
“Trump menang besar. Ini jelas bentuk kelemahan dalam negosiasi, bahkan cenderung lembek,” kata Didin kepada Jernih.co, sehari setelah pernyataan Trump merebak. Ia menyoroti tim negosiasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, yang menurutnya lebih terkesan “meminta belas kasihan” daripada menyusun strategi diplomatik dan ekonomi yang solid.
JERNIH– Kesepakatan dagang tarif antara Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto menuai kritik tajam dari kalangan ekonom. Isi perjanjian yang diumumkan Trump di media sosial Truth Social pada Rabu (16/7/2025), dinilai terlalu menguntungkan Amerika dan merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Dalam pernyataannya, Trump menyebut kedua negara telah menyetujui kebijakan tarif impor baru. Produk dari Indonesia akan dikenai tarif masuk ke AS sebesar 19 persen, sementara barang-barang dari Amerika Serikat dibebaskan dari tarif impor saat memasuki pasar Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia juga menyetujui pembukaan penuh pasar domestiknya untuk produk-produk AS, serta pembelian energi senilai USD 15 miliar (setara Rp 255 triliun), produk agrikultural sebesar USD 4,5 miliar (Rp 76,5 triliun), dan 50 unit pesawat Boeing 777.
Tak berhenti di situ, akses penuh juga diberikan kepada peternak dan nelayan AS untuk memasuki pasar Indonesia.
Kesepakatan tersebut segera memicu kritik dari berbagai pihak, salah satunya ekonom senior dan Guru Besar IPB University, Prof. Didin S. Damanhuri. Menurut Prof Didin, kesepakatan ini merupakan kemenangan besar bagi Amerika Serikat dan mencerminkan kelemahan dalam strategi negosiasi pihak Indonesia.
“Trump menang besar. Ini jelas bentuk kelemahan dalam negosiasi, bahkan cenderung lembek,” kata Prof Didin kepada Jernih.co, sehari setelah pernyataan Trump merebak. Ia menyoroti tim negosiasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, yang menurutnya lebih terkesan “meminta belas kasihan” daripada menyusun strategi diplomatik dan ekonomi yang solid.
Prof Didin menyarankan agar Indonesia tidak hanya menaruh fokus kepada Pemerintah AS, tetapi memanfaatkan kekuatan kolektif seperti BRICS untuk meningkatkan posisi tawar. Selain itu, pendekatan terhadap Kongres AS dan pelaku bisnis besar di Amerika juga seharusnya dijalankan dengan serius, mengingat kedua elemen ini berperan besar dalam pembuatan kebijakan dan penentuan arah perdagangan AS.
Butuh Tim yang Lebih Strategis
Dalam keterangan lebih lanjut, Prof Didin menegaskan bahwa tim perunding seharusnya tidak semata terdiri dari teknokrat ekonomi, melainkan dilengkapi pula oleh diplomat senior dan ahli hukum perdagangan internasional. Lobi intensif ke industri strategis AS semestinya dilakukan sejak awal, dengan menawarkan keuntungan konkret dalam bentuk investasi bernilai tinggi, seperti industri pengolahan nikel, rare earth, baterai, dan kendaraan listrik.
“Seluruh tawaran ini harus dibarengi komitmen reformasi birokrasi dan penegakan kepastian hukum di dalam negeri,” ujarnya.
Prof Didin juga menyoroti pentingnya diversifikasi ekspor Indonesia ke pasar-pasar nontradisional seperti negara-negara BRICS, Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin. Di sisi domestik, menurut dia, pemerintah harus mulai memobilisasi dukungan dari berbagai elemen masyarakat seperti KADIN, HIPMI, NGO, akademisi, ormas, hingga DPR.
“Jika semua pihak bersuara, pemerintah tidak akan terkesan berjalan sendirian,” ujar aktivis mahasiswa terkemuka di era akhir 1970-an itu.
Tak lupa Prof Didin menyarankan agar Indonesia mendesain ulang hubungan dagangnya dengan AS, khususnya dalam membentuk rantai pasok yang melibatkan perusahaan lokal. Skema seperti joint venture dan subcontracting harus diprioritaskan, termasuk juga menarik relokasi industri dari China untuk memperkuat hilirisasi nasional dan reindustrialisasi berbasis UMKM.
Zona industri yang terintegrasi juga perlu dikembangkan untuk memperkuat rantai pasok global, baik dengan Amerika maupun China. Jika negosiasi gagal dan perang dagang tak terhindarkan, Didin menegaskan pemerintah harus menyiapkan insentif fiskal, subsidi, dan kompensasi bagi pelaku ekspor yang terdampak.
“Semua kemungkinan perlu dikaji dan disiapkan. Ini bukan hanya soal tarif, tapi soal posisi tawar dan arah kedaulatan ekonomi bangsa,” ujar Prof Didin.
Sebagai penutup, Prof Didin mengingatkan agar pembangunan ekonomi dalam negeri tak dilupakan. Menurutnya, kebangkitan ekonomi nasional justru bisa dimulai dari penguatan pasar domestik, antar pulau, dan antar daerah. Ia juga menekankan pentingnya stimulus kepada UMKM dan para pengusaha daerah agar menjadi tulang punggung kemandirian ekonomi.
“Banyak cara membesarkan pengusaha nasional. Salah satunya adalah membangkitkan perdagangan dalam negeri, didukung oleh UMKM dan pasar lokal yang hidup. Jangan semuanya digadaikan atas nama hubungan internasional,” kata Prof Didin.
Kesepakatan itu memang belum diratifikasi di DPR. Namun, publik dan para pelaku ekonomi telah bersiap menyuarakan keberatan jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap isi dan proses kesepakatan tersebut.[]