Media Asing Soroti Keluarga Presiden Ikut Pilkada
JERNIH – Keikutsertaan keluarga Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendapat sorotan dari media asing. Pada Pilkada serentak yang akan digelar 9 Desember 2020 itu, putra pertama dan menantu Presiden Jokowi ikut serta sebagai kandidat kepala daerah.
Pada tulisan yang berjudul “Indonesian Politics is Becoming a Family Affair” atau “Politik Indonesia Menjadi Urusan Keluarga’ tersebut, yang dimuat media The Economits, Sabtu (5/12/2020), mengungkapkan ulasannya tentang pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia.
The Economist menceritakan ketika Joko Widodo terpilih sebagai presiden Indonesia pada 2014, itu menandai titik balik politik negara tersebut. Jokowi, begitu ia lebih dikenal, berasal dari latar belakang yang sederhana, yang disebut The Economist, tumbuh di gubuk di tepi sungai namun berhasil melompati dirinya ke jabatan tertinggi negara.
Dalam ulasan itu diungkapkan, ini adalah pertama kalinya seseorang yang bukan dari elit politik atau militer memimpin negara. Sesuai dengan citranya sebagai orang luar, dia bersumpah bahwa para politisi pemula di keluarganya tidak akan bergantung padanya. Mengutip dari otobiografinya, yang diterbitkan pada tahun 2018, bahwa “menjadi presiden tidak berarti menyalurkan kekuasaan kepada anak-anak saya”.
Namun sejak terpilih kembali tahun lalu, The Economis mengungkap bahwa Jokowi tampak sudah berubah pikiran. Baik putra maupun menantunya, keduanya tidak memiliki pengalaman politik, mencalonkan diri dalam pemilihan daerah pada 9 Desember di bawah bendera partai Jokowi, PDI-P.
Putranya, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai Walikota Surakarta. “Gibran jauh di depan lawannya dan dalam pemungutan suara 9 Desember tidak akan menjadi pemilihan, lebih merupakan penobatan,” ungkap The Economist. Sementara menantu Presiden, Bobby Afif Nasution resmi maju pada Pilkada Medan berpasangan dengan Aulia Rahman.
Tulisan ini pun menyindir dan menyebutnya luar biasa kepada Jokowi yang pada awalnya menolak memuluskan jalan bagi keturunannya. Sejak munculnya demokrasi pada tahun 1998, dan pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah tidak lama setelah itu, para politisi berupaya untuk mendirikan dinasti, tulisnya.
Semakin banyak politik dinasti terjadi di tingkat lokal. Dalam pemilu 2015, sebanyak 52 kandidat, atau 3% dari total, terkait dengan politisi yang saat ini atau sebelumnya memimpin kabupaten (kabupaten), kota atau provinsi, menurut Yoes Kenawas, yang mempelajari dinastisisme dalam politik Indonesia. Dalam pemilihan lokal minggu depan, hampir tiga kali lebih banyak kandidat — sekitar 10% dari total — memiliki koneksi keluarga.
Putra dan menantu Jokowi bukan satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan istana kepresidenan yang ikut campur. Putri wakil presiden, yang mencalonkan diri sebagai walikota Tangerang Selatan, kota yang berbatasan dengan Jakarta, bersaing melawan keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Di Jawa Timur, putra Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramono, yang berusia 28 tahun juga maju dalam Pilkada Serentak 2020 di Kabupaten Kediri.
Ini adalah rekor begitu banyak kerabat tokoh nasional yang mencalonkan diri dalam pemilihan lokal, menurut Yoes. Banyak dari tokoh nasional itu sendiri adalah dinasti. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, sudah lama menikah dengan putri Soeharto, yang berkuasa di Indonesia selama 31 tahun.
Melihat kondisi ini, tulis The Economist, partai politik tidak berbuat banyak untuk mencegah nepotisme. Bagaimanapun, mereka digerakkan oleh kepribadian, bukan oleh kebijakan, kata Ben Bland dari Lowy Institute, sebuah wadah pemikir di Australia. Oleh karena itu, mereka membutuhkan politisi dengan pengenalan nama untuk mendorong mereka menuju kemenangan: kerabat seseorang yang lebih baik daripada bukan siapa-siapa.
Ditambah lagi, para kandidat harus menanggung biaya kampanye yang semakin tinggi. Oleh karena itu, partai membutuhkan kandidat yang berkantong tebal atau tahu orang-orang yang punya uang. Biaya pencalonan jabatan yang mahal berarti bahwa “hampir tidak mungkin” bagi mereka yang tidak memiliki sarana atau “koneksi dengan jaringan patronase yang mapan untuk menang,” kata Vedi Hadiz dari Universitas Melbourne di Australia.
Terserah publik Indonesia yang “cerdas dan cerdas” untuk memutuskan apakah putranya cocok untuk jabatan, kata Jokowi kepada BBC awal tahun ini. Tetapi biaya kampanye yang tinggi dan banyaknya kandidat yang memiliki hubungan baik berarti bahwa semakin banyak dari mereka yang mencalonkan diri untuk jabatan berasal dari latar belakang yang sama, menjadi pilihan yang tersedia bagi para pemilih. Tak diragukan lagi, banyak calon politisi yang menolak mengadu domba diri mereka sendiri dengan lawan yang didukung oleh keluarga yang kuat, ulas The Economist [*]