Coca Cola, Kapitalisme dalam Botol, dan Cocacolonization
Dalam The Killing Fields, sutradara Rolland Joffe menggambarkan kekalahan rezim Lon Nol dengan satu adegan; jatuhnya tumpukan botol Coca Cola di markas terakhir pasukan boneka AS itu.
Sebuah koran AS menurunkan berita normalisasi hubungan AS-Vietnam dengan memasang foto botol Coca Cola di sebuah toko keil di Hanoi.
Entah sejak kapan Coca Cola menjadi simbol kapitalisme AS. Yang pasti, sampai saat ini Coca Cola adalah softdrink dengan sebaran terluas di muka bumi, yaitu 200 negara.
Hanya ada dua negara yang tidak, atau belum, terjamah Coca Cola; Korea Utara dan Kuba. Namun, dari keduanya, Korea Utara sebenarnya satu-satunya negara yang belum terjamah Coca Cola.
Kuba kemasukan Coca Cola lewat pasar gelap, dan dipromosikan lewat Cuba Libre — atau kebebasan Cuba. Jauh Sebelumnya, saat Kuba masih menjadi jajahan Spanyol, Coca Cola diyakini telah masuk ke Kuba dan menjadi minuman para petinggi.
Kolonisasi Coca Cola
Coca Cola tidak sekedar simbol kapitalisme AS, tapi juga kolonialisme. Tahun 1949, Partai Komunis Prancis yang terganggu dengan ekspansi Coca Cola memunculkan istilah cocacolonialism.
Selama tahun 1950-an, publik Prancis akan menyerang truk-truk Coca Cola yang melintas di jalanan Paris. Mereka melihat Coca Cola sebagai ancaman bagi masa depan masyarakat Prancis.
Setahun sebelumnya, Kementerian Keuangan Prancis menentang operasional Coca Cola, dengan alasan sistem operasi perusahaan itu hanya akan menyedot uang dari Prancis kembali ke AS.
Selama Perang Dingin, banyak orang di Eropa menghubungkan Coca Cola dengan budaya AS. Orang-orang Eropa, timur dan barat, menolak mengkonsumsi Coca Cola.
Selama periode itu, Coca Cola bukan hanya minuman berkarbonasi, tapi juga mewakili bentuk invasi terhadap identitas nasionalistik negara-negara Eropa. Namun pada akhir Perang Dingin, Coca Cola membawa cita-cita Amerika Serikat ke Eropa.
Reinhold Wagnleitner, dalam Coca-Colonization and the Cold War: The Cultural Mission of the United States in Austria After the Second World War, menggunakan cocacolonization untuk mewujudkan premis Amerika berusaha menjajah budaya bangsa-bangsa di dunia melalui penyebaran produk konsumen.
Coca Cola hanya salah satu. Lainnya adalah celana jins Levis, dan jaket kulit hitam Marlon Brando. Ketiganya masuk bersamaan dengan promosi demokrasi di Eropa, dan juga di negara-negara lain di dunia.
Cocacolonization berlanjut ke Afghanistan. Setahun setelah pasukan AS menghantam Taliban dan mendirikan pemerintahan baru, Coca Cola membuka pabrik dengan investasi 25 juta dolar AS.
Hamid Karzai, presiden pemerintahan Afghanistan bentukan AS, meresmikan pabrik itu. Seperti saat Perang Dunia II, dan di banyak medan pertempuran, Coca Cola hadir untuk memenuhi kebutuhan pasukan AS akan minuman soft drink.
Baveragedaily.com memberitakan orang-orang Taliban, yang masih terus mengadakan perlawanan, menentang kehadiran Coca Cola. Bagi Taliban, Coca Cola adalah duta tak resmi gaya hidup Amerika.
Bukan kali pertama Coca Cola hadir di Afghanistan. Sebelum Taliban menjadi besar dan kuat, Coca Cola telah ada di Afghanistan.
Tahun 1996, Taliban menandai keterusiran pengaruh AS dari Afghanistan dengan penghancuran pabrik Coca Cola. Saat itu, Taliban menghujani pabrik Coca Cola dengan tembakan roket.
Coca Cola dan Perubahan Politik
Tom Standage, penulis A History of the World in Six Glasses, mengatakan kedatangan Coca Cola menandai sebuah perubahan. Ia juga mengatakan Coca Cola datang bersama kehadiran pasukan AS.
Saat ini terdapat 60 pabrik bottling Coca Cola di seluruh dunia, yang dibangun saat operasi pasukan AS. Coca Cola tidak hanya dikonsumsi pasukan AS, tapi didistribusikan ke penduduk yang ditaklukan.
Standage mengatakan situasi inilah yang membuat Coca Cola terkait degan patriotisme AS. Coca Cola melakukannya untuk satu hal; mendapat kebebasan penjataha gula.
Dwight Eisenhower, komandan tertinggi sekutu di Eropa dalam Perang Dunia II, adalah penggemar berat Coca Cola. Ia memastikan ketersediaan minuman ini di Afrika Utara.
Dia pula yang memperkenalkan minuman ini ke Georgy Zhukov, panglima tertinggi Tentara Merah Rusia. Saat itu Zhukov bertanya kapada Eisenhower apakah ada versi khusus, yang jernih seperti Vodka, bisa dibuat.
Tidak ada yang tahu apakah Eisenhower menjawab pertanyaan itu. Yang pasti, selama Perang Dingin — menurut konsultan branding independent Bruce Webster — Coca Cola menjadi symbol garis batas antara kapitalisme dan communisme.
Coca Cola tidak dipasarkan di Uni Soviet, karena khawatir keuntungan penjualan masuk kantong partai komunis. Pepsi mengisi kekosongan ini, dan dijual secara luas di kota-kota di Uni Soviet.
Saat Tempo Berlin runtuh tahun 1989, banyak orang Jerman menolak Pepsi dan membeli Coca Cola. “Coca Cola menjadi simbol kebebasan,” kata Standage.