PersonaVeritas

Jus Soema di Pradja: Perjalanan 78 Tahun Jurnalis yang Menolak Tunduk

Dalam buku tersebut, Aendra Medita tidak hanya mengisahkan perjalanan karier Jus, tetapi juga menyoroti idealisme dan prinsip yang dipegang teguh olehnya. Jus dikenal sebagai sosok yang keras kepala dalam mempertahankan integritas jurnalistik. Rekan seangkatannya, Rum Ali, pernah menulis bahwa Jus digelari oleh Mochtar Lubis sebagai “Tokoh Kebebasan Pers”.

JERNIH– Pada 14 Februari 2025, di MULA Galeria Citos, Jakarta Selatan, suasana penuh kehangatan dan nostalgia menyelimuti perayaan ulang tahun ke-78 Jus Soema di Pradja. Tidak hanya merayakan hari lahir seorang jurnalis legendaris, pada saat itu digelar juga peluncuran buku “Jus Soema di Pradja, Sang Jurnalis Pembakar Semangat” karya Aendra Medita.

Buku yang menggali perjalanan hidup dan karier Jus itu menyoroti perannya sebagai wartawan yang tak gentar menyuarakan kebenaran di tengah tekanan rezim. Jus Soema di Pradja, putra dari Mr. Ma’mun Soema di Pradja—Menteri Dalam Negeri Negara Pasundan pada era Soekarno—memulai karier jurnalistiknya di harian Indonesia Raya pada tahun 1970.

Di bawah pimpinan alm Mochtar Lubis, Indonesia Raya dikenal tajam dalam mengungkap kasus-kasus korupsi, termasuk skandal besar di Pertamina yang melibatkan Ibnu Sutowo. Keberanian redaksi dalam mengangkat isu-isu sensitif membuat surat kabar ini disegani, namun juga rentan terhadap tekanan pemerintah.

Setelah penutupan Indonesia Raya pasca peristiwa Malari 1974, Jus bergabung dengan Kompas pada tahun 1976. Namun, masa baktinya di sana tidak berlangsung lama. Pada 13 Februari 1978, Jus mengajukan pengunduran diri sebagai bentuk protes terhadap keputusan pimpinan Kompas yang menandatangani pernyataan dengan pemerintah pasca pembredelan surat kabar tersebut. Dalam suratnya kepada Pemimpin Redaksi Kompas, Jacob Oetama, Jus menulis:

“Setiap penutupan surat kabar oleh pemerintah tentu menimbulkan rasa prihatin dalam diri setiap wartawan yang mencintai profesinya… Akan tetapi keprihatinan yang lebih mendalam dengan ditutupnya surat kabar Kompas baru-baru ini.”

Keputusan Jus untuk mundur didorong oleh keyakinannya bahwa penandatanganan pernyataan tersebut mengancam kebebasan pers dan integritas jurnalistik. Ia merasa bahwa kompromi semacam itu mengikis landasan pers yang bebas dan bertanggung jawab. Setelah keluar dari Kompas, Jus memilih jalur independen sebagai jurnalis lepas, terus mengamati dan mengkritisi perkembangan pers dan politik di Indonesia.

Peluncuran buku “Jus Soema di Pradja, Sang Jurnalis Pembakar Semangat” dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Chaidir Makarim, Zacky Anwar Makarim, dr. Gumilar Kartasasmita, Rum Aly, Sri Bintang Pamungkas, Andi Sahrandi, Syahganda Nainggolan, Dr. Memet Hakim, Paskah Irianto, Adhie Massardi, Uten Sutendy, Albert Kuhon, Hersubeno Arief, Nasihin Masha, Tjahja Gunawan, dan Pryantono Oemar. Kehadiran mereka mencerminkan penghargaan dan pengakuan atas kontribusi Jus dalam dunia jurnalistik dan aktivisme di Indonesia.

Dalam buku tersebut, Aendra Medita tidak hanya mengisahkan perjalanan karier Jus, tetapi juga menyoroti idealisme dan prinsip yang dipegang teguh olehnya. Jus dikenal sebagai sosok yang keras kepala dalam mempertahankan integritas jurnalistik. Rekan seangkatannya, Rum Ali, pernah menulis bahwa Jus digelari oleh Mochtar Lubis sebagai “Tokoh Kebebasan Pers”. Namun, sayangnya, banyak bukti penting tentang sejarah pers Indonesia masa lalu tidak pernah terpublikasikan secara luas, seolah terkubur oleh waktu.

Selain kiprahnya di dunia jurnalistik, Jus juga aktif dalam berbagai diskusi publik dan podcast, menyuarakan pandangannya tentang kondisi pers dan politik saat ini. Ia sering mengkritisi media mainstream yang dianggapnya telah kehilangan arah dan lebih memilih bermain aman.

Dalam sebuah wawancara, Jus menyatakan, “Pers sekarang diberi kebebasan yang sangat luas, tapi tidak paham apa itu kebebasan. Mereka gagap.”

Buku ini diharapkan menjadi referensi penting bagi jurnalis muda tentang idealisme dan perjuangan di dunia media. Melalui kisah hidup Jus Soema di Pradja, pembaca diajak merenungkan kembali esensi dari kebebasan pers dan tanggung jawab moral seorang jurnalis dalam menyuarakan kebenaran, meski harus berhadapan dengan risiko dan tekanan.

Perjalanan hidup Jus Soema di Pradja adalah cerminan dari semangat pantang menyerah dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan integritas jurnalistik. Dedikasinya menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus menjaga api semangat dalam dunia pers, memastikan bahwa kebenaran selalu memiliki suara, meski di tengah badai tekanan dan ancaman. [jk]

Back to top button