
Paparan lebih teknis disampaikan Prof. Perdana Wahyu Santosa, guru besar FEB Universitas YARSI. Ia menyiapkan peta jalan dari 2025 hingga 2030. Tahun 2025 disebutnya sebagai fase konsolidasi pasca Pemilu, dengan target pertumbuhan 5,3–5,5 persen. dengan 2028 ditandai munculnya momentum pertumbuhan struktural menuju 6,7 persen. Pada 2029 diharapkan menjadi loncatan besar, membawa pertumbuhan ke atas 7 persen. “Pada 2030, PDB per kapita Indonesia bisa menembus lebih dari USD 7.500, dan pertumbuhan mencapai 7,8–8 persen,” kata Prof Perdana.
JERNIH– “Pertumbuhan tanpa pemerataan tidak ada gunanya.” Kalimat Dr. Syahganda Nainggolan itu membuka diskusi panjang di Bidakara, Jakarta. Forum Great Lecture bertema “Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan Inklusif Menuju 8 Persen” yang digelar Great Institute bekerja sama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyodorkan ambisi besar: keluar dari jebakan pendapatan menengah sekaligus memastikan rakyat kecil ikut merasakan hasil pertumbuhan.
Syahganda, ketua Dewan Direktur GREAT Institute, menegaskan bahwa tugas Menteri Keuangan kali ini tidak boleh berhenti di menara gading. “Semua media memberikan komentar positif untuk Menkeu,” katanya, merujuk pada euforia awal publik terhadap Purbaya Yudhi Sadewa. Ia menambahkan, Purbaya adalah murid langsung ekonom pemenang Nobel Paul Romer. Itu sebabnya, ia yakin industrialisasi Indonesia akan kembali ke relnya. “Namun jangan hanya mengejar angka. Yang lebih penting adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi itu langsung dirasakan masyarakat. Itulah perlunya growth through equity,” ujar Syahganda.

Mesin Ganda Perekonomian
Menteri Keuangan Purbaya datang sebagai pembicara kunci. Ia mengingatkan bahwa sejak Reformasi 1998, ekonomi Indonesia sulit lepas dari angka lima persen. “Ada fenomena middle income trap. Untuk keluar, kita perlu pertumbuhan konsisten lebih tinggi,” kata Menkeu.
Menurut Purbaya, kekuatan domestic demand Indonesia mencapai 90 persen, modal yang jarang dimiliki negara lain. Dengan pengelolaan fiskal yang sehat dan kebijakan yang berpihak, angka 6–6,5 persen dapat dicapai. “Di era SBY, saat hanya mesin swasta yang bergerak, ekonomi tumbuh enam persen. Di era Jokowi, ketika hanya mesin negara yang berjalan, kita hanya lima persen. Ke depan, dengan menggerakkan keduanya—mesin negara dan mesin swasta—kita optimistis bisa mencapai delapan persen,” ujarnya.
Ia juga menyinggung program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menurutnya bukan sekadar bagi-bagi makanan melainkan instrumen stabilitas politik dan ekonomi. “MBG menjamin stabilitas yang dinamis,” katanya.
Timeline Pertumbuhan 8 Persen
Paparan lebih teknis disampaikan Prof. Perdana Wahyu Santosa, Guru Besar FEB Universitas YARSI. Ia menyiapkan peta jalan dari 2025 hingga 2030. Tahun 2025 disebutnya sebagai fase konsolidasi pasca Pemilu, dengan target pertumbuhan 5,3–5,5 persen. Pada 2026, strategi rebalancing akan menaikkan pertumbuhan ke kisaran 5,5–5,8 persen. Tahun 2027 mulai akselerasi industrialisasi dengan target 6 persen, sementara pada 2028 muncul momentum pertumbuhan struktural menuju 6,7 persen. Tahun 2029 diharapkan menjadi loncatan besar, membawa pertumbuhan ke atas 7 persen. “Pada 2030, PDB per kapita Indonesia bisa menembus lebih dari USD 7.500, dan pertumbuhan mencapai 7,8–8 persen,” kata Prof Perdana.
Ia mengingatkan bahwa semua itu hanya mungkin bila ada konsistensi politik lintas rezim dan reformasi birokrasi. “Tanpa keduanya, seluruh desain akan tinggal retorika,” kata dia. Prof Perdana juga menekankan konsep trust-led growth: kepercayaan publik terhadap sistem keuangan formal sebagai syarat mutlak.
Nada optimisme juga datang dari Dr. Mukhamad Misbakhun, ketua Komisi XI DPR RI. “Indonesia pernah mencapai 7, 8, bahkan 9 persen, padahal APBN kita waktu itu tidak besar,” ujarnya. Baginya, 8 persen bukan utopia. “Fiskal bisa dorong ke 5 persen, moneter bisa tambah 3 persen. Jadi 8 persen sangat mungkin,” kata Misbakhun.
Namun Misbakhun memberi catatan: BUMN harus kembali pada peran konstitusionalnya sebagai agent of development. “Dari semua BUMN, hanya 8–12 yang memberi setoran besar. Kita perlu menata ulang perannya. Jangan berharap hasil berbeda dari cara dan orang yang sama,” ujar dia. Ia menambahkan, kunci ada pada koordinasi antara otoritas fiskal, moneter, dan Komisi XI DPR sebagai ruang orkestrasi kebijakan.
Lebih jauh, Dr. Tito Sulistyo, ketua Komite Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, mengingatkan risiko besar yang mengintai: kedaulatan energi dan moneter. “Ada dua hal yang harus diwaspadai: sovereignty risks dalam sisi energi dan moneter,” kata Tito.
Ia mengangkat gagasan Wowonomics, semangat Merah Putih yang fokus pada kesejahteraan masyarakat. Tito menyebut, bila BUMN bersih, swasta kuat, dan koperasi bangkit sesuai visi Presiden Prabowo, multiplier effect akan luar biasa. Ia mencontohkan program MBG di desa dengan anggaran Rp3.600 triliun. “Multiplier effect-nya bisa tiga kali lipat,” ujar Tito.
Namun ia juga memberi peringatan: instrumen seperti Danantara, pengelola aset idle negara, harus disosialisasikan secara terbuka agar publik percaya. Transparansi, katanya, adalah syarat legitimasi.

Catatan Kritis dari Peserta
Forum Bidakara bukan hanya diisi pejabat. Sejumlah tokoh publik hadir, dari mantan Menkeu Fuad Bawazier, politisi Ferry Juliantono, hingga intelektual Rocky Gerung. Diskusi pun melebar. Jumhur Hidayat menyoal bunga bank. “Bagaimana caranya agar perbankan kita tidak seperti rentenir dengan bunga 4–5 persen?” tanya Jumhur.
Tito menjawab dengan sederhana: rating negara. “Kalau rating naik, bunga kita turun,” ujarnya. Sebuah jawaban teknis, tapi menyiratkan bahwa perjalanan menuju 8 persen bukan hanya soal tekad, melainkan juga reputasi di mata global.
Diskusi di Bidakara pada akhirnya mempertemukan keyakinan dan keraguan. Keyakinan bahwa mesin ganda—negara dan swasta—bisa mendorong pertumbuhan tinggi. Keraguan bahwa birokrasi dan politik bisa kembali menjadi rem yang tak terlihat.
Seperti ditulis John Maynard Keynes, “Instrumen fiskal adalah kunci untuk mengarahkan perekonomian menuju stabilitas. Namun, instrumen itu tidak akan efektif tanpa dukungan masyarakat.”
Di forum itu, gema kalimat Keynes seolah menjadi pengingat: jalan menuju 8 persen bukan sekadar soal angka, melainkan keberanian politik, reformasi birokrasi, dan kesediaan untuk menjadikan pertumbuhan sebagai milik semua orang—bukan hanya segelintir. [ ]