Emmanuel Macron, Islam Prancis, dan Penghapusan Visibilitas Muslim
- Pembunuhan Samuel Paty membuka semangat sebenarnya RUU anti-Separatisme yang diusung Emmanuel Macron.
- Sebanyak 50 organisasi Islam diberangus, termasuk CCIF untuk menghapus visibilitas Islam dari ruang publik.
- Kini, masyarakat sipil Muslim Prancis hidup dalam ketakutan.
Paris — Presiden Prancis Emmanuel Macron mengungkapkan semua kebenciannya terhadap Islam setelah pembunuhan seorang guru. Sejumlah negara bereaksi, mulai dari mengecam sampai memboikot produk Prancis.
Komentator politik mengaitkan komentar Macron yang mencerca Islam dengan banyak hal; RUU anti-separatisme, kinerja buruk pemerintahannya, kerusuhan sosial, dan ketidakstabilan ekonomi Prancis, serta peluangnya menghadapi Marine Le Pen — pemimpin sayap kanan Prancis — pada pemilihan umum 2022.
Pengamat lain cenderung hanya mengaitkan sikap Macron dengan pembunuhan Samuel Paty, guru yang memperlihatkan kartun Nabi Muhammad kepada muridnya.
Dr Farid Hafez, sarjana politik Universitas Salzburg dan peneliti senior non-residen The Bridge Initiative Universita Georgetown, punya penjelasan menarik. Menurutnya, Macron sebenarnya sedang membuka ‘rencana besar’-nya terhadap Islam.
Baca Juga:
— Kebencian PM Macron Terhadap Islam Picu Aksi Boikot Produk Prancis
— OKI Kecam Pidato Pejabat Prancis Kaitan Terorisme dengan Islam
— Paul Pogba Bantah Mundur dari Timnas Prancis
Dalam artikel The French state’s crackdown on its Muslims yang dipublikasikan Anadolu Agency, Dr Hafez berusaha mengingatkan publik akan pernyataan Macron enam bulan setelah dilantik. Saat itu, Macron berbicara tentang rencananya mengatur kembali Islam, merujuk pada hubungan Islam dengan negara.
Seperti negara Eropa lainnya, Macron berbicara tentang menciptakan Islam Prancis. Ia juga menyebut dua masalah khusus. Pertama, pembiayaan Islam. Kedua pelatihan imam di Prancis.
Untuk mencapai ini, umat Islam tidak boleh membiayai pemimpin agama mereka dengan mendatangkan dana dari luar negeri. Ini mengingatkan pada UU Islam Austria 2015, yang melarang pendanaan asing untuk personel keagamaan. Namun, larangan itu yang berlaku untuk umat Islam.
Setelah bertahun-tahun pemerintahan darurat, diikuti UU Anti-terorisme yang baru tahun 2017 — yang memberi kewenangan polisi menggeledah properti, penyadapan elektronik, dan menutup masjid yang dicurigai menyebarkan kebencian — kerusuhan sosial dan politik oleh rompi kuning, Macron kembali fokus pada Muslim di tengah gelombang kedua Covid-19 di Eropa.
Macron sering mengklarifikasi pemahamannya tentang Islam Prancis. Menurutnya, Islam Prancis adalah Islam tercerahkan, yang menarik Islam dari krisis-nya.
Dia juga secara terbuka mengatakan ingin mengurangi pengaruh negara-negara Arab, yang baginya mencegah Islam Prancis kembali ke modernitas.
Mendagri Prancis secara eksplisit merujuk pada proyek pembentukan ‘imam Republik Prancis, bukan imam negara asing. Ini dengan jelas mengungkapkan gagasan sekularisme Prancis, atau laicite.
Sekularisme Prancis bukan memisahkan negara dari lembaga agama, seperti di AS, tapi tentang mengendalikan agama. Bahkan lebih dari itu, yaitu tentang mendefinisikannya.
Artinya, tidak hanya akan ada sedemikian banyak kontrol pemerintah tapi bagaimana otoritas negara mengkooptasi personel agama. Perwujudkan sekularisme Prancis yang kontrakdiktif ini menunjukan karakter sebenarnya, ketika pimpinan tertinggi negara dan perwakilan aparat keamanan ikut campur dalam masalah keagamaan.
Pesan lain yang mendasari gagasan ini juga mengemuka, bahwa Muslim adalah ancaman bagi masyarakat Prancis yang harus dijinakan. Ini mengingatkan kita pada sejarah kolonialisme, yang menyebutkan bahwa Prancis datang untuk ‘memperadabkan’ bangsa taklukan.
Awalnya, Macron sedikit menyesuaikan wacana ketika mempresentasikan UU Anti-separatisme awal Oktober 2020 lalu. Ia berbicara tentang memperkuat sekularisme dan prinsip-prinsip republik. Publik diberi tahu bahwa RUU itu menargetkan Islam politik, dan dugaan upaya Muslim Prancis memisahkan diri dari masyarakat.
Yang terpenting, implikasi praktis dari RUU adalah penerapan kontrol terhadap asosiasi serta orang yang bekerja untuk layanan publik, terlepas mereka pegawai negeri atau bukan.
Setelah pembunuhan Samuel Paty, semangat sebenarnya RUU anti-Separatisme itu terungkap. Macron melakukan tindakan keras terhadap 50 organisasi Muslim, termasuk organisasi anti-rasis Collective Against Islamophobia in France (CCIF).
Bahkan tindakan terhadap CCIF menjadi contoh terbaik dari apa yang diinginkan Prancis dari RUU itu. CCIF mengumpulkan data untuk menciptakan kesadaran tentang rasisme anti-Muslim, dan membantu korban diskriminasi anti-Muslim. Pemberangusan CCIF mengungkapkan dimensi sangat mengkhawatirkan dari kebijakan Macron.
Gagasan sebenarnya Macron adalah menghapus total visibilitas Muslim dari ruang publik. Visibilitas Muslim adalah masalah, dan pembela mereka menjadi sasaran negara.
Pada akhirnya, masyarakat sipil Muslim di Prancis hidup dalam ketakutan.