Hoaks Soal Klorokuin Bisa Semematikan Virus Corona
Centre for Mathematical Modelling of Infectious Diseases yang berbasis di London memperkirakan hal yang buruk tentang penularan yang terjadi di Indonesia
MEDAN, South China Morning Post—Seiring pernyataan Presiden Trump dan Presiden Joko Widodo soal klorokuin, membuat permintaannya meroket tinggi. Namun menurut para ahli, efektivitasnya untuk menyembuhkan penyakit akibat Covid-19 belum terbukti, sementara di tangan yang salah obat itu bisa berakibat fatal.
Sejak wabah virus corona merebak, banyak pelanggan datang ke Apotek Iskandar Muda di Medan. Mereka datang mencari cara untuk menjaga diri dan orang yang mereka cintai tetap aman. Awalnya mereka meminta masker, hand sanitizer, lalu selalu saja akhirnay bertanya persediaan klorokuin. Dalam dua hari terakhi, pelanggan datang berbondong-bondong untuk mencari chloroquine, obat yang berasal dari kina dan biasanya digunakan untuk mengobati malaria.
“Awalnya kami bingung mengapa orang menginginkannya. Kemudian kami melihat bahwa Presiden Jokowi telah mengumumkan bahwa itu adalah pengobatan yang mungkin untuk Covid-19,”kata apoteker apotek tersebut, Maria. “Itu semua masuk akal.”
Pada 23 Maret, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa Indonesia telah memesan tiga juta tablet klorokuin. Chloroquine berasal dari pohon cinchona yang tumbuh luas di seluruh Indonesia. “Tidak ada obat atau antivirus untuk Covid-19, tetapi menarik pengalaman dari negara lain, klorokuin dapat digunakan untuk membantu pasien pulih dari penyakit,” kata Presiden Jokowi. Dia menambahkan bahwa tablet itu akan didistribusikan kepada pasien melalui rumah sakit.
Tidak ada chloroquine di Apotek Iskandar Muda, meskipun Maria melaporkan ada sampai 50-an pelanggan dalam sehari mencoba mencarinya. Tetapi angka-angka statistik yang semakin suram telah mendorong naiknya permintaan.
Pada hari Rabu, Indonesia telah melaporkan 790 infeksi, 58 kematian dan 31 pemulihan. Namun, penelitian minggu ini menunjukkan angka sebenarnya bisa jauh lebih buruk. Centre for Mathematical Modelling of Infectious Diseases yang berbasis di London memperkirakan sedikitnya dua persen dari infeksi di Indonesia telah dilaporkan. Artinya, jumlah sebenarnya bisa jadi ada 34.300, lebih banyak dari Iran. Pemodel lain telah memproyeksikan skenario terburuk yakni adaya 5 juta kasus di ibu kota Jakarta, pada akhir April.
Geografi Indonesia dapat memperburuk keadaan. Sistem perawatan kesehatannya sangat terdesentralisasi, mengingat bahwa ia adalah negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dengan 260 juta orang, dan sudah di bawah tekanan dengan kekurangan staf, tempat tidur dan peralatan pelindung.
Harapan Presiden Trump
Presiden Joko Widodo tidak sendirian memuji klorokuin. Presiden AS Donald Trump juga secara rutin menggembar-gemborkannya di media sosial dan dalam konferensi pers, meskipun ada bukti komprehensif bahwa itu efektif terhadap virus corona.
Faktanya, sebuah penelitian oleh Journal of Zhejiang University di China menemukan klorokuin dan obat sejenisnya, hydroxychloroquine, tidak banyak berpengaruh pada coronavirus. Dalam penelitiannya terhadap 30 pasien coronavirus, 15 diberikan hydroxychloroquine dan 15 menerima pengobatan konvensional seperti oksigen dan bed rest. Dari 15 yang diberikan obat, 13 masih saja menderita akibat virus dalam waktu seminggu berikutnya. Dari 15 yang diberikan pengobatan standar, 14 pulih dalam seminggu, sementara satu pasien tetap terinfeksi.
Memang penelitian dalam skala sekecil itu tidak dapat dianggap definitif dengan cara apa pun. Tetapi bahkan orang dalam Gedung Putih pun skeptis dengan manfaat kedua obat itu dalam mengobati virus corona. Anggota gugus tugas Coronavirus Anthony Fauci mengatakan, bukti sejauh ini tentang keduanya obat itu hanyalah ‘anekdot’.
Meski begitu, uji coba obat-obatan telah dimulai di New York dan ahli kesehatan masyarakat di Prancis sedang mempertimbangkan untuk menggunakannya untuk pasien yang sangat sakit. Delapan ratus orang mengambil bagian dalam uji coba, sebagai bagian dari inisiatif yang lebih luas di seluruh Eropa yang melibatkan 3.200 pasien.
Sementara itu, ketika permintaan potensial melonjak di seluruh dunia, dengan cepat India melarang ekspor hydroxychloroquine pada 25 Maret ini.
Lebih berbahaya daripada baik
Problem kemunculan chloroquine yang tiba-tiba terkenal adalah bahwa sementara semua itu masih belum jelas, yang sudah jelas (obat itu) dapat menyebabkan lebih banyak bahaya daripada kebaikan jika orang membeli obat dan melakukan pengobatan sendiri. Ada laporan keracunan di Nigeria dan Amerika Serikat, di mana satu orang di Arizona meninggal pada 24 Maret setelah menelan klorokuin fosfat, yang juga digunakan untuk membersihkan akuarium dan kolam ikan. Efek samping chloroquine termasuk menimbulkan masalah pada ritme jantung, tekanan darah rendah yang berbahaya dan kerusakan pada otot dan syaraf tubuh.
Dr Corona Rintawan, seorang dokter yang sekarang menjadi kepala satuan tugas Muhammadiyah untuk Corona, mengatakan pengobatan sendiri dengan klorokuin hampir merupakan kekhawatiran yang lebih besar daripada virus itu sendiri. “Saya khawatir orang-orang justru ‘meracuni’ diri mereka sendiri, demikian pula dokter-dokter lain berpendapat,” kata Corona. “Saya pikir pemerintah harus memiliki peraturan tentang pembelian klorokuin dan menerapkannya. Selama ada toko online yang menjual chloroquine, orang akan dapat memesannya dengan bebas.”
Sejumlah penjual obat telah muncul secara online dalam beberapa hari terakhir, membuat adanya peraturan menjadi sebuah tantangan. Irna Minauli, seorang psikolog yang berbasis di Medan, mengatakan akan sulit menghentikan orang untuk mencoba mencari klorokuin melalui segala cara yang mungkin.
“Jika kita melihat teori model pembelajaran perwakilan, orang belajar dengan apa yang mereka lihat dilakukan orang lain. Jadi, jika mereka mendapatkan informasi tentang obat yang dapat membantu mereka dan melihat atau mendengar orang yang mencoba membelinya, mereka akan melakukan hal yang sama, ”katanya.
Disinformasi
Menurut Santi Indra Astuti, seorang dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Kepala Departemen Penelitian Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo), sebuah organisasi swadaya masyarakat pemeriksa fakta di Indonesia, informasi—atau justru disinformasi, tentang klorokuin telah menyebar dengan cepat di media sosial Indonesia.
“Saat ini kami telah menemukan bahwa hoaks tentang coronavirus menyebar secara masif,” katanya. “Dari segi kuantitas, ini luar biasa. Kami telah mengumpulkan data tentang hoaks Covid-19 sejak Januari, dan data terbaru menunjukkan bahwa jumlahnya telah meningkat menjadi 201 dalam delapan pekan.”
Mafindo memiliki sukarelawan pemeriksa fakta di 18 kota di seluruh Indonesia yang telah melakukan pemetaan data hoaks Covid-19 dan menyusun sumber daya online untuk menangkalnya. Santi mengatakan, disinformasi chloroquine telah menjadi masalah baru dalam beberapa hari terakhir. “Kami menemukan bahwa informasi tentang chloroquine telah menyebar, sebagian besar melalui WhatsApp. Menjadi keprihatinan kami bahwa dokter atau siapa pun yang dikutip dalam pesan belum terbukti sebagai sumber yang dapat diandalkan. Wacana tentang chloroquine sendiri masih berlangsung, jadi kami mengumpulkan informasi tentang itu dan menerbitkannya sehingga orang tahu apa yang sedang terjadi. Secara keseluruhan, pemeriksa fakta kami melaporkan bahwa hoaks mengenai pengobatan alternatif, herbal atau obat-obatan telah meningkat selama seminggu terakhir ini. ”
Ketika ditanya bagaimana otoritas kesehatan Indonesia dapat memastikan bahwa komentar terakhir Presiden tidak memicu rantai pembelian klorokuin ilegal, Corona mengatakan bahwa mereka perlu, “Mengeluarkan pernyataan bahwa orang tidak boleh membelinya melalui media.”
Ini pula yang digaungkan Santi, yang mengatakan Mafindo telah “menerima panggilan untuk kolaborasi dari pemerintah daerah dan pusat, serta lembaga terkait seperti unit kesehatan, kelompok agama dan asosiasi profesional untuk berbagi informasi dan strategi pengecekan fakta”. “Karena situasi di Indonesia semakin buruk, kita perlu memeranginya secara online,”kata dia.
[Aisyah Llewellyn / South China Morning Post]