Pemerintah Cina Gunakan Sistem Baru untuk Diskriminasi Uighur
Sekitar 10 persen dari nama-nama itu terdaftar ditahan karena “terorisme” dan “ekstremisme”, tetapi kata laporan HRW itu, kebanyakan mereka dimasukkan ke dalam tahanan untuk hal-hal remeh, termasuk mempelajari Alquran tanpa izin negara
JERNIH—Warga minoritas Uygur di Cina menjadi sasaran sistem kepolisian yang baru, yang menandai aktivitas sehari-hari mereka dan serangkai karakteristik hukum yang berbeda, sebagaimana laporan baru Human Rights Watch (HRW).
Laporan tersebut, yang diterbitkan Rabu (9/12) menawarkan rincian baru tentang cara kerja Platform Operasi Bersama Terpadu (IJOP) berbasis big data yang digunakan untuk memantau “potensi ancaman” di wilayah Xinjiang. Para pejabat pemerintah telah menggunakan detail yang tampaknya tidak berbahaya–termasuk “lahir setelah 1980-an”, memiliki “ikatan sosial yang kompleks” atau “hubungan (seksual) yang tidak pantas”– sebagai alasan untuk menahan orang, kata laporan tersebut.
Laporan itu didasarkan pada daftar lebih dari 2.000 tahanan Uygur di prefektur Aksu, yang ditahan antara 2016 dan 2018, dengan sumber-sumber anonim. Sekitar 10 persen dari nama-nama itu terdaftar ditahan karena “terorisme” dan “ekstremisme”, tetapi kata laporan itu, kebanyakan mereka dimasukkan ke dalam tahanan untuk tindakan sah yang tak berhubungan dengan kekerasan.
Pelanggaran lain termasuk mempelajari Alquran tanpa izin negara, memiliki lebih banyak anak daripada yang diizinkan oleh kebijakan negara dan menggunakan perangkat lunak seperti jaringan pribadi virtual (VPN) dan Skype. Dalam satu kasus, kehilangan ID yang kemudian digunakan oleh orang lain menjadi penyebab penahanan, menurut laporan itu.
“Platform ‘kebijakan prediktif’ benar-benar hanya daun ara pseudoscientific bagi pemerintah Cina untuk membenarkan penindasan besar-besaran terhadap Muslim Turki,” kata Maya Wang, peneliti senior HRW Cina, dalam laporan tersebut.
Telepon berulang kali kepada Cina Electronics Technology Group Corporation (CETC), yang diidentifikasi HRW sebagai pengembang platform, dan Departemen Keamanan Publik wilayah otonom Xinjiang Uygur, tidak dijawab. CETC tidak menanggapi pertanyaan yang dikirim melalui email tentang laporan baru tersebut.
HRW telah mempelajari IJOP sebelumnya. Pada 2019, lembaga tersebut menerbitkan analisis mendalam berdasarkan informasi yang dikumpulkan dengan merekayasa balik sebuah aplikasi yang digunakan oleh polisi setempat. Analisis tersebut juga menunjukkan bahwa sistem tersebut dirancang untuk menandai perilaku yang dianggap mencurigakan, bahkan perilaku legal seperti bepergian ke luar negeri atau “dengan antusias” mengumpulkan uang untuk masjid lokal.
Pemerintah Cina juga dapat menggunakan aplikasi untuk mencatat berbagai jenis informasi tentang orang. Etnis, keyakinan agama, tinggi badan dan golongan darah semuanya bisa dimasukkan.
Laporan terbaru ini merinci bagaimana kebanyakan orang ditandai oleh IJOP untuk hubungan dan komunikasi dengan orang lain yang dianggap mencurigakan. Ini termasuk bepergian atau tinggal bersama mereka.
Laporan tersebut menyoroti kasus seorang tahanan yang disebut Nona T, yang ditandai oleh platform kepolisian karena memiliki hubungan dengan “negara-negara sensitif”. Tautan itu diidentifikasi dalam laporan itu karena empat panggilan telepon ke saudara perempuannya yang tinggal di luar negeri. Saudari itu memberi tahu para peneliti HRW bahwa dia yakin T sekarang dipaksa bekerja di pabrik di luar keinginannya.
Negara lain juga telah menggunakan metode kepolisian prediktif mereka sendiri, yang menggunakan big data dan analisis untuk mengidentifikasi potensi aktivitas kriminal. Namun, penggunaan teknologi semacam itu telah banyak dikritik karena ketidakakuratan dan profil rasial yang dimilikinya. Dalam laporan baru itu HRW mengatakan, penelitiannya bertentangan dengan klaim otoritas Cina bahwa teknologi ini menjaga keamanan Xinjiang dengan “menargetkan” penjahat “dengan tepat”.
IJOP adalah bagian dari dorongan teknologi yang lebih luas untuk memantau wilayah Xinjiang yang bergolak karena perolaku Cina sendiri. Warga Uighur dan anggota minoritas Muslim lainnya telah banyak ditahan di kamp-kamp interniran, sekitar satu juta orang ditahan menurut perkiraan PBB pada tahun 2018.
Beijing telah berulang kali menolak klaim adanya pelanggaran hak asasi manusia, dan menyebut fasilitasnya kamp pendidikan ulang. Cina juga mengatakan hal itu dimaksudkan untuk pelatihan kerja dan melawan ekstremisme.
Selain perusahaan milik negara seperti CETC dan berbagai badan pemerintah, perusahaan teknologi swasta Cina juga dituduh melakukan kesewenang-wenangan terhadap orang Uygur. Pada Oktober tahun lalu, AS memasukkan beberapa perusahaan Cina dan pembuat peralatan pengawasan ke daftar hitam yang diduga terlibat dengan “pengawasan teknologi tinggi terhadap orang Uygur, Kazakh, dan anggota kelompok minoritas Muslim lainnya” di Xinjiang.
Perusahaan terbaru yang akan terlibat adalah perusahaan telekomunikasi Huawei Technologies. Raksasa teknologi yang diperangi itu sudah masuk daftar hitam AS pada 2019 dengan alasan keamanan nasional, dan telah menghadapi pembatasan pengetatan sejak saat itu. IPVM telah menerbitkan laporan yang mengatakan Huawei tengah menguji perangkat lunak pengenal wajah yang dapat memberi tahu polisi ketika sistem kameranya mengidentifikasi seorang Uygur. [South China Morning Post]