Perang tanpa Senapan di Tanah tak Bertuan
- India dan Cina tahu beroperasi di ketinggian 4.000 meter mengubah hampir seluruh aspek perang.
- Edema paru dan otak menjadi pembunuh prajurit nomor wahid.
- Artileri dan senapan tak berfungsi, helikopter memangkas muatan, dan tank tak bisa lari.
- Prajurit India dan Cina seakan sepakat saling bunuh tanpa senapan.
Ladakh — Sejarawan Inggris Neville Maxwell menyebutnya no-man’s land, atau tanah tak bertuan, tempat apa pun tak bisa tumbuh dan hidup. Cina dan India mengorbankan ribuan prajurit untuk menjadi tuan di wilayah itu.
Wilayah itu bernama Aksai Chin, dengan Lembah Galwan sebagai front pertempuran tahun 1962 dan tiga hari lalu. Cina menyebut Aksai Chin bagian dari Xinjiang. India memasukan wilayah ini bagian dari Ladakh.
Tahun 1962, India dan Cina bertempur hebat di sini, membunuh ribuan prajurit kedua pihak. Perang berhenti ketika tidak satu pun dari kedua pihak yakin akan memenangkan perang, dan mendeklarasikan diri sebagai tuan di tanah tak bertuan.
— India Kehilangan 20 Tentara dan Cina 43 dalam Pertempuran di Perbatasan
— Militer India dan Cina Bentrok di Perbatasan, Tiga Tewas
— Perang Abad Pertengahan di Perbatasan India-Cina
Tahun-tahun setelah itu Cina dan India berbagi peran sebagai ‘tuan bersama’ di Aksai Chin. Keduanya masih bersitegang, tapi tidak ada pihak berusaha memulai perang.
Situasi berubah dalam beberapa bulan terakhir. Puncaknya terjadi Senin lalu, ketika prajurit India-Cina terlibat perang tanpa senapan. Setiap prajurit mempersenjatai diri dengan kayu berpaku, pemukul baseball, dan saling lempar batu.
Korban tewas tak terhindarkan. India mengklaim kehilangan 20 serdadu. Cina tak merilis angka, tapi tak membantah kabar 35 sampai 43 serdadu Tiongkok tewas atau terluka parah.
Perang yang Sulit
Ketinggian rata-rata perbatasan India-Cina di Himalaya adalah 14 ribu kaki, atau 4.000 meter. Lembah Galwan relatif lebih rendah, yang membuat pengiriman pasukan relatif lebih mudah.
Selama musim dingin, sekujur Aksai Chin — termasuk Lembah Galwan dan lainnya — sangat dingin. Salju tebal membuat wilayah sulit diakses, dan manuver prajurit benar-benar terbatas.
Selama musim panas, kendati cuaca sedemikian cerah, suhu tetap saja berada di titik beku. Cuaca dan suhu membuat manuver sesederhana apa pun, termasuk pengiriman logistik, sangat sulit.
Aidan Milliff, pakar Massachusetts Institute of Technology dan penulis buku War on the Rocks, mengatakan; “Beroperasi di ketinggian 4.000 meter, seperti diketahui India dan Cina, mengubah hampir seluruh aspek peperangan.”
Tentara, kata Milliff, butuh waktu berhari-hari untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian di atas 2.400 meter. Akibatnya, bala bantuan menjadi lebih lambat dibanding alat transportasi.
Memaksakan prajurit cepat naik ke ketinggian berpotensi mengerikan, bahkan untuk prajurit muda dan sehat sekali pun. Edema paru dan otak menjadi pembunuh prajurit nomor wahid ketimbang peluru.
Edema paru adalah penumpukan cairan dalam paru-paru secara tiba-tiba, yang menyebabkan kesulitan bernafas dan kematian. Edema otak adalah pembengkakan otak tiba-tiba, juga akibat cairan.
Perang India-Cina 1962 mengajarkan hal itu. “Hampir 15 persen prajurit di unit yang tergesa-gesa naik ke Aksai Chin tewas akibat edema paru dan otak, dan itu terjadi hanya dalam 12 jam,” kata Milliff.
Tidak ada peralatan perang yang bergerak dengan kecepatan penuh di ketinggian. Mesin diesel berjuang untuk hidup, helikopter harus memangkas muatan, jumlah pasokan logistik — untuk menjaga pasukan tetap bernafas — meningkat sekian kali lipat.
Di Lembah Galwan, dan sekujur Aksai Chin, penembakan artileri dan senapan — yang membutuhkan pemandangan jernih untuk mengatasi udara tipis — hampir mustahil. Di sini, perang menggunakan senjata modern seolah sia-sia.
“Jika ketinggian bukan faktor, medan sepanjang perbatasan India-Cina akan mempersulit operasi militer,” kata Milliff.
Dataran tinggi Himalaya, masih menurut Milliff, tidak datar seperti garis depan-tengah di Eropa, atau gurun di Irak, yang membuat tank bergerak leluasa dengan kecepatan penuh.
Bisa dipahami mengapa prajurit India dan Cina seakan sepakat menggunakan batu, kepalan tangan, atau pentungan berpaku, untuk saling bunuh demi menjadi tuan di tanah tak bertuan.