Veritas

Diam-diam Israel Buka Kesempatan Yahudi Beribadah di Masjid Al-Aqsa

Sejak 1967, Yordania dan Israel sepakat bahwa Wakaf atau pihak yang dipercaya dalam agama Islam akan memiliki kendali atas hal-hal di dalam kompleks tersebut. Sementara itu, Israel akan mengendalikan keamanan eksternal. Umat Non-Muslim akan diizinkan masuk ke situs selama jam berkunjung, tetapi tidak akan diizinkan untuk beribadah di sana.

JERNIH–​Pemerintah zionis Israel diam-diam mengizinkan umat Yahudi untuk beribadah di kompleks Masjid Al-Aqsa. Hal itu memicu kekhawatiran akan mengubah status quo di situs keagamaan yang dihormati itu.​

Pemerintah Israel mengizinkan umat Yahudi untuk melangsungkan ibadah di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki, yang juga dikenal oleh Yahudi sebagai Temple Mount itu. Langkah itu berisiko mengubah status quo situs tersebut, sebagaimana dilaporkan The New York Times.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Selasa (24/8) lalu, The New York Times menyebutkan Rabbi Yehudah Glick tidak melakukan “sedikit usaha untuk menyembunyikan ibadahnya” dan bahkan menyiarkannya secara langsung.

Wilayah itu berada di Kota Tua Yerusalem yang bertembok dan bagian dari wilayah yang direbut Israel dalam Perang Timur Tengah 1967. Israel menduduki Yerusalem Timur pada 1980 dalam langkah yang tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.

Sejak 1967, Yordania dan Israel sepakat bahwa Wakaf atau pihak yang dipercaya dalam agama Islam akan memiliki kendali atas hal-hal di dalam kompleks tersebut. Sementara itu, Israel akan mengendalikan keamanan eksternal. Umat Non-Muslim akan diizinkan masuk ke situs selama jam berkunjung, tetapi tidak akan diizinkan untuk beribadah di sana.

Menurut laporan The New York Times, Glick, mantan anggota parlemen sayap kanan Israel kelahiran Amerika Serikat, telah memimpin upaya untuk mengubah status quo kompleks tersebut selama beberapa dekade dan mengaku menganggap upayanya sebagai masalah “kebebasan beragama”.

Gerakan lainnya yang sedang bangkit seperti Temple Mount Faithful dan Temple Institute juga menentang larangan pemerintah Israel untuk mengizinkan orang Yahudi memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa.

Pengaturan formal yang disepakati oleh Yordania dan Israel adalah untuk menghindari konflik di titik panas tersebut.

Namun, pasukan Israel secara rutin mengizinkan kelompok pemukim Yahudi, beberapa di antaranya hingga ratusan orang, yang tinggal di wilayah Palestina yang diduduki untuk turun ke kompleks Al-Aqsa di bawah perlindungan polisi dan tentara. Hal itu jelas menimbulkan ketakutan Palestina akan pengambilalihan Israel.

Pada 2000, politikus Israel Ariel Sharon, sebelum menjadi perdana menteri, memasuki tempat suci tersebut ditemani oleh sekitar seribu polisi Israel. Masuknya Sharon ke kompleks itu memicu Intifada kedua, menewaskan lebih dari tiga ribu orang Palestina dan sekitar seribu orang Israel.

Pada 2017, pemerintah Israel memasang detektor logam di gerbang situs, yang menyebabkan konfrontasi besar antara Palestina dan pasukan Israel.

Pada Mei 2021, pasukan Israel menyerbu Masjid al-Aqsa beberapa kali, dengan eskalasi berikutnya yang mengarah pada serangan Israel selama 11 hari terhadap Jalur Gaza yang terkepung.

Menurut Glick, kebijakan tersebut mulai berubah di bawah masa jabatan mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang memimpin partai sayap kanan dan merupakan sekutu setia mantan Presiden AS Donald Trump.

Glick mengatakan, polisi mulai mengizinkan dia dan para sekutunya untuk beribadah di Kuil Gunung secara lebih terbuka lima tahun lalu. Jumlahnya telah “diam-diam meningkat”, meskipun kebijakan itu tidak pernah dipublikasikan secara luas untuk menghindari reaksi perlawanan.

Terlepas dari pengaturan yang telah ada, pada kenyataannya “puluhan orang Yahudi sekarang secara terbuka beribadah setiap hari di bagian terpencil dari sisi timur situs dan pengawalan polisi Israel mereka tidak lagi berusaha untuk menghentikan mereka”.

Israel telah membatasi masuknya warga Palestina ke kompleks itu melalui beberapa metode, termasuk tembok pemisah yang dibangun pada awal 2000-an, membatasi masuknya warga Palestina ke Israel dari Tepi Barat yang diduduki.

​Dari sekitar tiga juta warga Palestina di Tepi Barat, hanya orang-orang yang berusia tertentu yang diizinkan mengakses Yerusalem pada hari Jumat, sementara yang lain harus mengajukan izin yang sulit diperoleh dari otoritas Israel.

Pembatasan semacam itu sudah menyebabkan kebuntuan dan ketegangan serius di pos pemeriksaan antara Tepi Barat dan Yerusalem. Di sana, puluhan ribu orang harus melewati pemeriksaan keamanan untuk memasuki masjid dan beribadah. [The New York Times]

Back to top button