lama yang sedia mengulurkan tangan,…sekarang puas sudah hati ini,” kata Irna dengan gembira, meskipun majalah Sarinah tempatnya bekerja, justru sedang diselimuti awan kelabu.

Apa yang terjadi dalam kehidupan Chairul Saleh bagaikan pusingan roda nasib, mengalir naik turun tanpa henti. Bahwa dia justru mengakhiri perjalanannya setelah mendadak diketemukan meninggal dunia di rumah tahanan militer Jakarta tanggal 8 Februari 1967, ikut membuktikan mengenai misteri yang menyelimuti banyak segi kehidupannya.

Sangat disayangkan, kematian tersebut menyeret segala kabut tentang dirinya ikut terkubur di Karet, Jakarta. Berdampingan dengan kuburan Johanna Siti Menara Saidah, istrinya yang setia mendampingi sejak tahun 1940, meskipun mereka tidak dikarunai keturunan.

* * *

NAMA lengkapnya Chairul Saleh Datuk Paduko Rajo, lahir 13 September 1916 di Sawahlunto (Sumatera Barat). Sebagai anak dokter, dia mendapatkan pendidikan terbaik, siswa sekolah dasar ELS Bukittinggi kemudian melanjutkan di HBS Medan. Menurut kesaksian BM Diah, “Di Medan, hampir setiap hari saya berpapasan dengan orang muda yang bersepeda. Pemuda itu tampan, badannya berisi dan caranya mengayuh sepeda seperti atlet terlatih.”

“Saya mengenal Chairul waktu saya jadi mahasiswa Recht School (RHS). Pada waktu itu dia Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI),” kata Subadio Sastrosatomo sambil melanjutkan, “Kesan saya, dia selalu memonopoli semangat nasionalisme, sebab dia menilai mahasiswa yang tidak menjadi anggota PPPI bukan nasionalis. Sebagai mahasiswa RHS, jalannya, gayanya selalu menunjukan, ini lho nasionalis.” Sementara SK Trimurti, tokoh wanita pejuang melukiskan, “…penilaian saya, Chairul selalu kurang ajar. Maklum, dia tokoh pemuda dan selalu berjiwa muda.”

Bahwa Chairul tokoh pemuda yang konsisten dalam kata dan tindakannya, nampak menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang. Ia mengajak teman-temannya menentang kaum tua yang masih percaya kepada ketulusan sikap Jepang, membantu persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia menolak ikut keanggotaan Badan Persiapan Usaha Pencarian Kemerdekaan Indonesia. Ia juga berada di balik aksi penculikan Bung Karno-Bung Hatta sehari menjelang proklamasi kemerdekaan.

Sumbangan terbesar Chairul mungkin pada keberaniannya mempertahankan pendapat saat perumusan Naskah Proklamasi. Bung Karno, yang (mungkin) mengacu kepada penyusunan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, meminta semua hadirin bertanggung jawab, karena itu mereka harus mencantumkan tanda tangan. Sebaliknya, Chairul dengan tegas menentang. Ia berpendapat, sebagian dari hadirin adalah pegawai Jepang. Bagaimana mungkin, mereka ikut menandatangani proklamasi? Apa sumbangan mereka kepada perjuangan kemerdekaan?

Chairul ngotot mempertahankan pendapatnya. Ia tidak mau berkompromi. Kenekatannya saat itu dalam mempertahankan keyakinan mungkin malahan bisa menggagalkan pembacaan proklamasi. Akhirnya, Bung Karno menyerah. Naskah proklamasi, atas nama bangsa Indonesia, (hanya) ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta.

Pada sisi lain, selaku penentang Konferensi Meja Bundar, Chairul kembali masuk hutan, begitu kedaulatan Indonesia diserahkan. Ia memimpin laskar rakyat dan berjuang melawan Republik Indonesia Serikat. Tahun 1950 Chairul ditangkap Kolonel Nasution, dipenjarakan dan kemudian dibuang ke luar negeri. Dia muncul kembali di Tanah Air, persis ketika Bung Karno sedang menata pemerintahan dengan prinsip Demokrasi Terpimpin.

Kali ini, Chairul dengan sadar menjadi pendukung gigih Presiden Soekarno. Sebaliknya, Bung Karno yang saat itu sedang memperluas basis dukungan politik, memerlukan dukungan massa pemuda yang dikuasai Chairul. Bintang Chairul melesat. Diangkat jadi Menteri Veteran, lalu Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan sampai akhirnya, Wakil Perdana Menteri III. Kecuali itu, jabatan politiknya melonjak, dari Ketua Angkatan 45 diangkat selaku Ketua MPRS.

Dari sekian jejaknya, masyarakat masa kini mungkin tak tahu tekad Chairul membela prinsip negara kepulauan. Konsepsinya mengenai Wawasan Nusantara, di mana batas teritorial secara sepihak ditentukan 12 mil laut (agar semua laut yang ada di antara pulau-pulau jadi wilayah teritorial) langsung diberlakukan pemerintah Indonesia tanggal 13 Desember 1957. Pemikiran Chairul ini baru bisa disahkan tahun 1982 dalam konvensi internasional tentang Hukum Laut di Montego Bay, Jamaika. “Perjuangan tersebut memakan waktu 25 tahun. Saya beruntung mendapat dorongan dari Uda Chairul Saleh. Dari tidak ada sampai tercipta dan diterimanya konsepsi Wawasan Nusantara, sekaligus diterimanya konsepsi baru kita ini,” kata Prof Dr Mochtar Kusuma Atmadja mengenang keteladanan Chairul.

* * *

TETAPI, sejarah sering menyeret seseorang ke arah lain. Pada masa Orde Lama, massa komunis dengan gegap gempita menuding Chairul gembong kapitalis birokrat yang harus dilenyapkan. Namun, dalam masa pancaroba kebangkitan Orde Baru, dia malahan masuk tahanan karena dianggap pendukung Soekarno. Meskipun telanjur mati dalam tahanan (8 Februari 1967) dan tidak sempat diajukan ke depan sidang pengadilan, “…yang dapat saya beritahukan, Bung Chairul tidak terlibat G30S/PKI,” begitu pernyataan Jenderal Soeharto, ketika secara pribadi mengirimkan ucapan bela sungkawa kepada istri Chairul Saleh.

Pertanyaannya kini, sebagai politikus ulung yang pasti membaca tanda-tanda zaman, mengapa dia tidak mau pindah posisi ketika fajar kebangkitan Orde Baru muncul di cakrawala? Mengapa dia tidak sebagaimana Adam Malik, rekannya sesama tokoh Murba, melakukannya? Mengapa Chairul tidak menjadi tikus-tikus yang berebut meninggalkan kapal karam, seperti kelakuan rekan-rekannya semasa regim Soekarno mulai nampak menyurut?

Analisis tentang ini dengan indah dilukiskan oleh Mochtar Lubis. “…tak ubahnya seperti pahlawan Yunani kuno, melakukan apa yang mereka yakini harus mereka lakukan, karena itulah suratan hidup yang ditentukan para dewata. Mereka tahu yang menanti adalah nista dan maut. Namun, dalam tragedi yang mereka masuki dengan kesadaran, mereka mencapai kebesaran yang tidak sempat diraih semasa (mereka) masih hidup.”

“…di mata saya, sebagai seorang sahabat, dia tampil sebagai tokoh pahlawan tragis,” kenang Mochtar Lubis. Chairul Saleh dengan penuh kesadaran melangkah menjalani nasib yang dipilihnya, karena itulah kewajiban yang harus dilaksanakan. Inilah puncak tragedi seorang pejuang kemerdekaan yang sangat memilukan.

[dari artikel Julius Pour di harian Kompas, Rabu, 5 Juli 1995]

Back to top button