Mengapa Sutan Sjahrir, Ali Sostroamidjojo, Adam Malik dan BM Diah Tidak Hadir Saat Proklamasi Kemerdekaan?
Di halaman rumah Bung Karno, sejak pagi rombongan rakyat sudah berdatangan. Menurut keterangan, barisan pertama justru datang dari Tangerang dan Klender. Pakaian mereka umumnya compang-camping, bahkan sebagian hanya memakai kain bagor. Meski penampilan mereka berantakan, dari sorot mata mereka tampak semangat meyala-nyala. Mereka membawa membawa bamboo runcing atau golok…”
JERNIH—Hari ini 76 tahun lalu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Dua Serangkai Bung Karno dan Bung Hatta di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta. Hari itu tentu saja sangat bersejarah dan besar artinya dalam perjuangan rakyat Indonesia. Namun, mengapa tidak semua pemimpin pergerakan nasional saat itu tidak hadir, meski beberapa di antara mereka tengah berada di Jakarta?
Di antara mereka yang tidak hadir adalah maroeto Nitimihardjo, Sutan Sjahrir, Ali Sostroamidjojo, Aboe Bakar Loebis, Yo Paramita Abdulrachman, Ahmad Soebardjo,Pandu Kartawiguna, Chaerul Saleh, Adam Malik, BM Diah, serta beberapa nama lainnya.
Pagi itu Maroeto tidak hadir di Pegangsaan Timur, meski sudah berangkat dari rumah sejak pagi hari dengan berkendaraan fiets (sepeda). Dia lebih dulu menuju Balai Agoeng, dekat Gambir, menemui Walikota Jakarta, Soewirjo, untuk memberitahukan perubahan tempat acara, dari Gambir ke Pegangsaan. Tak ingin berboncengan, keduanya sama-sama mengendarai fiets, menuju tempat proklamasi direncanakan dikumandangkan.
Namun di tengah jalan mereka berpisah. Soewirjo tetap menuju Pegangsaan, rumah Soekarno, tempat acara akan digelar. Sementara Maroeto ingin menemui Sutan Sjahrir lebih dulu, di Jalan Maloeko, Menteng.
Tentang itu, Maroeto pernah menyatakan bahwa ia tidak kecewa gagal menghadiri acara. “Saya tidak menyesal karena tindakan saat itu pilihan pribadi. Semua orang tahu, saya ikut melahirkan Proklamasi, sehingga keterlibatan saya jauh lebih besar dibandingkan mereka-mereka yang tidak berbuat sesuatu, contohnya Mr Ali Sostroamidjojo. Secara jujur dia pernah mengaku bahwa saat itu dia memang berada di Jakarta, tetapi tidak ikut melahirkan Proklamasi karena takut pada Kenpeitai (pejabat militer Jepang—red Jernih),” kata Maroeto. Bersama Sutan Sjahrir, Aboe Bakar Loebis, Yo Paramita, dan Pandu Kartawiguna, Maroeto memang kemudian memilih tidak hadir.
Para pemuda saat itu, seperti Chaerul saleh, Adam Malik dan BM Diah, juga tidak hadir. Mengapa? “Sejak pertemuan terakhir di rumah Laksamana Maeda, Jumat dini hari, Chaerul Saleh menghilang, tak ada seorang kawan pun yang tahu kemana dia pergi. Sedangkan Adam Malik, sesuai pembagian tugas, bertugas menyebarkan proklamasi lewat pemancar Kantor Berita Domei. Sementara saya, diberi tugas oleh Bung Hatta untuk menyebarkan teks proklamasi. Maka pada hari Jumat itu saya bersepeda ke Patjenongan untuk mencari percetakan. Setelah itu mengajak teman-teman untuk menempelkan berita mengenai proklamasi ke seluruh Jakarta,” kata BM Diah.
Ahmad Soebarjo, orang yang memainkan peranan sangat penting semasa persiapan proklamsi kemerdekaan; mulai dari membebaskan Soekarno-Hatta dari tahanan PETA di Rengasdengklok, membawanya ke Jakarta, meminta izin kepada Laksamana Maeda agar bersedia menyediakan rumahnya untuk penyusunan teks proklamasi, hingga menjadi anggota panitia kecil perumus proklamasi kemerdekaan, ternyata juga tak hadir.
Ia bahkan tidak juga hadir meski utusan Soekarno datang menjemputnya. “Saya demam karena sudah dua malam tidak tidur. Kepada utusan Bung Karno saya titip pesan, minta maaf karena terpaksa tidak bisa datang ke Pegangsaan.”
Apakah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan hanya berlangsung di Pegangsaan Timur? Tidak juga. Menurut Aboe Bakar Loebis, pembacaan juga dilakukan di Asrama Prapatan 10, tempat para mahasiswa tinggal. Itu dilakukan untuk berjaga-jaga seandainya proklamasi di Pegangsaan dibubarkan, sebagaimana gagalnya Lapangan Gambir yang awalnya direncanakan menjadi tempat proklamasi.
“Tepat sewaktu proklamasi dibacakan Bung Karno di Pegangsaan Timur, hal yang sama dilakukan di asrama kami; lengkap dengan upacara penaikan bendera Merah Putih dan menyanyikan Indonesia Raya,” kata Aboe Bakar Loebis dalam sebuah dokumen.
Secara lebih rinci OE Engelen melukiskan hal itu pada “Lahirnya Suatu Bangsa dan Negara” (terbit 1997).
“…Tidak lama setelah Engelen dan Nasroen menerima telepon dari Mamahit yang berada di Pegangsaan Timur, upacara di Prapatan dimulai.
Eri Soedewo, seorang mahasiswa kedokteran, segera tampil ke depan, membacakan teks proklamasi. Dalam pengantarnya Eri Soedewo mengatakan bahwa dalam waktu yang sama, teks proklamasi sedang dibacakan Bung Karno…
Kemudian sebagai kelengkapan upacara, dilakukan pengibaran bendera Merah Putih. Petugas yang ditetapkan untuk mengibarkan bendera bernama Moehandoko, sedangkan Salamun bertindak sebagai pimpinan penanggung jawab upacara…”
Sekalipun sejumlah tokoh tidak hadir, acara di Pegangsaan Timur dihadiri oleh massa yang banyak, meluber sampai ke jalanan di luar halaman rumah Soekarno. Latief Hendraningrat melukiskan suasan pagi itu:
“Di halaman rumah Bung Karno, sejak pagi rombongan rakyat sudah berdatangan. Menurut keterangan, barisan pertama justru datang dari Tangerang dan Klender. Pakaian mereka umumnya compang-camping, bahkan sebagian hanya memakai kain bagor. Meski penampilan mereka berantakan, dari sorot mata mereka tampak semangat meyala-nyala. Mereka membawa membawa bamboo runcing atau golok…” [dari “Djakarta 1945”, Julius Pour]