Niqab Squad: Penunggang Kuda dan Pemanah Bercadar Hitam
Sekarang Niqab Squad memiliki hampir 6.000 anggota dengan cabang-cabang di seluruh Indonesia, Malaysia dan Taiwan.
TEMBORO— Hanya mata si penunggang yang mengintip dari balik cadar hitam yang menutupi wajahnya. Dengan busur melengkung di tangan kiri dan ujung anak panah terjepit di jemari tangan kanannya, penunggang kuda berabaya panjang itu menderapkan kuda ke sasaran, beberapa puluh meter di depannya. Lalu, setelah membidik dengan cepat, jari ia kendurkan. Anak panah pun lepas, melesat merobek udara hingga menghantam target dengan suara cukup keras,”Cleb!”
Si pengunggang kuda, Idhanur–yang seperti banyak orang Indonesia hanya memakai satu nama, adalah seorang guru berusia 31 tahun di sebuah sekolah Islam di Jawa Timur. Ia rutin berlatih menunggang kuda, memanah, atau seperti tadi, kombinasi dari keduanya, lengkap dengan pakaian yang sedang ia kenakan, abaya dan jilbab Panjang konservatif yang disebut niqab.
Idhanur adalah bagian dari gerakan perempuan Muslim yang tengah bertumbuh dan damai. Ia percaya, kesehatan adalah anugerah dari Tuhan, dan olahraga adalah cara untuk memeliharanya, sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana kawan-kawannya yang lain, Idhanur percaya bahwa pakaian yang ia kenakan, lengkap dengan cadar, memberinya perlindungan dari mata-mata kaum lelaki yang berpikiran kotor.
Idhanur, yang mengajar di Pondok Pesantren Al Fatah Temboro, adalah bagian dari gerakan Jamaat Tabligh revivalis. Ia dan kawan-kawannya memiliki jawaban untuk orang Indonesia yang kuatir bahwa pakaian ala konservatif yang dikenakannya merupakan langkah yang meresahkan menuju ekstremisme dan marginalisasi perempuan.
“Meskipun kami mengenakan niqab seperti ini, itu tidak berarti kami wanita Muslim yang lemah,” kata Idhanur, sesegera turun dari punggung kuda. “Kami malah bisa menjadi wanita Muslim yang kuat, dengan olahraga, memanah dan menunggang kuda,” kata dia.
Idhanur dan kawan-kawan wanitanya berkumpul setiap Sabtu untuk berlatih menunggang kuda dan memanah, sesuatu yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Mereka rutin mengunjungi sebuah klub olahraga di kompleks satu sekolah Islam di Depok.
Indonesia, negara demokrasi yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, secara resmi sekuler dan telah lama dikenal memiliki toleransi yang baik. Tetapi dalam 22 tahun sejak Presiden Suharto sang ‘Bapak Pembangunan’ turun, banyak orang melihat negara itu berubah menjadi komunitas Islam yang lebih konservatif.
Ulama konservatif, seperti Wakil Presiden Ma’ruf Amin, telah mendapatkan peran yang lebih menonjol dalam kehidupan publik. Sementara banyak pemerintah daerah telah memberlakukan lebih dari 600 hal yang berkaitan dengan unsur-unsur Syariah atau hukum Islam, termasuk mengharuskan perempuan untuk mengenakan jilbab, untuk menutup kepala mereka.
Sejumlah kecil Muslim di Indonesia menganut pandangan ekstrem dan beberapa di antaranya telah melakukan pemboman mematikan, termasuk serangan gereja Surabaya tahun 2018 yang menewaskan selusin orang. Seorang di antara pembom bunuh diri itu wanita, mendorong banyak orang Indonesia untuk waspada terhadap wanita yang mengenakan niqab– cadar yang lebih konservatif yang hanya menyisakan celah untuk mata.
Kekhawatiran bahwa niqab dikaitkan dengan terorisme itulah, konon, yang mendorong Menteri Agama Fachrul Razi, seorang mantan jenderal angkatan darat, menyerukan larangan terhadap karyawan mengenakan niqab di gedung-gedung pemerintah.
Di kepala Razia da kekhawatiran beberapa apparat pemerintah tertarik pada pemikiran ekstrem dan melihat niqab sebagai tanda radikalisasi. Peraturannya belum ada sebenarnya. Larangan niqab yang dilakukan tahun 2018 di sebuah universitas di Jawa Tengah, hanya berlangsung sepekan sebelum publik memaksa universitas mencabutnya.
Namun Sidney Jones, seorang pakar terorisme di Asia Tenggara, mengatakan penting untuk membedakan antara kelompok Islam radikal yang menimbulkan ancaman, dengan pengikut kelompok Islam konservatif yang mempromosikan gaya hidup Islam tradisional, seperti sekte Jamaah Tabligh.
“Karena pakaian mereka, mereka sering dibaurkan dengan para ekstrimis,” kata Jones, direktur Institute for Policy Analysis of Conflict yang berbasis di Jakarta. “Mereka ini menentang kekerasan. Ini adalah contoh yang bagus dari gerakan di mana pakaian bisa benar-benar menyesatkan pikiran orang.”
Tidak seperti di sekolah Al Fatah, di mana bahkan anak perempuan semuda lima tahun pun diharuskan memakai niqab, ribuan wanita terutama yang tinggal di kota dan kelas menengah telah membuat pilihan itu untuk diri mereka sendiri. Yang menjadi pembuka jalannya adalah Indadari Mindrayanti, seorang desainer busana yang mendirikan Niqab Squad empat tahun lalu untuk mempromosikan pemakaian jilbab. Sekarang Niqab Squad memiliki hampir 6.000 anggota dengan cabang-cabang di seluruh Indonesia, Malaysia dan Taiwan.
“Kami benar-benar ingin mendapatkan anugerah surga, jadi kami berkorban,”kata Indadari menjelaskan. Kami bertemu di sebuah acara berkuda dan memanah Niqab Squad di sebuah tempat dekat Jakarta. “Tidak menunjukkan kecantikan dan menutupi tubuh kami dengan cara Islami ini adalah bagian dari pengorbanan kami.”
Kini orang Indonesia menyebutnya sebagai ‘hijrah’—mencakup mulainya perubahan perilaku lalu peningkatan diri melalui adopsi gaya hidup Islam tradisional tersebut. Beberapa di antara mereka adalah para selebritas nasional.
Hijrah adalah gerakan damai, serupa pemaknaan kelahiran kembali, awalnya merujuk kepada eksodus yang dilakukan Nabi Muhammad SWA dan para sahabatnya di abad ketujuh ke kota Madinah untuk lebih bebas menjalankan tata kehidupan yang lebih baik. Hari ini di Indonesia, dengan dorongan massif media social, para artis dan selebriti lainnya ramai-ramai mempromosikan hidup yang tenang, teratur, bergabung dalam kelompok untuk belajar Quran. Mereka pun berusaha menjadi lebih religius di kehidupan sehari-hari.
Seperti Jamaah Tabligh, Niqab Squad bertujuan untuk mempopulerkan cadar, tetapi kelompok-kelompok tersebut tidak berafiliasi. Jilbab sendiri sudah dibolehkan sejak awal 1990-an, di masa kekuasaan Soeharto.
Indadari bahkan sering mendesain niqab yang lebih modis, bergaris-garis, serta pakaian Islami lainnya untuk wanita, seringkali dengan lis putih polka-dot.
Indadari mengatakan, ketika dirinya bertemu orang-orang yang menunjukkan rasa takut padanya, dia melawan ketakutan mereka itu dengan keramahan. “Awalnya, keluarga saya juga takut,” kata dia, mengenang. “Ibu bapak saya berkata,” Orang-orang akan berpikir kamu seorang teroris. Mereka akan berpikir bahwa dirimu bergabung dengan sekte yang menyimpang.”
Tetapi kata Indadari, seiring berjalannya waktu kedua orang tuanya pun mengerti. “Saya jelaskan bahwa semua istri Nabi mengenakan niqab,” kata dia.
Luasnya jangkauan gerakan ‘hijrah’ itu bisa terlihat jelas di kota Temboro yang panas dan berdebu, sekitar 450 km ke timur Jakarta. Sekolah Al Fatah, dengan delapan kampus dan 25.000 siswa dari kelas satu hingga universitas, mendominasi kota itu.
Ketika kelas-kelas usai, jalanan dipenuhi ribuan anak muda dengan pakaian tradisional Islam–pria dan anak laki-laki dengan celana panjang atau jubah longgar dan wanita dan anak perempuan dalam gaun longgar, selendang dan niqab. Temboro sering disebut sebagai Madinah Indonesia. Sebuah masjid di lingkungan sekolah itu meniru masjid kubah hijau yang terkenal di Madinah. Kota seolah berhenti lima kali sehari pada waktu shalat.
“Di sini kami menerapkan Islam dalam kehidupan sehari-hari,”kata Ainul Hadi, seorang dokter yang pindah ke Temboro pada tahun 1996 di saat awal Gerakan Hijrah tumbuh. “Orang-orang dapat merasakan suasana Madinah di sini.”
Di Al Fatah, puncak prestasi akademik adalah menghafal Alquran. Siswa yang paling sukses akan menjadi guru dan membuka sekolah sendiri. Sekolah itu seolah meremehkan vaksin dan pakaian kontemporer. Tetapi ada beberapa konsesi kea rah modernitas. Beberapa wanita mengenakan kacamata di atas niqab dan sepatu kets menutup kaki mereka. Ponsel dan sepeda motor populer di kalangan wanita dan pria.
Tetapi bagi Aisyah Tajudin, 25, mengenakan niqab saja tidak cukup. Dia juga mengenakan sarung tangan hitam dan jala hitam di matanya, sehingga setiap senti tubuhnya benar-benar tertutup. Dia mengatakan dirinya menjauhi perhatian laki-laki yang tidak diinginkan, dan bahwa saat matanya kelihatan pun membuatnya tidak nyaman.
“Saya merasakan lebih banyak kebebasan dalam hal ini,” katanya. Dia tidak sendirian. Banyak wanita muda di Al Fatah mengenakan jaring dan itu tidak membuat mereka tak bisa jalan-jalan bermotor berkeliling.
Saya menyaksikan, 660 siswa sekolah, semuanya mengenakan niqab, membentuk lingkaran di taman bermain. Beberapa Muslimah seolah setengah hati saat menyanyikan “If You Happy And You Know It” dalam bahasa Arab. Lagu itu terdengar mengalun melalui sound system. Setelah itu, di kelas mereka beralih bahasan dengan mempelajari kehidupan Nabi Muhammad secara serius dalam bahasa Arab, dan menghafal Quran.
Idhanur, seorang instruktur menunggang kuda dan memanah, pertama kali datang ke Al Fatah ketika berusia 13 tahun. Saat itu pula ia mulai mengenakan niqab dan belum pernah berhenti. “Ketika saya mulai di sini, sangat jarang melihat wanita dan gadis mengenakan niqab,” katanya. “Sekarang banyak sekali.”
[Richard C. Paddock/New York Times]
Paddock telah bekerja sebagai koresponden asing di 50 negara, dan pernah menerima tugas penempatan di Moskow, Jakarta, Singapura dan Bangkok.