Veritas

Di Tengah Menggilanya Covid-19, Bali Terancam Bencana Kelaparan

“Kami melihat banyak orang kelaparan dan belum makan selama beberapa hari karena tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Ribuan orang,” ujar Sarah Chapman dari Yayasan Solemen Indonesia, badan amal yang bekerja di seluruh Bali untuk membantu memberi makan para lansia, orang-orang difabel, dan keluarga orang difabel yang sebelumnya terbantu oleh para kerabat yang bekerja di bidang pariwisata.

JERNIH– Malnutrisi kronis yang telah lama menimpa masyarakat terpencil di tanjung timur terpencil Pulau Bali kian menggila akibat pandemi Covid-19. Gelombang baru kemiskinan akibat wabah yang muncul di daerah perkotaan, berbagai LSM saat ini menyatakan ribuan orang di pulau itu terancam kelaparan.

Dengan sekitar 60 persen produk domestik bruto terkait erat dengan pariwisata sebelum datangnya pandemi Covid, ekonomi Bali terpukul sangat parah. Bank Indonesia melaporkan pertumbuhan negatif sampai 11 persen untuk provinsi tersebut pada September 2020. Tingkat pengangguran naik menjadi 5,6 persen pada Agustus 2020, dengan 105.000 pekerjaan lenyap sebagaimana data Badan Pusat Statistik. Namun, dengan sekitar enam dari 10 orang Indonesia bekerja di sektor informal, menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), jumlah sebenarnya dari mereka yang kehilangan pekerjaan kemungkinan jauh lebih tinggi.

“Kami melihat banyak orang kelaparan dan belum makan selama beberapa hari karena tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Ribuan orang,” ujar Sarah Chapman dari Yayasan Solemen Indonesia, badan amal yang bekerja di seluruh Bali untuk membantu memberi makan para lansia, orang-orang difabel, dan keluarga orang difabel yang sebelumnya terbantu oleh para kerabat yang bekerja di bidang pariwisata.

Rekannya Robert Epstone menambahkan, “Malnutrisi kronis dan akut yang menyebabkan banyak isu lain telah menjadi masalah selama ini. Kami merawat 2.400 orang sebelum pandemi. Akan tetapi, fenomena itu semua menjadi jauh lebih buruk di seluruh Bali.”

Kabupaten Karangasem di bagian timur pulau adalah kabupaten termiskin di seluruh Bali. Separuh bagian utaranya menderita kekeringan menahun. Daerah itu tidak pernah menjadi bagian dari ledakan pariwisata yang menarik jutaan wisatawan ke belahan selatan Pulau Bali.

Banyak desa di sana tidak memiliki jalan raya, aliran listrik, sambungan telepon, maupun koneksi internet. Sebelumnya, penduduk desa bertahan dengan tanaman apa pun yang dapat mereka tanam di atas tanah yang gersang, serta uang kiriman anggota keluarga yang pindah ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan pariwisata dan bantuan.

Menurut DJ Denton, manajer proyek untuk Scholars of Sustenance Foundation Bali, badan amal yang telah mendistribusikan makanan ke desa-desa di Karangasem sejak Mei 2019, kelaparan sudah menjadi masalah signifikan di wilayah timur Bali jauh sebelum pandemi. “Kami sudah menghadapi banyak sekali kekurangan gizi di daerah terpencil di timur. Desa-desa dengan 15 ribu penduduk menunjukkan satu dari tiga orang kekurangan gizi, sampai-sampai hal itu menyebabkan cacat fisik,”kata Denton.

Kemiskinan karena Covid-19

Kemunculan pandemi COVID-19 berarti kelaparan di Bali tidak lagi terbatas di timur. Denton mengatakan, wabah virus telah menciptakan kelas baru orang-orang yang membutuhkan bantuan pangan di seluruh penjuru Bali. “Kami sedang menghadapi masalah baru yang kompleks, yakni orang miskin baru atau ‘miskin-karena Covid-19’, orang-orang kelas menengah yang sebelumnya memiliki pekerjaan dengan upah minimum yang mungkin terlihat baik-baik saja karena mereka memiliki sepatu baru atau sepeda motor, tetapi mereka sebenarnya sangat kekurangan,” ujar DJ Denton.

“Kami mencoba menilai kebutuhan mereka dengan mengirim relawan ke daerah kumuh perkotaan dan proyek hunian komunitas. Dalam keadaan yang ekstrem, para relawan menemukan orang-orang yang sudah tidak makan selama dua hari. Masyarakat miskin baru tidak dibekali keterampilan untuk mengatasi kemiskinan seperti masyarakat miskin lama di belahan timur yang telah bertahun-tahun menghadapi masalah gizi buruk. Beberapa di antaranya telah mengajukan permohonan bantuan makanan dan tidak menerimanya, kemudian mereka mulai berpikir bahwa mereka tidak layak mendapatkan bantuan. Ini menciptakan situasi kesehatan mental yang berbahaya.”

Seorang juru bicara Pemerintah Provinsi Bali membantah pernyataan tentang meningkatnya kelaparan. Menurut Pemprov Bali, ikatan masyarakat Bali yang erat di daerah pedesaan memastikan kesejahteraan semua orang terjaga dengan baik.

Menurut Legatum Prosperity Index 2019, Indonesia memiliki tingkat partisipasi sipil dan sosial tertinggi di dunia. Di Bali, banyak dapur umum dan pusat distribusi didirikan oleh restoran dan badan amal pada awal pandemi, sementara otoritas desa yang dikenal sebagai “Banjar” menyibukkan diri dengan mendistribusikan bingkisan makanan dari pintu ke pintu di komunitas mereka.

Namun, ketika pandemi telah berlanjut dan bantuan semakin berkurang, dapur umum menjadi jauh berkurang. Banyak orang Bali secara historis terabaikan dari layanan kesejahteraan berbasis masyarakat akibat hambatan isolasi geografis atau penyakit fisik dan mental.

Dalam kunjungan ke Bali timur pekan lalu, Al Jazeera melihat puluhan orang yang kekurangan gizi parah, termasuk pasangan lansia di Kabupaten Manggis di wilayah tenggara dengan tulang rusuk yang menonjol dan menderita beragam penyakit mulai dari kebutaan hingga atrofi otot.

Di Desa Amed, di pantai timur laut yang panas terik, sebuah keluarga di sebuah rumah yang terisolasi mengaku kepada Al Jazeera bahwa mereka belum makan apa pun selain nasi dengan garam selama berminggu-minggu.

Yayasan Team Action Amed memberikan bantuan kepada orang-orang yang paling kurang beruntung di daerah tersebut sejak 2017. Badan amal itu mencatat 50 kasus orang lumpuh, penderita diabetes, dan orang lanjut usia tanpa keluarga. Tahun ini, lima orang di antaranya telah meninggal. “Kematian mereka mungkin diperburuk oleh kekurangan makanan,”ujar juru bicara yayasan, Michele Yoga.

“Apakah orang Bali kelaparan? Jika Anda menyebut seseorang yang kurus kering dan tinggal tulang berbalut kulit menderita kelaparan, artinya kami melihat orang-orang tersebut sepanjang waktu. Namun, sekarang jauh lebih buruk karena siapa pun yang bergantung pada sanak saudara yang memiliki pekerjaan di bidang pariwisata tiba-tiba tidak lagi punya apa-apa.”

Kemunduran pariwisata

Banyak pekerja pariwisata yang menganggur di Pulau Bali beralih ke sektor pertanian demi menafkahi diri mereka sendiri selama pandemi Covid-19. Namun, dengan upah serendah kurang dari Rp 50 ribu sehari dan beberapa buruh hanya menerima pembayaran satu ember gabah untuk pekerjaan sehari-hari, uang yang didapatkan masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Di pulau di dekatnya Nusa Lembongan, di mana para pekerja perhotelan yang dirumahkan telah kembali kepada usaha pertanian rumput laut, para petani berpenghasilan hanya antara Rp 500 hingga Rp 700 ribu sebulan. “Tidak ada pekerjaan lain di sini sekarang. Tanpanya, saya mungkin tidak punya uang untuk makan,”kata Kasumba, mantan petugas pembelian hotel, mengeluh kepada Al Jazeera. “Saya berharap untuk kembali ke pekerjaan lama saya secepat mungkin.”[Al-Jazeera]

Back to top button