Inilah Latar Belakang Brenton Tarrant Menyerang Masjid Christchurch
Tercetak di senjatanya nama-nama sejumlah tokoh militer bersejarah. Banyak di antara nama-nama itu orang Eropa yang terlibat dalam Perang Salib atau dalam memerangi pasukan Utsmaniyah pada abad ke-15 dan ke-16.
JERNIH– Penyerang jamaah masjid di Christchurch, Selandia Baru, Brenton Tarrant, kini resmi menjadi terpidana teroris pertama yang dipenjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat. Bagaimana proses beracun yang membuatnya jadi ekstremis dan jaat?
Tidak ada riwayat kriminal dari pria bersenjata yang menyerang masjid Christchurch, yang pindah ke Selandia Baru dari Australia pada tahun 2017 itu. Ia pun tak tertera dalam daftar pengawasan keamanan.
Brenton Tarrant yang berusia 29 tahun sekarang tercatat sejarah sebagai terpidana teroris pertama di Selandia Baru, dan orang pertama di negara itu yang pernah dihukum penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
Lahir di kota Grafton, di kawasan perdesaan Australia, enam jam berkendara ke utara Sydney, Tarrant bekerja sebagai instruktur pusat kebugaran sebelum pindah ke Selandia Baru.
AFP menulis, baru kemudian hari terungkap bahwa Tarrant mulai mengumpulkan senjata segera setelah mendirikan rumah di kawasan Dunedin dengan tujuan melakukan kekejaman terhadap komunitas Muslim di Selandia Baru.
Setelah persiapan yang cermat, rencana tersebut berakhir dengan insiden mengerikan pada 15 Maret tahun lalu, ketika Tarrant menyerang dua masjid di Christchurch, sambil menyiarkan secara langsung peristiwa tersebut saat itu terjadi via video.
“Dia bermaksud untuk menanamkan rasa takut kepada orang-orang yang dia gambarkan sebagai ‘penjajah’, termasuk populasi Muslim atau lebih umumnya imigran non-Eropa,” kata Jaksa Barnaby Hawes dalam sidang di Pengadilan Tinggi Christchurch, pekan ini.
Dari mantan teman dan koleganya, kini terbuka lebih banyak tentang latar belakang Tarrant. Ia dikenal sebagai sosok penyendiri yang canggung dan menjadi pecandu pusat kebugaran karena kerap dicemooh sebagai remaja yang kelebihan berat badan. Singkatnya, masa remajanya dilalui sebagai anak buly-an.
Dia tampaknya sangat terpukul ketika ayahnya meninggal dunia karena kanker pada tahun 2010, pada usia muda, 49 tahun. Namun tiada yang bisa menjelaskan apa yang menyulut kebencian membara di balik kejahatan Tarrant.
Proses menuju radikal
Dalam “manifesto” bertele-tele yang diunggah sebelum pembantaian, Tarrant menjelaskan tentang proses menjalanai radikalisasi selama perjalanan ke Eropa dan Asia, yang tampaknya dibiayai oleh warisan, sehingga dia tidak harus bekerja.
Aspek luar biasa dari kepribadian Tarrant tampaknya adalah kerentanannya terhadap kebencian di online dan pada akhirnya, kesediaannya untuk membagikan aksi pembunuhannya di media sosial melalui kamera GoPro yang dipasang di helm.
Semakin terisolasi di dunia nyata, Tarrant berkecimpung di ruang-ruang obrolan ekstremis, berbagi meme dan lelucon bernada rasis dengan kenalannya di online yang mendorong pandangannya lebih ekstrem lagi.
Jaksa Mark Zarifeh, mengutip wawancara yang dilakukan otoritas penjara dengan Tarrant pada bulan April, ketika dia menggambarkan bagaimana keadaan pikirannya pada saat penyerangan.
“Dia mengatakan dia memiliki kondisi emosi yang beracun dan sangat tidak bahagia,” kata Zarifeh. “Dia merasa dikucilkan oleh masyarakat dan ingin merusak masyarakat sebagai tindakan balas dendam.”
Beberapa menit sebelum pembantaian itu, Tarrant mengirim pesan ke situs web ekstremis 8Chan yang sekarang sudah tidak lagi eksis, dengan mengatakan bahwa ini adalah “waktunya untuk membuat unggahan di online dalam upaya di kehidupan nyata”.
Tercetak di senjatanya nama-nama sejumlah tokoh militer bersejarah. Banyak di antara nama-nama itu adalah orang Eropa yang terlibat dalam Perang Salib atau dalam memerangi pasukan Utsmaniyah pada abad ke-15 dan ke-16.
Di pengadilan, Mirwais Waziri, yang selamat dari tembakan peluru di leher, menusuk ilusi yang mungkin dimiliki Tarrant dalam membesar-besarkan diri menjadi semacam pejuang rasial dalam misi sejarah. Dia mengingatkan Tarrant bahwa korban tewas termuda dalam serangannya terhadap pria, perempuan dan anak-anak yang tak bersenjata adalah Mucaad Ibrahim yang berusia tiga tahun. Bocah itu ditembak dua kali sambil berpegangan pada kaki ayahnya untuk mencari perlindungan.
“Dia tidak memiliki agama, keyakinan atau warna kulit. Dia tidak tahu apa-apa tentang hal itu,” kata Waziri. “Bagaimana Anda akan menjawab bahwa … bagaimana Anda akan menghadap Tuhan pada hari penghakiman dan menjawab bagaimana dan mengapa Anda membunuh anak laki-laki berusia tiga tahun?”
Tarrant, terlepas dari gertakan yang terkandung dalam manifesto sebelum pembantaian, tidak dapat menemukan kata-kata untuk mencoba membenarkan dirinya sendiri, atau mengungkapkan penyesalan, dan dia melepaskan haknya untuk berbicara di persidangan.
Terlihat lebih kurus daripada di pengadilan sehari setelah serangan, dia tetap diam dan patuh saat sipir membawanya pergi untuk menjalani hukuman seumur hidup. [Deutsche Welle]