
Peneliti Ekonomi GREAT Institute, Adrian Nalendra Perwira, menyampaikan bahwa kredibilitas anggaran negara tidak ditentukan oleh alarm politik atau retorika hiperbolik, melainkan oleh kualitas respons kebijakan yang disiplin, transparan, dan tidak kontraproduktif terhadap perekonomian. Dalam situasi fiskal yang dinamis, GREAT Institute menilai ketenangan membaca data dan konsistensi kebijakan menjadi kunci agar APBN tetap berfungsi sebagai instrumen stabilisasi, bukan sumber kecemasan publik.
JERNIH–GREAT Institute menilai kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 masih berada dalam koridor yang terkendali, meski tekanan pada penerimaan pajak jangka pendek terus menjadi sorotan publik. Lembaga ini mengingatkan agar dinamika penerimaan pajak dibaca secara proporsional dan berbasis data, bukan melalui narasi yang berlebihan.
Peneliti Ekonomi GREAT Institute, Adrian Nalendra Perwira, menyampaikan bahwa kredibilitas anggaran negara tidak ditentukan oleh alarm politik atau retorika hiperbolik, melainkan oleh kualitas respons kebijakan yang disiplin, transparan, dan tidak kontraproduktif terhadap perekonomian.
“Kekhawatiran terhadap pelebaran shortfall pajak itu wajar, tetapi harus disikapi secara tenang dan berbasis data,” kata Adrian, Selasa (16/12).
Menurutnya, pembacaan kinerja pajak tahun ini harus membedakan antara penurunan penerimaan pajak neto akibat melemahnya basis pajak dengan penurunan yang dipicu oleh lonjakan restitusi. Dua hal ini, kata dia, kerap tercampur dalam perdebatan publik sehingga menimbulkan kesimpulan yang keliru.
Adrian menegaskan bahwa restitusi pajak merupakan hak wajib pajak ketika terjadi kelebihan pembayaran. Dari sisi dunia usaha, restitusi justru berdampak positif terhadap arus kas dan likuiditas. Namun, dari sisi kas negara, lonjakan restitusi dapat menekan penerimaan pajak neto pada tahun berjalan.
Data GREAT Institute mencatat, nilai restitusi pajak hingga Oktober 2025 mencapai Rp340,52 triliun. Angka tersebut meningkat 36,4 persen secara tahunan. Adrian menjelaskan, lonjakan ini sebagian besar dipengaruhi oleh penyelesaian backlog restitusi yang tertunda pada periode sebelumnya, sehingga pembayarannya terkonsentrasi pada tahun 2025.
Selain penerimaan pajak, GREAT Institute juga mencermati posisi keseimbangan primer. Hingga Oktober 2025, keseimbangan primer tercatat defisit Rp45 triliun. Kondisi ini mencerminkan adanya tekanan pada ruang fiskal primer, seiring percepatan belanja pada paruh akhir tahun serta dinamika penerimaan non-bunga.
Meski demikian, Adrian menilai indikator-indikator tersebut masih berada dalam batas kewaspadaan dan belum menunjukkan adanya ketidaksinambungan fiskal. Defisit APBN secara keseluruhan hingga Oktober 2025 tercatat sebesar 2,02 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Dengan posisi defisit tersebut, disiplin fiskal masih terjaga,” kata Adrian.
Ia menekankan bahwa fokus kebijakan ke depan perlu diarahkan pada penguatan kepatuhan dan pengawasan berbasis risiko, pengendalian belanja yang tidak produktif, serta pengelolaan kas negara yang lebih prudent. Langkah-langkah ini dinilai penting agar proses konsolidasi fiskal tetap berjalan sesuai rencana.
GREAT Institute menyimpulkan bahwa fundamental APBN 2025 masih relatif solid. Namun, tekanan penerimaan jangka pendek tetap memerlukan mitigasi yang serius dan terukur. Lembaga ini mendorong pemerintah untuk mempercepat integrasi data lintas instansi, meningkatkan intensifikasi pajak berbasis data, serta memperbaiki tata kelola restitusi agar tidak menumpuk dan mengaburkan pembacaan kinerja penerimaan pajak neto.
Dalam situasi fiskal yang dinamis, GREAT Institute menilai ketenangan membaca data dan konsistensi kebijakan menjadi kunci agar APBN tetap berfungsi sebagai instrumen stabilisasi, bukan sumber kecemasan publik. [ ]






