Veritas

Di Bawah Imran Khan, Pakistan Membiarkan Dirinya Dipermalukan Cina

Oleh  : Michael Rubin, Akademisi American Enterprise Institute dan pengajar kelas-kelas terorisme untuk FBI, militer AS dan NATO

Namun ketika menyangkut penahanan lebih dari sejuta Muslim Uighur di Tiongkok, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan diam, bahkan membela penindasan dan penganiayaan Cina terhadap Muslim

Di dalam negeri Pakistan, India adalah obsesi. Kekerasan komunal di sekitar kemerdekaan India dan pemisahan Pakistan tahun 1947 merenggut hingga dua juta jiwa. India dan Pakistan kemudian berperang tiga kali: pada tahun 1965 ketika India membalas upaya Pakistan untuk menyusup ke Jammu dan Kashmir. Pada tahun 1971 dengan latar belakang Perang Kemerdekaan Bangladesh, dan sekali lagi pada tahun 1999, ketika pasukan India menekan orang-orang Pakistan yang berupaya mendesak masuk melalui garis demarkasi di Kargil.

Imran Khan bersama Xi Jin Ping, kedua PM dalam sebuah momen politik kedua negara

Seperti pernah dinyatakan sejarawan Universitas Princeton, Bernard Lewis, jika para sarjana menganut definisi yang sama tentang “pengungsi” dengan yang diterapkan PBB untuk orang-orang Palestina yang telah dibuat kacau oleh Israel, maka Asia Selatan akan menjadi rumah bagi lebih dari dua ratus juta pengungsi.

Ketegangan tetap jelas membayang di seluruh negeri. Pada tahun 2000, di Peshawar, sebuah maket rudal nuklir Pakistan berdiri di tengah-tengah bundaran lalu-lintas dengan slogan “Aku ingin memasuki India” tertulis di bawahnya. Di ibu kota Pakistan, Islamabad, hari ini, jam billboard raksasa menandai waktu sejak India memberlakukan jam malam di Kashmir.

Tidak ada kekurangan animo anti-India di Pakistan. Tetapi dalam beberapa bulan terakhir ini justru Cina telah mempermalukan Pakistan dengan cara yang tidak pernah bisa dilakukan India. Muhammad Ali Jinnah, pemimpin Liga Muslim Seluruh India dan pendiri Pakistan, menganggap negara baru itu sebagai tanah bagi umat Islam. Karena itu Pakistan lebih mendasarkan legitimasinya pada agama daripada pada etnisitas. Pakistan benar-benar negara Islam pertama di zaman modern.

Orang-orang Pakistan secara historis berada di garis depan advokasi dan tindakan melawan penindasan umat Islam, nyata atau pun yang dibayangkan. Inilah yang membimbing Pakistan untuk menentang desain Soviet di Afghanistan. Pakistan adalah salah satu negara paling anti-Israel dan paling anti-Semit di dunia. Pers Pakistan secara teratur meliput nasib buruk Muslim Rohingya di Myanmar yang dianiaya. Badan amal Pakistan bekerja di Chechnya.

Tidak ada kekurangan dari kelompok teroris yang disponsori Pakistan yang menargetkan India dan lebih termotivasi agama daripada oleh nasionalisme. Namun, ketika menyangkut penahanan lebih dari sejuta Muslim Uighur di Tiongkok — semata-mata karena mereka adalah Muslim, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan diam, bahkan ia cenderung membela penindasan dan penganiayaan Cina terhadap Muslim Uighur.

Twinning sister city adalah praktik diplomatik umum untuk memajukan pariwisata dan hubungan antara kota-kota besar dunia. Cina dan Pakistan telah membawa ini ke taraf baru dengan ikatan antar-provinsi. Baru-baru ini, misi Pakistan di Beijing memberikan draft nota kesepahaman kepada Kementerian Luar Negeri Cina untuk membangun hubungan provinsi saudara antara Xinjiang dan Gilgit-Baltistan. Karena itu, mungkin, Khan tidak hanya takut oleh tekanan Tiongkok sampai-sampai ia harus menutup mata terhadap penindasan terbesar umat Islam di abad 21 ini, melainkan juga kini ia berusaha menghormati provinsi Cina yang berada di pusat episentrum anti-Cina.

Para orang tua siswa Pakistan yang anaknya tengah belajar di Wuhan, berunjuk rasa minta pemulangan anak-anak mereka

Bahkan jika Khan termotivasi oleh ancaman tersirat untuk memperlakukan orang-orang di wilayah Gilgit-Baltistan yang disengketakan seperti Cina memperlakukan orang-orang Muslim Xinjiang, itu sama sekali tidak memberikan penentangan atas kepemimpinan Beijing yang Islamophobia.

Pengabaian Cina terhadap para siswa Pakistan di Wuhan semakin mempermalukan Pakistan.  Hampir setiap negara lain–termasuk India, telah mengevakuasi warganya dari pusat virus corona, Wuhan. Sementara Imran Khan hanya menghabiskan banyak waktu untuk dirinya sendiri dengan bepergian ke luar negeri, bercengkerama dengan militer, bahkan ia telah membuat infrastruktur kesehatan publik Pakistan amburadul.

Khan tahu bahwa korupsi dan disorganisasi menegaskan bahwa karantina medis tidak akan berfungsi efektif di Pakistan. Itulah sebabnya ia berupaya menjaga mereka yang berpotensi terinfeksi tetap di luar negeri. Cina, sementara itu, tidak terlalu peduli pada orang Pakistan yang tetap berada di dalam wilayahnya. Menjadi orang Pakistan di zaman Imran Khan berarti menderita dalam keheningan di belakang antrean.

Sikap Pakistan yang makin anti-Amerika membuatnya kian mendekat ke Cina. Negeri itu telah membiarkan pembangunan jalan raya dan pelabuhan di Pakistan untuk kepentingan Cina dalam strategi OBOR mereka.

Sekarang, kenyataan harus ditetapkan: daripada menjaga kemerdekaan dan martabat Pakistan dengan mempermainkan Beijing dan Washington satu sama lain, pemerintah Pakistan telah semakin jatuh terperosok dalam genggaman Cina. Pakistan sama sekali tak berdaya untuk membela warganya, apalagi Muslim. Pakistan melihat dirinya sebagai kekuatan regional utama tetapi rangkaian fakta yang terjadi hanya menunjukkan bahwa Beijing menganggap Pakistan lebih rendah dari koloni bawahannya, yang dieksploitasi tetapi tidak didengar. Apalagi direken.  [NationalInterest]

Back to top button