Kelompok Supremasi Kulit Putih Kian Menjejali Kampus Amerika
Menurut Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) Christopher Wray, ekstremisme brutal yang dimotivasi oleh sentiment ras kini menjadi ‘prioritas ancaman nasional’ yang setara dengan organisasi teroris seperti ISIS
NEW YORK— Keberadaan Amerika Serikat sebagai melting pot tempat segala budaya, ras dan kebangsaan bisa bercampur dengan harmoni, tampaknya akan kian terhapuskan rasa kebencian dan sikap besar diri yang kian meluas. Berbagai kelompok supremasi kulit putih, skin-head dan semacamnya, saat ini tengah bergulung membesar di negara Abang Sam tersebut.
Dalam sebuah laporan yang ditulis wartawan desk nasional The New York Times, Adeel Hassan, awal pekan ini, kampus-kampus di AS kian terpapar ide-ide ‘kuno’ yang sebenarnya anti-intelektual tersebut. “Mereka sebenarnya hal-hal biasa dan pokok di kampus,” tulis Adeel. “Selebaran, poster dan stiker yang mempromosikan klub, pertemuan dan rapat kegiatan mahasiswa, serta pesta.”
“Dari kejauhan, mereka terlihat tidak berbahaya–dan kebanyakan memang begitu. Tetapi setelah diperiksa lebih dekat, semakin banyak selebaran, pamflet yang datang dari kelompok yang mempromosikan propaganda supremasi kulit putih.” Adeel menulis bahwa poster-poster seperti “Amerika Bukan untuk Dijual”, “Satu Bangsa Menentang Invasi” dan “Kembalikan Amerika!” menjadi poster yang kian gampang ditemukan di kampus sehari-hari.
Distribusi propaganda semacam itu di kampus-kampus dan universitas AS melonjak hampir dua kali lipat dari tahun lalu. Tercatat ada 630 insiden yang dilaporkan selama 2019 lalu, dari 320 kasus pada 2018, menurut Liga Anti-Pencemaran Nama Baik yang melaporkan dan merilisnya Rabu (12/2) lalu. “Ada 410 insiden yang dilaporkan pada semester musim gugur,” kata Adeel. Itu lebih dari dua kali lipat dibanding masa kuliah yang sama pada tahun sebelumnya.
Liga Anti-Pencemaran Nama Baik menghubungkan sebagian dari peningkatan tersebut dengan kewaspadaan yang lebih besar dari mereka yang melaporkan propaganda. “Ini semua adalah titik fokus dan titik masuk kepada gerakan supremasi kulit putih yang lebih luas,” kata Oren Segal, wakil presiden Anti-Defamation League Centre on Extremism. “Kita perlu memahami bahwa ada hubungan ideologis, dari sepotong propaganda di kampus-kampus ini dengan serangan di komunitas kita.”
Proliferasi alias perkembangan propaganda rasis itu dapat ditelusuri pada kampanye dan unjuk rasa supremasi kulit putih di Charlottesville, Negara Bagian Virginia.
“Pada 2017 lalu, gerakan itu mulai merenggut nyawa, seorang pria dari kelompok supremasi kulit putih menabrakkan kendaraan roda empat yang dikemudikannya, menyerang kerumunan unjuk rasa yang meng-counter demonstrasi pro-supremasi kulit putih tersebut,” kata Brian Levin, direktur Center for the Study of Hate and Extremism pada California State University, San Bernardino.
Menurut Levin, setelah itu memang organisasi-organisasi rasialis itu sempat sempoyongan dan terguncang akibat pemberitaan yang merugikan mereka sendiri. “Setelah Charlottesville, organisasi-organisasi supremasi kulit putih terpecah-pecah secara organisasi karena publisitas yang merugikan, dan aneka masalah hukum,”kata Levin. Menurut dia, setelah itu mereka kian massif menggunakan poster, pamflet dan stiker untuk mewakili kepentingan mereka. Cara itu secara ekonomis memang megurangi pengeluaran. “Itu memungkinkan mereka terus ‘mengaduk panci’, tetapi dengan risiko ditangkap yang lebih kecil.”
Namun beberapa kelompok alt-right masih melakukan protes-protes terbuka, sementara sebagian besar mereka meningkatkan aktivitas internet mereka. Yang lainnya lagi bergeser menjadi gerakan bawah tanah, menggunakan platform online terenkripsi yang lebih kecil cakupannya.
Levin mengatakan, propaganda supremasi kulit putih tersebut berjalin kelindan dengan berbagai isu seputar anti-imigrasi dan anti-imigran, sembari meminta dukungan kalangan kulit putih yang ‘dirugikan’ terutama mereka yang berada di kampus-kampus.
Data Anti-Defamation League bahkan menunjukkan bahwa propaganda supremasi kulit putih itu berkembang di seluruh negeri, tidak hanya di kampus-kampus. Kasus-kasus yang terjadi seputar hal itu telah berkembang menjadi sebanyak 2.713 kasus, atau rata-rata lebih dari tujuh kasus per hari secara nasional, tahun lalu. Jumlah itu meningkat pesat dibandingkan dengan 1.214 kasus pada tahun 2018. Aktivitas kelompok supremasi kulit putih yang tertinggi dilaporkan di California, Texas dan New York. Tetapi setiap negara, bagian kecuali Hawaii, melaporkan setidaknya satu insiden per hari.
Dua pertiga dari insiden tersebut dikaitkan dengan Front Patriot yang berpusat di Texas, yang bisa dikenali dari slogan mereka ‘Not Stolen Conquered’, serta pakian seragam mereka merah, putih dan biru, yang mencerminkan keyakinan bahwa leluhur merekalah yang menaklukkan Amerika dan memberikannya hanya kepada mereka sendiri sebagai keturunan para pendahulu itu. “Front Patriot, Gerakan Identitas Amerika, dan Asosiasi Warisan Eropa New Jersey bertanggung jawab atas sekitar 90 persen aktivitas supremasi kulit putih,” tulis Adeel.
“Selama lebih dari 48 jam, akhir September dan awal Oktober lalu di Chicago Front Patriot menghujani Wilbur Wright College, Moody Bible Institute dan Northeastern Illinois University, dengan pesan-pesan rasis dari poster, pamflet, dan stiker mereka,” tulis laporan Liga Anti-Pencemaran Nama Baik. Lembaga itu menilai, dalam beberapa hal, cara itu adalah salah satu bentuk paling mendasar dari penyebaran narasi kebencian dan kecemasan di masyarakat.
“Pada dasarnya, ini adalah gerakan ekstremis yang kejam. Karena itulah kami merasa penting untuk mendokumentasikan ini. Taruhannya terlalu tinggi,” tulis Liga Anti-Pencemaran Nama Baik.
Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) Christopher Wray, mengatakan kepada Komite Kehakiman DPR pekan lalu, ekstremisme brutal yang dimotivasi oleh sentiment ras kini menjadi ‘prioritas ancaman nasional’ yang setara dengan organisasi teroris seperti ISIS. Kelompok-kelompok ekstremis telah tumbuh berlipat ganda. “Sebuah selebaran yang diposting di forum online dapat beresonansi dengan beberapa orang,” kata Oren Segal dari Liga Anti-Pencemaran Nama Baik. “ Hal itu memotivasi mereka untuk memposting propaganda fisik di komunitas mereka yang menyebarkan narasi kebencian.” [TheNewYorkTimes/Aljazeera]